Beranda
/ Inspirasi Ariel di Sudut Jakarta
Inspirasi Ariel di Sudut Jakarta
SAAT meninggalkan Athens, Ohio, pada
Selasa pagi suhu udara adalah lima derajat celcius. Selama di pesawat yang
terbang melalui Chicago dan Hongkong, suhu udara juga dingin. Saya tak pernah
melepas dua lapis jaket yang saya kenakan. Namun saat keluar dari Bandara
Soekarno-Hatta, saya langsung keringatan. Suhu udara sekitar 33 derajat
celcius. Saya serasa keluar dari kulkas, dan dipaksa masuk ruang oven.
Sepanjang perjalanan dari bandara menuju
hotel tempat menginap, saya tak puas-puasnya memandang Jakarta. Dua tahun lalu,
saya meninggalkan kota yang penuh makna buat saya. Kota ini masih sumpek dan
sesak sebagaimana dahulu. Jalanan kota Jakarta sungguh beda dengan jalanan kota
Athens.
Di Athens, jalan raya hanya dimiliki oleh
mereka yang bermobil. Jalanan hanya milik sedikit orang yang bisa melaju
kencang di sirkuit kapitalisme. Memang, jalanan nampak rapi, akan tetapi saya
melihat ada pemandangan yang seragam. Duduk sambil menyaksikan jalanan bukanlah
aktivitas yang menarik di Athens. Semuanya seragam.
Sementara di Jakarta, pemandangannya jauh
lebih atraktif. Memang, jalanannya semrawut. Jalanannya berantakan serta penuh
lalu lalang manusia. Bagi saya, kesemrawutan itu menunjukkan bahwa semua orang
memiliki hak atas jalanan. Tiga hari di Jakarta, saya suka duduk-duduk di tepi
jalanan sambil melihat-lihat. Di depan hotel yang saya tinggali, saya melihat
jalan sempit yang dilalui berbagsai orang. Tak hanya mobil, namun juga motor,
bemo, pedagang asongan, hingga para ojek yang berseliweran di jalanan.
Suasananya ramai. Ada bunyi klakson yang
berpadu dengan bunyi kentongan atau teriakan para pedagang. Semua orang
memiliki kuasa dan saling bersikut-sikut di jalan raya. Jalanan raya ibarat
jendela untuk melihat kompleksitas masyarakat Indonesia. Kesemrawutan di jalan
itu adalah potret ketidakhadiran negara untuk mengatur lalu lintas, sekaligus
menunjukkan begitu hebatnya publik yang bisa mengatur dirinya.
Dua tahun meninggalkan kota ini, saya
melihat sesuatu yang sama. Kota ini masih penuh dengan reklame serta rerimbunan
bangunan-bangunan yang dihuni banyak orang. Di sepanjang jalan, saya melihat
iklan telepon selular yang menampilkan penyanyi Ariel Peter Pan. Beberapa tahun
lalu, ketika saya masih berumah di kota ini, Ariel dihujat kiri-kanan. Ia dimaki
karena membuat video porno dengan aktris cantik. Ia dianggap sebagai ikon
kemaksiatan. Kini, zaman telah berganti.
Banyaknya poster Ariel Peterpan
mengingatkan saya pada ucapan sejarawan Bill Frederick bahwa ingatan orang
Indonesia amatlah pendek. Seorang pesakitan bisa jadi hero dalam waktu singkat.
Dan seorang hero bisa pula terlupakan dalam sejarah.
Bill mencontohkan sosok Soeharto. Di masa
reformasi, ia dimaki setinggi langit. Para aktivis menyobek-nyobek fotonya demi
menyampaikan kegeraman pada sosoknya yang disebut sebagai biang segala krisis
di tanah air. Di masa kini, sosoknya tak seseram dulu. Ketika survei dilakukan
ia dianggap sebagai presiden paling besar dalam sejarah. Malah, namanya
diusulkan oleh sebuah partai politik demi menjadi pahlawan nasional. What?
Di ruang-ruang publik Jakarta, Ariel
kembali meraih kebintangannya. Di satu pusat perbelanjaan, posternya tersebar
di mana-mana. Ia kembali menjadi ikon dari anak-anak muda yang kreatif, tampan,
serta berpengaruh. Jika dua tahun silam ia dicaci, kini ia telah dipuji dan
menjadi bintang iklan.
Saat merenungi Ariel, tiba-tiba saya
melihat televisi yang dipenuhi tayangan tentang kader-kader partai politik yang
terindikasi korupsi. Saya juga melihat seorang kader partai itu yang mengkritik
lembaga anti-korupsi. Ada semacam kepanikan jika kelak semua kerja keras di
dunia politik akan porak-poranda. Ada pula semacam kekhawatiran kalau
peran-peran di dunia politik akan tersingkir karena pimpinan partai yang
terindikasi korupsi.
Nampaknya, mereka perlu belajar pada Ariel
Peterpan. Ia pernah terpuruk, dicaci, lalu dipenjarakan. Dua tahun setelahnya,
ia kembali menjadi idola baru. Toh, ingatan orang Indonesia itu pendek. Hari
ini pesakitan, besok akan jadi pesohor. Lantas, mengapa harus malu belajar pada
Ariel?
Jakarta, 18 Mei 2013
3 komentar untuk "Inspirasi Ariel di Sudut Jakarta"
Hehee, ketawa baca tulisan Ariel. Orang Indonesia gampang sekali bangkit dari keterpurukan, sekaligus melupakan sesuatu yang membuatnya terpuruk. Hm....
hehehe k'yusran bagusnya tulisannya kakak, ariel itu cerdas krna ia mampu menciptakan lirik2 lagu yg bermakna tentang hidup, mimpi,,,
ka yusran bagus tulisan, ariel bisa mnjdi tulisan yg menarik hehehe, kakak terus menulis ya as you are my great teacher