Kehebatan Itu Laksana Embun yang Menetes di Dedaunan


MEREKA yang terjebak dengan apa yang tampak adalah mereka yang tak sanggup menembus kedalaman lautan kenyataan, tak sanggup menelusuri sisi-sisi terdalam sekeping apa yang tampak, tak sanggup membaca horizon tanda-tanda zaman dan semesta di ufuk sana. 

Dahulu, Musa pernah menganggap dirinya sebagai yang terhebat. Tuhan menegurnya dengan cara mengirimkan seorang Khidir yang tampil sebagai warga biasa. Musa tak melihat apapun pada diri Khidir, malah menyalahkan semua tindakan Khidir. Akhir kisah ini adalah Khidir lalu menyingkap tabir kearifan dan menunjukkan pada Musa lapis-lapis realitas yang terdalam. 

Kita, manusia modern, seringkali menjadi Musa yang mudah terjebak dengan apa yang tampak. Kita seringkali mencibir apa yang tampak berbeda dari konsepsi kita, kemudian kita melabelnya dengan kata-kata seperti bodoh, geblek, kampungan, bego, atau kurangajar. Kita sering diperangkap ilusi kemajuan lalu secara perlahan kepongahan merayapi diri kita, membangun belukar dan semak yang menutupi hati kita dari selarik cahaya. 

Kita seringkali membangun ilusi kehebatan sebagaimana Musa yang mengklaim diri sebagai yang terhebat. Kita sering mengabaikan fakta tentang seseorang yang tengah beringsut maju dan mengasah diri dalam bingkai sebuah proses. Kita sering alpa sebab hanya melihat apa yang tampak di depan mata. Padahal, kearifan tradisional kita justru banyak mengajarkan bahwa jangan sekali-kali menilai sesuatu hanya dari apa yang tampak. Namun, seberapa banyakkah di antara kita yang meyakini akan pentingnya kerendah-hatian serta selalu ingin belajar dari setiap tetes kenyataan? 

Musa yang membelah lautan

Kita tak banyak belajar hal yang dianggap remeh-temeh oleh dunia sosial kita. Kita adalah bagian dari masyarakat jahiliyah abad ke-21 yang memenuhi bumi dengan keangkuhan kita sendiri. Kita tak diajak untuk memperkaya pengalaman, sebagai hal paling penting di dunia ini, dan menjadi penanda kemampuan seseorang membawa diri di rimba raya kehidupan. Kita tak belajar tentang pentingnya pengalaman yang mengajarkan bahwa kemampuan di sekolah justru bukanlah tolok ukur kehebatan seseorang. 

Kita sering mengabaikan hal-hal yang sesungguhnya adalah kearifan tradisional kita sendiri yang nyaris terlupakan. Orang tua kita telah lama mengajarkan bahwa yang terpenting bukanlah menjadi cerdas. Yang terpenting adalah menjadi bijaksana pada berbagai lapangan kehidupan. Seorang cerdas belum tentu bijaksana. Sementara seorang bijaksana, pastilah seorang cerdas. 

Bagi saya, apa yang disebut hebat itu adalah sesuatu yang bersemayam dalam diri, sebagai hasil dari olah gagasan serta perenungan mendalam atas kenyataan, kemudian direfleksikan dalam sikap untuk belajar dari apapun, selalu merasa biasa saja, demi menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya. Kehebatan itu adalah sikap merasa diri biasa saja demi kearifan untuk terus belajar dari setiap tetes pengalaman. 

Kehebatan itu laksana embun yang menetes di dedaunan, tak pernah mengharapkan kemilau, namun mataharilah yang menampakkan kejernihannya. Kehebatan itu ibarat sungai jernih yang alirannya sanggup memadamkan dahaga semua mahluk, namun begitu sederhana sebab selalu mencari jalan yang lebih rendah. Kehebatan itu adalah kebersahajaan yang merupakan pancaran dari tingginya pendakian demi menggapai puncak intelektualitas yang bersenyawa dengan kearifan seluas samudera. Kehebatan itu adalah kesediaan untuk belajar pada siapapun, dan di manapun. Tak hanya pada manusia, namun juga pada mahluk Tuhan. Juga kesediaan untuk selalu belajar pada setetes embun yang tersisa di dedaunan.



Athens, Ohio, 6 Februari 2012

3 komentar:

darmawati alimuddin mengatakan...

wihhh,kak yusss.tulisan ini bagus sekaliii..merindingkaaa..dan sy merasa semakin kecil dan belum bisa dibilang rendah hati..:(

Yusran Darmawan mengatakan...

@Schatzi: makasih atas komentarnya

yusrandarmawan mengatakan...

thanks yaa

Posting Komentar