102 tahun kebangkitan nasional. Negeri ini semestinya merayakan rasa malu kepada pendahulunya. Semangat terkepal untuk memajukan bangsa 102 tahun lalu, kini hanya menjadi slogan untuk pembakar semangat. Antara masa lalu dan masa kini, tak ada perbedaan yang substansial sebab negeri ini masih saja bergelut dengan persoalan yang sama. Sekitar 102 tahun yang lalu, anak bangsa bertekad memajukan rakyat yang miskin dan terbelakang akibat ditindas oleh cengkeraman kolonialisme. Kini, kemiskinan dan keterbelakangan itu masih sangat mudah ditemukan di mana-mana, semudah membalikkan telapak tangan.
102 tahun kebangkitan nasional. Dulunya kolonialisme berbendera VOC dan berwajah sangar ketika menghardik anak negeri, kini kolonialisme berganti rupa dengan bendera perusahan multinasional. Mereka berwajah santun, khususnya ketika menyogok pemerintah dan pejabat lokal demi mendapatkan kuasa pertambangan dan mengeruk sesuka-sukanya. Kini, penjajah berwajah tampan, blasteran, yang setiap kemunculannya selalu menghadirkan histeria massa. Mereka hadir laksana bintang sinetron yang baik, kemudian mengeruk hasil bumi dan menyisakan sampah yang harus dimakan oleh anak negeri. Birahi kolonialisme yang dikemas dalam balutan wajah artis sinetron masih bersarang di benak mereka. Dan negeri ini terus dikeruk setiap saat.
102 tahun kebangkitan nasional. Negeri ini seolah tak pernah beranjak dan terus saja jalan di tempat, tanpa menyerap hikmah dari ceceran perjalanan sejarah bangsa sejak mengumandangkan kebangkitan nasional. 100 tahun yang lalu, kaum cerdik cendekia mendengungkan semangat perubahan bagi negeri ini. Kini semangat perubahan itu hanya menjadi nyanyian pengiring bagi karnaval anak kecil yang membawa bendera merah putih. Kalimat perubahan itu tidak menjelma menjadi darah dan daging serta sumsum perubahan yang semestinya dibumikan para pemimpinnya. Para pemimpin hanya menjadikan semangat itu sebagai nyanyian pengantar tidur bahwa ini negeri besar, bahwa ini negeri yang sungguh kaya raya dengan hasil bumi. Dan keesokan harinya, pemimpin itu kemudian tersenyum dan mengemis pada bangsa asing. Keesokan harinya menjual mineral yang ada di perut ibu pertiwi.
102 tahun kebangkitan nasional. Banyak berdiri gedung pencakar langit, banyak berseliweran parade mobil mewah. Setiap harinya adegan kemewahan dipertontonkan di televisi. Sementara jutaan anak negeri lainnya masih mengais sampah demi menyambung hidup, masih menangis tersedu-sedu di kala malam tatkala perut lapar melilit, masih harus menjadi maling karena tak mampu mencukupi nafkah. Serta masih banyak anak negeri yang bunuh diri karena lapar.
102 tahun kebangkitan nasional. Perut ibu pertiwi masih kaya dengan sumber daya alam. Akan tetapi semuanya diraup bangsa lain. Sementara anak negeri hanya menjadi penonton dan tak bisa berkata apa-apa. Para pemimpin sibuk memperkaya diri dan membangun istana-istana kemewahan di mana-mana. Para pemimpin sudah tidak peduli dengan tangis orang miskin. Setiap harinya, para pemimpin pongah dengan mobil mewah yang dikendarainya dan di saat bersamaan masih saja sibuk meneriakkan “peduli rakyat kecil.”
102 tahun kebangkitan nasional. Para intelektual dan cerdik cendekia masih menjadi stempel dari berbagai keserakahan pemimpinnya. Intelektual sibuk mengejar proyek demi merayakan hidup mewah seperti para pejabat. Para intelektual tidak lagi memiliki tangis lirih untuk mereka yang biasa ditindas. Kaum intelektual sudah buta mata dan buta hati. Mereka mengaku intelektual, padahal gelar itu hanya menjadi gelar kebangsawanan. Gelar profesor gampang dibeli semudah membeli jabatan atau gelar di pemerintahan. Para intelektualnya semua karbitan dan hanya menjadi kayu bakar dari proses pembodohan di negeri ini.
102 tahun kebangkitan nasional. Para ulama sudah tidak peduli dengan umatnya. Ke mana-mana pidato dengan naik mobil mewah dan hanya menjadi juru kampanye dari pejabat korup negeri ini. Ulama sudah seperti pengemis dan sibuk menadahkan tangan ke sana-sini denganj cara menjadi tim sukses. Kalimat Tuhan sudah tidak sakral lagi sebagai bahasa kebenaran bagi rakyat, namun menjadi alat kekuasaan demi memenangkan sebuah rezim. Ulama sudah tidak mau lagi mendengarkan tangis sedu-sedan umatnya sendiri. Ulama sibuk mencari cara agar kaya raya.
