Kisah tentang Pemudi Arab


ilustrasi (foto: James Natchwey)

DI tanah air, gambaran tentang mereka yang berasal dari timur tengah adalah gambaran tentang mereka yang berahlak seperti Rasulullah. Namun, apakah memang mereka berprilaku demikian?

Saya mengenal pria bernama Moses. Ia berasal dari jazirah Arabia yang bahasa sehari-harinya adalah bahasa sebagaimana kitab suci Al Quran. Ia juga memakai huruf Arab ketika mencatat bahan kuliah, bahkan ketika menulis status di facebook. Jangan pernah tanya tentang kemampuannya mengaji. Jelas sekali ia di atas level fasih, sebab ia tahu makna dari pesan dalam kitab-kitab suci tersebut.

Kemarin sore, saya melihatnya di depan perpustakaan. Ia memakai baju yang kancingnya dibuka lebar. Saya melihat bulu dadanya yang penuh. Ia mendatangi saya hanya untuk berbasa-basi. Saat berbicang, saya merasakan hawa alkohol terpancar dari mulutnya.

Ia memang seorang maniak alkohol. Kulkas di apartemennya dipenuhi alkohol. Bersama beberapa orang Arab lainnya, ia selalu berkeliaran di bar. Ia juga berpacaran dengan bule Amrik, serta membangun komitmen untuk tidak menikah. Entah, apa yang dilakukannya bersama bule itu ketika sedang bersunyi di kamar.

Saya juga mengenal wanita bernama Hijri. Ia berasal dari Syria. Sebagaimana si Moses, bahasa Arabnya di atas kata fasih. Maklum sajalah, itu kan bahasa ibunya. Di kampung Athens, ia bergabung dengan kelompok penari perut yang selalu tampil di berbagai acara. Ia bergabung dengan gadis-gadis cantik lainnya yang selalu latihan di Ping Center, salah satu pusat kebugaran di kampus Ohio.

Suatu hari, saya melihatnya menari perut. Ia melilitkan manik-manik di perutnya yang seksi dan nampak terbuka. Ketika musik mengalun, ia meliuk-liuk dan bergoyang serupa ular yang mendengar irama dari peniup seruling. Matanya yang indah mengerling sana-sini. Ketika ia meluhat saya di sudut, matanya melirik, bibirnya tersenyum, lalu membentuk gerakan serupa mencium. Muach. Pipi saya tiba-tiba terasa agak panas.

Dan mereka tak sendirian. Ada banyak orang Arab sebagaimana mereka. Dan mereka semua ingin lebih barat dari barat.

Saya sedang memikirkan tentang ajaran agama. Di kampung, keluarga selalu menekankan untuk membaca kitab dalam bahasa Arab. Di sekolah, guru-guru selalu menyuruh untuk membaca kitab, menghafalkan surah-surah, meskipun sang siswa tak paham artinya.

Di masjid, para ustad dan mubalig sesekali berbicara dalam bahasa Arab, yang dimirip-miripkan seperti orang Arab. Di kampus-kampus, para dosen memelihara jenggot dan berprilaku sebagai orang Arab. Di dunia politik, semua bangga memakai gelar haji di depan namanya. Bahkan, seorang jendral pun lebih suka nama haji yang dipasang di depan namanya.

Generasi baru dipaksa belajar tajwid serta cara membaca huruf Arab, namun tak ada yang bisa menjelaskan makna. Ajaran diperkenalkan lewat disiplin tinggi serta keyakinan bahwa semakin sering melafalkan bahasa Arab, maka akan semakin terbukalah jalan menuju surga. Semakin baik pelafalan (dalam artian semakin mirip orang Arab), maka semakin lempanlah jalan menuju surga. Jika DIA adalah sosok maha besar yang tak terbatas ruang dan waktu, apakah DIA peduli dengan kesalahan biasa yang dialami ciptaan-NYA?

Saya sedang memikirkan makna. Pada akhirnya, makna adalah sesuatu yang melampaui bahasa dan segala syarat-syarat ritual. Makna adalah cara kita memahami satu ajaran, lalu mentransformasikannya pada sendi-sendi kehidupan. Makna tak pernah tergantung pada seberapa fasih atau seberapa disiplin dalam membaca teks-teks.

Makna adalah soal kemampuan kita untuk menjelajah sejauh-jauhnya ke dalam setiap teks, lalu mengenggamnya, demi untuk menjadi kompas dalam segenap tindakan. Makna adalah kemampuan untuk memahami setiap tetes-tetes embun, lalu membasuh jiwa kita dengan kesegarannya. Makna adalah berlian yang nyaris hilang karena terlupakan oleh hingar-bingar ajaran yang dipaksakan sebagaimana disiplin ala militer. Makna adalah buah dari proses refleksi, yang kemudian dimatangkan oleh proses tumbuh dan mengakarnya manusia dalam belantara kehidupan.

Sayangnya, kita tak banyak belajar makna. Kita hanya belajar bagaimana menjadi mirip seperti suku bangsa si Moses dan si Hijri itu.



Athens, 1 Mei 2013


4 komentar:

guntur novizal mengatakan...

Deskripsi yang bagus mas, bisa merubah mainstream masyarakat kita tentang orang arab. Like it....

deang nacong mengatakan...

Sebelum bergaul dengan mereka sy juga membayangkan sosok islami yang sempurna, tetapi itu berubah. Bergaul dengan mereka memeng ada 2 tipikal yang bertolak belakang.kadang sangat extrem, kalau diluar mereka memang nampaknya ingin menerapkan gaya hidup seperti itu. istilah "Ini bukan di Arab teman...!" sering terlontar. Betul bang ajaran tentang makna itu yg harus penting. like it

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih mas guntur. senang sekali krn anda berkunjung ke sini.

Yusran Darmawan mengatakan...

iye. sy rasa kita dalam posisi sama. salamaki..

Posting Komentar