De Maccasare Zee Rovers, Bajak Laut Makassar

(Ini adalah catatan sahabat E.S Ito tentang dinamika mahasiswa Makassar. 
Sengaja saya muat kembali demi memberikan motivasi bagi mahasiswa Makassar yang sedang bergolak demi menantang rezim)


saat mahasiswa Makassar beraksi
(foto: Masyudi Syachban Firmansyah)

Di Makassar anak muda tidak pernah menjadi tua. Dengan kesadaran penuh mereka mengerti bahwa orde ketertiban hanyalah kerangkeng kelas yang memenjarakan anak-anak muda. Mereka senantiasa bergemuruh, penuh semangat dan tiada henti memaki kekuasaan. Di Makassar, kampus-kampus masih milik anak muda berlapis kelas, beragam latar belakang dan berjenis-jenis manusianya. Itu sebabnya energi mereka terpelihara dengan baik. 

Terkadang mereka melakukan latihan layaknya pasukan terlatih, dengan batu dan parang saling baku hantam sesamanya. Tidak usah panik, inilah anak muda. Tanpa kelahi, mana mungkin palu mereka terlatih merobohkan pintu kekuasaan. Dengan kelahi, anak-anak muda itu telah menjadi generasi bunga dengan cara mereka sendiri. Sebab mereka percaya, kesantunan, senyuman, adat istiadat jongkok kemayu adalah feodalisme terselubung ala seberang pulau sana. Di kaki Dewi Celebes sana, mereka menolak untuk tertib. Sebab ketertiban hanyalah senda gurau penguasa mengatasi kepanikan. 

Di Jakarta, jalanan bukan lagi milik anak muda apalagi mahasiswa. Kampus-kampus beraneka warna jaket mereka telah terhubung baik dengan industri televisi. Organisasi mahasiswa masih mengumpulkan massa, tetapi mereka tidak perlu lagi menyewa bus kota. Mereka masih mengenakan jaket almamater tetapi tidak lagi menantang teriknya mentari. Mahasiswa-mahasiswa Jakarta magang di televisi, menjadi massa bodoh yang senantiasa bergantian menjadi audiens talkshow televisi. 

foto: Abbas Sandji

Di kampus UI, yang jumlah mobil mahasiswanya lebih banyak dibanding total mahasiswa miskin yang kuliah, keseragaman menguntungkan penguasa. Bagi anak-anak mami itu, gerakan sosial adalan ancaman untuk kemapanan rutinitas mereka. Bocah-bocah yang tidak pernah beranjak dewasa itu itu dimanja oleh kampus. Mereka tidak perlu berdiskusi macam-macam, cukup main futsal saja di waktu senggang. Sebab di setiap fakultas tersedia lapangan futsal yang mungkin jadi mimpi bagi mahasiswa di kampus-kampus luar daerah. Beginilah cara kampus melayani anak-anak mami, dengan cara memaksa mereka tetap menjadi bocah-bocah mapan yang takut dengan jalanan. 

Hari ini 9 Desember, karnaval besar di Jakarta. Di panggung jalanan, tidak tampak lagi anak-anak muda dengan jaket almamater. Orang-orang mengatakan, inilah kebangkitan kelas menengah melawan korupsi. Beginilah cara damai orang-orang muda menyampaikan sikap dan pendapat. Di tengah kerumunan massa, aktor-aktor kelas menengah ini dan tentu saja minus mahasiswa Jakarta di panggungnya, membacakan deklarasi. Mahasiswa Jakarta terbiasa menjadi penonton sebab mereka biasa dibayar oleh televisi. Tidak punya inisiatif dalam aksi, sebab mereka percaya belum saatnya menjadi bagian dari kelas menengah tercerahkan. 

