Pemuda Seonggok jagung

Selama dua hari saya menuntaskan laporan penelitian di kafe Black Canyon, salah satu kafe paling elite di Makassar. Selama dua hari itu, saya berdiskusi dengan kawan, seorang akuntan, yang menemani menyusun anggaran keuangan. Kami membahas anggaran yang sampai ratusan miliar rupiah. Kami mengatur rencana lalu lintas uang ke banyak pihak. Ini pengalaman pertama buat saya.

Setiap orang punya batasan titik terjauh dalam imajinasi. Imajinasi saya tentang uang adalah sesuatu yang bisa ditemukan dalam kantong celana jeans, atau dalam dompet lusuh. Itupun jumlahnya hanya lembaran uang seribuan. Tatkala harus membayangkan dana sampai miliaran, imajinasi saya seakan menabrak tembok. Ini di luar batas imajinasi saya, dan betapa sulitnya mereka-reka tentang uang sebanyak itu.

Sepulang dari Black Canyon membahas uang miliaran itu, rasa lapar menyergap. Saya lalu merogoh dompet untuk memeriksa isinya. Dan, isi dompet hanya Rp 2.000, hanya cukup membeli indomie rasa kaldu ayam. Terpaksa saya mengisi perut dengan indomie. Saat itu saya merasakan paradoks. Beberapa menit lalu membahas uang miliaran, tiba-tiba saat hendak makan malam, uang di dompet hanya cukup membeli indomie. Inilah paradoks hidup.

Sekonyong-konyong, saya mengenang puisi Rendra yang berjudul Seonggok Jagung. Tentang seorang pemuda yang ingin berbuat banyak, pemuda yang ingin menjejak matahari. Akan tetapi saat balik ke rumahnya ia hanya melihat seonggok jagung untuk makan sehari-hari. Ia tak berdaya dan harus merenungi batas-batas paling realistis yang harus dipijaknya.

Dan sayalah pemuda yang melihat seonggok jagung itu…

0 komentar:

Posting Komentar