102 tahun kebangkitan nasional. Negeri ini kehilangan rasa malu. Kehilangan malu kepada Tuhan, malu pada sejarah, serta kehilangan malu kepada seluruh manusia yang mendiami ibu pertiwi ini.(*)
102 tahun kebangkitan nasional. Dulunya kolonialisme berbendera VOC dan berwajah sangar ketika menghardik anak negeri, kini kolonialisme berganti rupa dengan bendera perusahan multinasional. Mereka berwajah santun, khususnya ketika menyogok pemerintah dan pejabat lokal demi mendapatkan kuasa pertambangan dan mengeruk sesuka-sukanya. Kini, penjajah berwajah tampan, blasteran, yang setiap kemunculannya selalu menghadirkan histeria massa. Mereka hadir laksana bintang sinetron yang baik, kemudian mengeruk hasil bumi dan menyisakan sampah yang harus dimakan oleh anak negeri. Birahi kolonialisme yang dikemas dalam balutan wajah artis sinetron masih bersarang di benak mereka. Dan negeri ini terus dikeruk setiap saat.
102 tahun kebangkitan nasional. Negeri ini seolah tak pernah beranjak dan terus saja jalan di tempat, tanpa menyerap hikmah dari ceceran perjalanan sejarah bangsa sejak mengumandangkan kebangkitan nasional. 100 tahun yang lalu, kaum cerdik cendekia mendengungkan semangat perubahan bagi negeri ini. Kini semangat perubahan itu hanya menjadi nyanyian pengiring bagi karnaval anak kecil yang membawa bendera merah putih. Kalimat perubahan itu tidak menjelma menjadi darah dan daging serta sumsum perubahan yang semestinya dibumikan para pemimpinnya. Para pemimpin hanya menjadikan semangat itu sebagai nyanyian pengantar tidur bahwa ini negeri besar, bahwa ini negeri yang sungguh kaya raya dengan hasil bumi. Dan keesokan harinya, pemimpin itu kemudian tersenyum dan mengemis pada bangsa asing. Keesokan harinya menjual mineral yang ada di perut ibu pertiwi.
102 tahun kebangkitan nasional. Banyak berdiri gedung pencakar langit, banyak berseliweran parade mobil mewah. Setiap harinya adegan kemewahan dipertontonkan di televisi. Sementara jutaan anak negeri lainnya masih mengais sampah demi menyambung hidup, masih menangis tersedu-sedu di kala malam tatkala perut lapar melilit, masih harus menjadi maling karena tak mampu mencukupi nafkah. Serta masih banyak anak negeri yang bunuh diri karena lapar.
102 tahun kebangkitan nasional. Perut ibu pertiwi masih kaya dengan sumber daya alam. Akan tetapi semuanya diraup bangsa lain. Sementara anak negeri hanya menjadi penonton dan tak bisa berkata apa-apa. Para pemimpin sibuk memperkaya diri dan membangun istana-istana kemewahan di mana-mana. Para pemimpin sudah tidak peduli dengan tangis orang miskin. Setiap harinya, para pemimpin pongah dengan mobil mewah yang dikendarainya dan di saat bersamaan masih saja sibuk meneriakkan “peduli rakyat kecil.”
102 tahun kebangkitan nasional. Para intelektual dan cerdik cendekia masih menjadi stempel dari berbagai keserakahan pemimpinnya. Intelektual sibuk mengejar proyek demi merayakan hidup mewah seperti para pejabat. Para intelektual tidak lagi memiliki tangis lirih untuk mereka yang biasa ditindas. Kaum intelektual sudah buta mata dan buta hati. Mereka mengaku intelektual, padahal gelar itu hanya menjadi gelar kebangsawanan. Gelar profesor gampang dibeli semudah membeli jabatan atau gelar di pemerintahan. Para intelektualnya semua karbitan dan hanya menjadi kayu bakar dari proses pembodohan di negeri ini.
102 tahun kebangkitan nasional. Para ulama sudah tidak peduli dengan umatnya. Ke mana-mana pidato dengan naik mobil mewah dan hanya menjadi juru kampanye dari pejabat korup negeri ini. Ulama sudah seperti pengemis dan sibuk menadahkan tangan ke sana-sini denganj cara menjadi tim sukses. Kalimat Tuhan sudah tidak sakral lagi sebagai bahasa kebenaran bagi rakyat, namun menjadi alat kekuasaan demi memenangkan sebuah rezim. Ulama sudah tidak mau lagi mendengarkan tangis sedu-sedan umatnya sendiri. Ulama sibuk mencari cara agar kaya raya.
102 tahun kebangkitan nasional. Negeri ini kehilangan rasa malu. Kehilangan malu kepada Tuhan, malu pada sejarah, serta kehilangan malu kepada seluruh manusia yang mendiami ibu pertiwi ini.(*)
0 komentar:
Posting Komentar