Tragedi Colorado, Trauma, dan Depresi Warga Amerika


bunga di pusara korban penembakan

AKIBAT tragedi penembakan pada pemutaran film Batman: The Dark Knight Rises di Aurora, Colorado, kepanikan terus melanda warga Amerika Serikat (AS). Kesedihan akibat penembakan itu seakan menjadi tragedi nasional, yang kemudian membuat Presiden Barack Obama ikut-ikutan menyampaikan bela sungkawa.

Nyaris di seluruh negara bagian, berita penembakan ini terus menjadi headline, dan menutupi berita tentang persaingan antara Obama versus Romney di kursi kepresidenan Amerika. Berita penembakan ini telah memicu diskusi publik tentang kepemilikan senjata, motif sang pembunuh, stres yang tengah melanda mahasiswa program doktoral, serta pengaruh media sosial yang memberikan informasi terkini tentang tragedi itu.

Di Athens, Ohio, tempat saya berdomisili, banyak orang menulis status di facebook, haruskah memakai baju pelindung saat menonton film ini? Ada pula yang berkomentar melalui media massa agar areal bioskop tidak menjadi areal yang steril terhadap senjata. “Mestinya, pengunjung bioskop diizinkan membawa senjata agar bisa membela diri pada situasi sebagaimana di Colorado,” kata seseorang sebagaimana dicatat USA Today.

Ada pula yang menyoroti tentang beban sebagai mahasiswa program doctor yang berat. Mereka dituntut untuk bisa menyelesaikan studi serta biaya kuliah yang semakin besar. Ada juga yang mengaitkannya dengan isu terorisme. Namun isu ini sudah ditepis oleh pihak kepolisian setempat. Aksi ini dianggap murni aksi kriminal yang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya.

Dari semua perdebatan itu, saya lebih tertarik mengikuti diskusi tentang latar belakang sang penembak yang bernama James Holmes (24). Warga Aurora di Colorado bertanya-tanya, mengapa ia melakukan itu? Bukankah ia berasal dari latar belakang kelas menengah terdidik yang tak punya catatan kriminal? Apakah ia sedang depresi karena ia drop out atau dikeluarkan dari program doctoral di kampusnya?

James Holmes

James Holmes berasal dari latar belakang kelas menengah. Usianya masih muda yakni 24 tahun. Beberapa tahun silam, ia menulis data dirinya sebagai seorang ‘an aspiring scientist’ atau ilmuwan yang menjanjikan. Ia juga menuliskan resume kalau dirinya sedang mencari pekerjaan sebagai seorang teknisi laboratorium.

Sahabat Holmes menggambarkan sosoknya sebagai pemuda yang brilliant dan penuh potensi. Ia lulus program sarjana pada satu universitas yang cukup bergengsi yakni University of California at Riverside. Pada tahun 2006, ia bekerja di Insitute for Biological Studies di La Jolla, California, dan pernah ikut memetakan neuron dan saraf otak beberapa binatang seperti zebra dan burung.

Mereka yang mengenal Holmes di San Diego, California, mengenalinya sebagai anak muda yang yang sopan dan cemerlang. “Dia sangat berbakat, sangat pintar,” kata Porsche Parkman (19), sahabat Holmes di sekolah. “Dia sangat baik. Keluarganya selalu ada di sisinya, saat ia membutuhkan pertolongan,” lanjutnya.

Senada dengan itu, mahasiswa biologi, Universitas Colorado, Kaitlyn Fonzi, juga memberikan gambaran yang baik tentang sosok Holmes. Perempuan, yang merupakan tetangga Holmes di apartemen dekat kampus ini, menyebut tak ada sesuatu yang aneh pada diri Holmes. “Kamu tak akan pernah menyangka bahwa ia akan melakukan hal seperti ini,” katanya.

Gambaran tentang Holmes sebagai sosok yang tersenyum pada buku almumni sekolahnya, sangat berkebalikan dengan pria yang membawa senjata dan menembak dengan cara membabibuta di Aurora, Colorado. Gambarannya sangat berbeda dengan pria yang mengecat rambutnya dengan warna merah, menyerupai musuh Batman yakni Joker. Pertanyaan yang masih tersisa adalah mengapa ia melakukannya?

bendera di pusara korban

Membaca Depresi

Harap dicatat, aksi ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, terdapat beberapa aksi yang menimbulkan trauma. Pada tahun 1999, terdapat aksi penembakan di sebuah sekolah menengah di Littleton, yang berjarak 27 kilometer dari Aurora. Aksi ini menewaskan 12 siswa dan seorang guru. Tahun 2007, terjadi pula penembakan membabibuta di Blacksburg, Virginia. Sebanyak 32 orang mahasiswa yang tewas secara mengenaskan. Semuanya menggambarkan apa?