Sementara aktor-aktor kelas menengah tidak bisa lagi dibilang muda, terlalu banyak rekam jejak yang perlu dipertanyakan, berkeluarga sehingga tidak berani ambil risiko apa-apa. Beginilah karnaval jalanan Jakarta, hanya pertunjukan televisi penuh sopan santun, tanpa gairah dimana peserta aksi sama takutnya dengan penguasa. Di Jakarta, penguasa dan penggugat dikalahkan oleh ketakutan mereka sendiri. Tetapi di Makassar dimana istilah kelas menengah dan agen perubahan hanya milik mahasiswa; mereka menolak untuk takut. Di sana demonstrasi tidak pernah berubah menjadi karnaval. Tangan tidak boleh berhenti terkepal. Dan bila aparat keamanan telah menyiapkan tameng dan tongkat, itu artinya jangan pernah bermimpi untuk pulang di siang bolong. Mudah menuding aksi mereka rusuh, tidak terkendali, anarkis dan segala macam tudingan lainnya. 

Tetapi bukankah memang demikian tabiat anak muda, sedikit konyol tetapi penuh gairah. Dalam sistem sosial politik dimana semuanya terpusat di Jakarta maka daerah-daerah bahkan sebesar Makassar tidak pernah diisi oleh elit-elit yang diakui secara nasional. Semua elit berkumpul di Jakarta, mulai dari elit politik hingga pelacur kelas tinggi. Itu sebabnya panggung jalanan mereka tidak memberi ruang untuk orang-orang tua yang berusaha sok muda. Jalanan milik mahasiswa dan anak muda. Jaket-jaket almamater mereka tidak pernah wangi untuk acara televisi, mereka kumal dibakar terik mentari dan debu jalanan. 

foto: Abbas Sandji

Maka bila di Makassar sana, anak-anak muda masih berkelahi melawan ketertiban sambil sesekali memungut batu sebagai senjata; dengan semua kekonyolan mereka itulah anak muda –semuda-mudanya mereka-. De Maccasare Zee Rovers, bajak laut Makassar, ungkapan ketakutan VOC pada Karaeng Galesong lebih dari 3 Abad yang lampau masih menjadi ketakutan penguasa pada masa sekarang. Di kampus-kampus Makassar sebagaimana pernah saya datangi, ragam kelas sosial latar belakang mahasiswa masih terjaga. Kampus masih menjadi tempat yang nyaman untuk menyampaikan gagasan dan bukan bermain futsal. 

Nyali mereka senantiasa terpelihara sebab mereka tahu, jauh dari pusat kekuasaan tidak satu kekuatan pun akan melindungi mereka. Di antara kegelisahan kita melihat mahasiswa-mahasiswa wangi dan centil yang berdandan menor mengendarai mobil orang tuanya, ada asa di timur sana. Jakarta mungkin saja tetap akan menjadi pusat kekuasaan tetapi rasa-rasanya tidak akan lagi pernah menjadi pusat perlawanan mahasiswa. Matahari terbit dari timur, perlawanan anak muda memberi cahaya dari ufuk sana. Makassar adalah kiblat gerakan mahasiswa Indonesia. Selamat tinggal mahasiswa Jakarta.

21 komentar:

Anonim mengatakan...

KITA HARUS SMANGAT KAWAN-KAWAN INI ADALAH NASIB KITA SEMUAA...HIDUP MAHASISWA,,EWAKO MAKASSAR...

rhany mengatakan...

Izin share ya kak....

Anonim mengatakan...

aslinya dapet dmn nih bang?

OrangeFest mengatakan...

Sesekali, Presiden Indonesia harus dari luar pulau Jawa!

gAdit mengatakan...

keren kanda... izin share.....

Anonim mengatakan...

Jangan salah mas bro diam itu juga senjata. Hal ini sudah dibuktikan Mahatma Gandhi lewat Ahimsa. Masalahnya haruskah kita selalu menggunakan kekerasan untuk menyelasaikan suatu masalah.
Memang jika kita memilih jalur kiri melalui mengintimidasi, mungkin kekuasaan pusat bisa diruntuhkan. Tapi jangan lupa tanpa figur
pemimpin yang tepat mau kemana bangsa ini. Tidak semua orang bisa memimpin bukan...? Apakah tidak ada jalan yang lebih arif sehingga kita terhindar dari chaos. Saya yakin todak ada pemimpin yang 100% bersih di dunia ini. Semua pasti punya cela. Saya pikir kekerasan tidak selalu harus dibalas dengan kekerasan masih banyak jalan lain yang lebih arif dan bijaksana

Anonim mengatakan...

itukan mahatma gandhi kita beda, mngkin dlu jaman nya mahatma gandhi klo org diam dianggap memberikan perlawanan,,, skrng diam tidak lebih dari seorang pelacur yang mnjual harga dirinya.

