NGAPAIN membeli barang asli selagi ada bajakan? Dulunya saya tidak suka dengan pernyataan tersebut. Sebab bajakan adalah barang tiruan atau barang palsu yang dibuat tanpa sepengetahuan pemilik hak paten atas barang tersebut. Saya membayangkan betapa ruginya para produsen. Namun, jika mengingat betapa mahalnya barang asli, saya jadi dilematis. Saya jadi tidak tahu bagaimana bersikap dan menilai hal ini.
Indonesia adalah negeri yang dipenuhi barang bajakan yang berharga murah. Tidak hanya perangkat elektronik atau cakram film, namun juga buku-buku yang dibandrol dengan harga relatif murah.Di Jakarta, semua warga sudah pada tahu di mana bisa menemukan barang bajakan itu. Jika elektronik, maka bisa ditemukan di Glodok. sedangkan buku, anda bisa mencarinya di Pasar Senen. Jika dilihat dari sisi kualitas, tentunya barang asli jauh lebih berkualitas. Meskipun saya sering menemukan justru barang bajakan punya kualitas yang tidak kalah. Saya pernah memakai HP jenis Communicator. Tak sampai setahun, HP itu harus sudah diservis yang biayanya hampir sejuta. Sementara jenis HP Cina yang amat murah dan saya beli sejak tahun lalu, sampai sekarang masih bertahan. Ah, jangan-jangan, merek mahal itu justru membohongi kita.
Jangan tanya masalah harga. Amat jauh bedanya. Sebuah HP jenis Blackberry bisa seharga Rp 5 juta. Tapi jika anda mencari Blackberry bajakan, maka hanya dapat Rp 1 juta. Jika suatu saat anda jalan-jalan ke Pasar Senen, jangan terkejut jika melihat buku Dunia Sophie karya Jostein Gardner yang dijual hanya Rp 15.000, padahal yang asli harganya bisa Rp 120.000. Atau novel-novel karya Andrea Hirata yang juga Rp 15.000, sementara yang asli bisa sampai Rp 80.000. Nah, sebagai konsumen anda hendak pilih mana? Terserah jika anda bersikap idealis dan memilih yang asli. Maafkan jika saya berbeda dengan anda. Saya masih berprinsip, jika ada yang murah, ngapain membeli yang mahal? Iya khan.
Mengapa sampai ada barang bajakan? Kata teman, barang aslipun sebenarnya bisa murah. Barang tersebut jadi mahal karena mahalnya biaya distribusi. Bisa pula karena besarnya biaya yang diminta oleh para pedagang. Tahukah Anda bahwa toko buku sekelas Gramedia memasang tariff sebesar 35 persen dari buku apapun yang dipajang di situ? Jika percetakan juga memasang tariff 35 persen, maka hanya 30 persen yang tersisa untuk pengarang. Bukankah itu jumlah yang sangat sedikit jika membayangkan betapa sulitnya menulis dan menghasilkan sebuah buku? Mahanya sebuah buku akibat keuntungan dihisap oleh jaringan toko buku dan percetakan. Pantas saja jika pengarang Pramoedya Ananta Toer memilih mencetak dan memasarkan sendiri buku-bukunya. Bukankah itu jauh lebih baik?
Saya tahu bahwa membeli bajakan hanya akan merugikan para pengarang. Namun, saya juga dilematis. Sebagai konsumen, jelas saya ingin yang lebih murah. Saran saya, sebaiknya para pengarang memilih kiat Dewi Lestari, yang mencetak sendiri bukunya, kemudian memasarkan sendiri. Dan terakhir adalah membajak sendiri bukunya. Alasannya, para konsumen punya isi dompet berbeda. Tidak semua sanggup membeli buku mahal. Maka solusinya adalah bajak sendirilah buku yang ditujukan untuk edisi terbatas. Bukankah itu jauh lebih baik sebelum didahului para pembajak?
0 komentar:
Posting Komentar