James Allan Fox dari Northeastern University mengemukakan hipotesis yang menarik mengenai sebab pembunuhan tersebut. Menurutnya, pembunuhan massal disebabkan oleh seseorang yang frustasi atas keadaan, kemudian mengalami rasa kecewa atas kehidupan, perasaan terisolasi atau tersingkir dari keluarga, sehingga melahirkan perasaan yang menganggap diri tidak beruntung atau diperlakukan tidak adil.

Yang menarik buat saya adalah pernyataannya yang mengatakan bahwa terdapat ribuan orang penduduk Amerika yang merasakan ketidakadilan serta harapan yang terlalu besar dari dunia sosial. Anak-anak muda diwajibkan menggapai ambisi tertentu, sehingga terjebak dalam perjuangan menggapai mimpi-mimpi yang dtanamkan sejak kecil. Anak-anak muda itu lalu menyalahkan sistem yang tak adil, kelarga, atau masyarakat yang tak banyak mendukung mereka.

ucapan happy birthday di pusara

Buat saya, apa yang terjadi di Colrado adalah refleksi atas dunia sosial kita yang kian sakit. Banyaknya pembunuhan massa atau fenomena bunuh diri adalah puncak gunung es dari permasalahan sosial yang sesungguhnya mendera manusia modern. Masyarakat dunia terlampau sibuk dan bergulat dalam dilema pencarian kebahagiaan, sebuah titik yang dianggap bisa nyaman sebenar-benarnya, selalu merasa cukup, tanpa diganggu rasa depresi.

Manusia kerap alpa dalam mendefinisikan bahagia. Kita selalu hanya melihatnya dengan capaian-capaian ekonomi dan simbol-simbol material. Untuk itu, kemudi hidup kita digerakkan dalam orbit material. Kita mencari ilmu setinggi-tingginya, lalu harta sebanyak-banyaknya.

Kelak kita akan tiba pada satu titik bahwa semua itu tidak selalu memberikan rasa nyaman bagi kita. Harta yang menimbun itu tidak bisa memberikan rasa damai. Setiap saat kita was-was dan ketakutan. Sementara mereka yang berumah di pinggir kali justru menemukan kenyamanan tersebut, sesuatu yang kita cari hingga mengorbankan banyak waktu kita dalam hidup.

Dalam kasus James Holmes, tekanan sebagai mahasiswa program doctoral yang diharapkan bisa berbuat sesuatu, lalu kaya-raya (sebagaimana impian banyak orang Amerika), akhirnya menjadi tekanan yang tak kuasa untuk ditahannya. Fenomena dirinya yang berasal dari latar sosial yang makmur menjadi alarm bagi kita bahwa materi bukanlah satu-satunya hal yang dicari manusia. Manusia memang mencari bahagia dan demi kebahagiaan itu kita siap melakukan apapun.

poster film The Dark Knight Rises

Tapi, apakah bahagia memang sampai sejauh itu? Kata Jalaluddin Rumi, manusia yang mencari kebahagiaan ibarat ikan laut yang sibuk mencari air. Bahagia ibarat udara yang senantiasa melingkupi kita. Bahagia adalah sesuatu yang amat dekat dengan diri kita. Dia adalah sesuatu yang tak berjarak, mengisi sesuatu tanpa menuang. Bahagia melingkupi segala sesuatu. Bahagia mengikuti kemanapun kita pergi, namun sayangnya, tak banyak dari kita yang menemukan bahagia tersebut. Banyak yang mencari-cari, tanpa memahami bahwa bahagia itu amat dekat dengan dirinya. Tak berjarak.

Jika semua orang memahami makna bahagia dalam kehidupan, maka James Holmes tak perlu menembak banyak orang saat pemutaran film Batman. Tak perlu ada kasus bunuh diri. Dan betapa damainya dunia ini.(*)

1 komentar:

everybodygoesblog mengatakan...

Ehemmm kalau di Indonesia mindset bahagia ya kawin cepet punya anak secepet mungkin, jadi yang nambah cuma jumlah penduduk bukan kemajuan teknologinya Tapi efek baiknya no body shoot anybody.
Sementara amerika being happy you have to do something and be somebody dengan side efek kemajuan teknologi yang dasyat, tapi harus di bayar dengan banyak orang depresi dan menembak membabi buta.

Saya lebih pilih kondisi amrik saja, dari pada terus jadi negara tertinggal dan jakarta sumpek.

Posting Komentar