Anonim mengatakan...

ewako makassar.. bravo, bravo, bravo... keep on fighting till the end.. now and forover..

TEKNIK 09 mengatakan...

ewako makassar..
we are the champion..
keep on fighting till the end..
now end forever..

TEKNIK 09 mengatakan...

ewako makassar..
we are the champion..
keep on fighting till the end..
now end forever..

Anonim mengatakan...

kau bukan Mahatma Gandhi..

Anonim mengatakan...

Diam bukan berarti emas tp bagamana kita mewujudkan perubahan itu#hidup mahasiswa

Anonim mengatakan...

Tunduk tertindas ato bangkit melawan, sy slalu ingat kata2 ini kanda

Anonim mengatakan...

Demo sih wajar,namanya jg menyalurkan aspirasi...tp jngn sampe tutup jalan dong,bukan cuman mahasiswa yg punya jalan,banyak masyarakat lain...bgaimana kl org yg sekarat mau dirujuk ke rumah sakit untuk diselamatkan nyawanya,lantas dijalan ktemu macet gara2 pendemo yg tutup jalan,bagaimana jg dngn supir2 angkot,yg hilang rezekinya karena penumpangnya pada kabur smua karna macet akibat demo...

thoreau mengatakan...

Jika km berpikir begitu, kenapa masi saja mempercayakan orang lain untuk jd pemimpinmu? Itulah kenapa kita hrs jadi pemimpin buat diri sendiri, dan kawan2 makassar ini contohnya.

Unknown mengatakan...

Diam atau tertindas! #hidupmahasiswa

Unknown mengatakan...

Diam atau tertindas! #hidupmahasiswa

Anonim mengatakan...

jika kekerasan mampu membawa perdamaian dan kemerdekaan maka kami akan bawa kekerasan itu ditangan kiri kami tetapi jika hanya diam membawa kemerdekaan maka akan kututup mulut ini dengan tangan kanan kami. Diam untuk Tertindas atau melawan dengan kekerasan sama-sama merugikan tapi menghasilkan sesuatu yang beda!

Anonim mengatakan...

Mahasiswa sekarang itu lawannya rakyat
Rakyat dibuat sengsara sama mahasiswa
Cocoknya bukan Demo tapi Mahasiswa Vs Rakyat
Contohnya aja langsung mahasiswa unismuh dipukul mundur ama rakyat sampe lari kebirit2 kayak pelacur (Rakyat win)
Dinonton di TV ama orang luar Makassar, jadi mahasiswa makassar itu ga punya malu secara umum begitu..
Sekarang 2014 udah mau 2015 bukan lagi jaman demo yg anarkis tapi bagemana Demo itu merangkul rakyat.
(caranya gimana ??? pikir sendiri, katanya pintar kan mahasiswa/ klo ga bisa jgn jadi mahasiswa kluar aja dari kampus)
Makassar itu kota yg bermartabat tapi saya nda pernah bilang orang luar Makassar itu lebih jelek dari Makassar
Jangan bawa RAS, saat berceramah, kita NKRI berpikirlah yg jernih jgn menyinggung mahasiswa kota lain sebelum menilai orang lain. Merdeka !!!!

Anonim mengatakan...

Tulisan paling egois penuh penu pujian sanjungan..pembelaab terhadap kesalahan

Anonim mengatakan...

Omong kosong! Coba liat ada banyak lulusan kampus di makassar, yg jd anggota dprd atau di pemerintahan. Mati kehilangan idealisme. Membusuk pada kursinya yg berakarkan korup. Hipokrit!

sangat berbeda dengan mereka yg mengambil jln realistis sejak awal. jelas tanpa kemunafikan. Karena mereka tau Realistis adalah sikap telah kenyang akan idealisme2 kaku tai kucing.

Posting Komentar