Menikam Sepi di Siang Bolong


(tulisan ini masih mentah. Belum selesai. Saya tak tahan untuk segra mempublikasikannya di blog ini. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini akan saya benahi)


“Kakak…. Bukankah aku tidak sedang pergi jauh…Bukankah aku masih di sini?” katanya dengan suara pelan, terdengar sayup-sayup dan nyaris seperti sebuah gumaman. Aku tak bisa berkata apa-apa. Lidahku seakan kelu. Hari ini, untuk kesekian kalinya aku menelepon karena tak tahan dengan rindu yang menggedor-gedor dada ini. Seakan-akan ada sesuatu yang aneh dan mengalir di dada ini. Aku dahaga ingin mendengar suaranya. Dan ketika suara itu menyapa dari jauh, sesaat aku terpuaskan. Namun sekian detik berikutnya, aku kembali sakauw, dan dihinggapi dahaga yang dahsyat lalu membuatku semaput.


Ia memang baik-baik saja dan tidak ke mana-mana. Namun, suaranya seolah berbisik dari sebuah tempat yang jauh. Ia terbang jauh ke dunia lain di mana aku tak kuasa untuk menggenggam jemarinya, menahannya agar tidak pergi jauh. Namun, tarikan mimpi-mimpinya sedemikian kuat hingga genggamanku terlepas. Aku hanya bisa menyaksikannya berjalan di kejauhan hingga tak terasa ada air bening yang menetes di wajahku. Ah,....betapa cengengnya diriku yang tak bisa berdamai dengan situasi.

Belakangan ini, aku menjalani hari-hari yang berubah. Horison pandangku seolah kabur hingga tak bisa lagi menikmati indahnya warna-warni hidup. Tanpa dirinya, hidup sungguh menjemukan. Hidup ibarat foto hitam putih yang getir, tanpa sentuhan warna-warni. Semuanya bergerak begitu lambat seolah sedang menyaksikan adegan slow motion lambat sebuah film. Namun, apapun yang terjadi, aku harus tetap menatap lurus ke depan. Bukankah ada saat di mana kita harus bersedih agar kegembiraan lebih bermakna?

Saraswati namanya. Perempuan yang hadir ketika aku sedang terpuruk dan merutuki hidup. Ia adalah jawaban dari pencarianku yang lama dan tak lelah. Sungguh, jika diperhatikan dengan teliti, ia tak begitu cantik, namun memiliki senyum yang seolah terpatri abadi di wajahnya. Ia memang seorang yang periang. Saban hari selalu saja tertawa dan mengganggu pikiranku yang berkelebat tak tentu arah, mengurai sengkarut keruwetan berpikirku, hingga melepas semua buhul masalah. Keceriaan adalah payung yang selalu menemani hari-harinya, juga menulariku. Hidupku jadi berbeda dan sesekali melihat dunia dengan caranya memandang. Bagiku, kehadirannya sangatlah penting. Betapa tidak, ia seolah menggenapi sisi lain diriku yang suka berkarib dengan sunyi dan akrab memikirkan berbagai tanda tanya. Ia adalah bulan yang menyejukkan matahariku.

Dirinya adalah sekeping surga yang dijatuhkan Tuhan kepadaku. Ia adalah surga yang menjadi udara bahagia yang menyelusup di sela-sela nadiku. Cintanya adalah semesta yang melingkupiku. Ia adalah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tanda tanyaku yang tak berujung, tetes embun yang menghangatkan dahagku dalam pencarian sekeping tawa. Mungkin Tuhan sengaja mengirim dirinya untuk menjadi antitesis atas sunyiku. Dan Tuhan pula yang menggerakkan hatinya untuk mencari kesibukan dan membuatku terjerembab dalam labirin kesunyian yang terus menggedor batinku. Ah, mungkin ada makna yang harus disibak di sini.

Beberapa hari yang lalu, ia memutuskan untuk menjalani satu rutinitas. Aku mulai merasa kehilangan manjanya. Kehilangan suara ribut yang kekanakan namun menjadi pelipur laraku. Hari-harinya seakan disekap di satu tempat di mana ia mengikuti pelatihan kerja di satu lembaga. Aku tak bisa menghubunginya setiap saat. Kesunyian yang dulunya adalah sahabat akrabku, kini kembali menyapa. Kebahagiaanku seakan lumer dalam getir.

“Kakak tidak pernah tahu bagaimana rasanya ditinggalkan,” sayup-sayup kalimatnya masih menjejak di hatiku. Setiap kali aku beranjak jauh, ia akan mengucapkan pertanyaan itu. Dulunya, aku tak paham apa maknanya. Kini, barulah aku mengerti. Aku memang sering meninggalkannya. Ketika mimpiku terentang jauh di ufuk selatan, aku bergegas menuju ke sana, dan meninggalkannya yang sedang mengayam mimpi di Kota Makassar. Aku terlampau egois karena mengejar fatamorgana di ufuk sana. Sesunggukannya ketika diriku berkemas seolah duri kecil yang menganggu sepatuku. Langkahku tetap lurus dan bergerak maju. Ia mengaku kehilangan dunia, sementara aku justru menemukan sebuah dunia yang baru. Di ufuk selatan itu, aku menjalani hari yang bergegas. Saban hari aku sibuk dengan berbagai rutinitas kegiatan. Kesendirian adalah bahasa kami dalam menantang hidup. Bedanya adalah aku menjalani kesendirian di satu tempat yang baru. Sementara ia masih di tempat yang sama. Dengan horison yang terlalu jauh untuk digapai oleh kaki-kaki kecilnya.

Namun, bukankah selalu saja ada kesunyian ketika harus menatap dunia yang sama selama sekian waktu? Ia menjalani hari-hari yang sunyi itu. Di saat aku menatap berbagai pelabuhan dan kota-kota, ia hanya berdiam di situ saja, tanpa hadirnya diriku. Hingga hari ini, tatkala kenyataan itu berbalik menikam diriku. Kini, aku yang sendirian. Duniaku yang penuh warna menjadi menjemukan ketika ia mulai sibuk menjalani hari-harinya.

Aku memang memutuskan untuk kembali ke kota ini. Kebahagiaan melingkupi hati ini. Namun tatkala ia secara tiba-tiba memutuskan berangkat, apa yang bisa kulakukan? Haruskah aku merintangi semua mimpinya? “Tidak kakak. Biarkan saya menggapai hari. Izinkan saya menikam ego dan kekerdilan berpikir seolah saya tak bisa berbuat apa-apa. Saya juga ingin sepertimu, bisa berlayar menantang ombak,” ujarnya. Ah, dia benar. Barangkali, aku harus terus berkarib-karib dengan semua sunyi ini.(*)





1 komentar:

dwia mengatakan...

terharuku bacaki.berlinang air mataku. hiks...hiks...hiks...
siapakah saraswati itu????

Posting Komentar