Kisah Matahari, Bumi, dan Udara


Ara dan Dwi

Lima hari mendatang adalah hari paling penting buatku. Tanggal 2 Agustus mendatang, istriku Dwi dan anakku Ara akan sama-sama berulang tahun. Jika Dwi akan merayakan hari lahir yang ke-27, maka Ara akan berulangtahun ke-2. Hingga kini, aku tak pernah bisa menjawab fakta ajaib bahwa mereka punya tanggal lahir yang sama.

Andaikan Ara lahir melalui operasi Caesar, maka boleh jadi, tanggal kelahirannya telah diatur sedemikian rupa. Akan tetapi, Ara lahir melalui persalinan normal. Lantas mengapa tanggal lahirnya bisa sama? Aku hanya punya satu jawaban. Bahwa Tuhan sengaja menitipkan sesuatu ajaib untuk selalu kurenungi bahwa seorang ibu dan seorang anak adalah kesatuan yang mustahil terpisahkan.

Anakku pernah tinggal dalam rahim ibunya. Ia mendapatkan kehidupan melalui ibunya. Ia tumbuh sebagai bagian tubuh ibunya yang kemudian lahir dan dewasa seiring dengan kehidupan yang terus dikucurkan ibunya melalui air susu ibu. Mereka adalah satu jiwa yang terpisah dalam dua tubuh. Mereka memiliki ikatan abadi yang mustahil diputuskan oleh apapun.

Keduanya ibarat matahari dan bumi yang saling menguatkan. Matahari memberikan sinar, dan tak pernah meminta balasan. Sedangkan bumi selalu menumbuhkan pohon-pohon dan keindahan sebagai tanda cinta kepada matahari. Keduanya saling memberi, saling memperkaya, saling menjagai hingga kelak waktu memisahkannya. Istriku adalah matahari, dan anakku adalah bumi.

Diriku? Aku tak sekuat matahari. Aku juga tak setabah bumi. Jika bisa memilih, aku ingin menjadi udara yang tinggal di tengah serta selalu memberikan napas bagi keduanya. Aku ingin menjadi udara yang juga memberikan kehidupan, namun tak pernah mau menampakkan diri. Aku memilih untuk melakukan sesuatu dalam diam, kemudian lenyap, dan menjadi saksi atas matahari dan bumi yang selalu berkasih-kasihan.(*)


Baubau, 28 Juli 2013

0 komentar:

Posting Komentar