ilustrasi |
LELAKI itu tengah berbicara tentang
ibunya, Di layar televisi yang logonya berwarna merah, ia terus-menerus hadir
demi menyampaikan penghormatannya kepada sang ibu. Setelah itu layar televisi
menerakan namanya sebagai seorang kandidat presiden diiringi pesan-pesan
politik.
Puluhan kali dalam sehari, ia akan hadir
di televisi. Pria itu, Aburizal Bakrie, seakan tak lelah menitipkan pesan-pesan
bijaksana. Ia hadir di banyak tempat di tanah air. Senyumnya nampak di layar
kaca. Ia juga membobardir semua sudut jalan dengan baliho bergambar dirinya.
Entah, berapa uang yang dipersiapkannya demi menduduki kursi nomor satu.
Mohon maaf Tuan Bakrie, saya tak tersentuh
dengan semua pesan-pesan itu. Malah, pesan yang demikian banyak itu justru membersitkan
kejenuhan di hati saya. Dalam hati saya berikrar bahwa saya tak ingin memilih
seseorang yang amat berhasrat untuk naik ke kursi puncak presiden. Saya tak
ingin memilih seseorang yang nampak angkuh, yang punya kerajaan bisnis, lalu
membiarkan perusahaannya merobek-robek hati banyak orang di ujung timur Jawa.
Saya tak ingin memilih para kapitalis yang
sepanjang hidupnya memperkaya diri dan menghitung seberapa tinggi bangunan yang
bisa dibuat untuk bisnis. Saya tak ingin menjatuhkan pilihan kepada mereka yang
tak punya rekam jejak melindungi rakyat biasa yang tanahnya digusur atau haknya
dipreteli kekuasaan. Saya tak mau menoleh pada mereka yang menjadikan kekayaan
sebagai tolok ukur keberhasilan dalam ilmu kehidupan.
Dimensi kehidupan amatlah luas, di mana
semua orang, tak peduli seberapa kaya dirinya, sama-sama berupaya menggapai
kebijaksanaan demi untuk bertahan dan mengayakan ladang kehidupan. Di ladang
itu, kisah yang terhampar tak selalu kisah-kisah indah yang dituturkan sebagai
dongeng, namun juga kisah-kisah muram dan nestapa, di mana banyak orang setiap
saat mesti bergerak jika tak ingin kehidupannya terrenggut. Pada titik ini,
kita semua membutuhkan seseorang yang bisa berdiri tegak di hadapan kita untuk
menyatakan simpati serta pembelaan.
Saya ingin bersama mereka yang arif,
menyayangi sesamanya, dan menunjukkan dirinya sebagai seorang pendekar yang
membela hak asasi. Saya ingin memilih mereka yang terbukti pernah
mempertaruhkan hidupnya demi memastikan semua orang agar mendapatkan haknya.
Saya ingin memilih orang yang mendedikasikan dirinya untuk menjaga senyum di
wajah banyak orang. Saya akan memilih para pendekar yang menghunus pedang pada
negara yang lalim. Bersama mereka saya pun siap menghunus pedang, meskipun pada
scope atau cakupan yang kecil.
Mohon maaf Tuan Bakrie. Saya belum tergerak untuk memilihmu.
Baubau, 8 Juli 2013
1 komentar:
Waduh tulisan ini tendensius. Saya secara pribadi juga tidak terlalu sreg dengan orang yang diceritakan dlm tulisan ini he2
Posting Komentar