Mengapa Kita Tidak Punya Mandela?


HARI ini adalah hari ulang tahun ke-90 mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. Lelaki berkulit hitam yang menjadi bapak bagi bangsa Afrika Selatan telah menorehkan guratan kesan yang dalam bagi seluruh bangsa-bangsa dunia. Namanya begitu harum dan dicintai semua rakyat karena rasa cintanya yang dalam kepada seluruh manusia, apapun rasnya. Ia tak punya sedikitpun rasa dendam dalam hatinya, sehingga ketika menjalani masa penjara dan siksaan menyedihkan selama 27 tahun, ia tak menaruh sedikitpun dendam.

Di saat bebas dan jadi presiden, Putra Xhosa --Ketua Suku Thembu--, memaafkan semua penyiksanya. Ia memaafkan rezim yang kejam. Ia menawarkan pengampunan dan kerjasama di bawah panji bangsa Afrika. Ia adalah manusia besar (the great man) yang pernah lahir dalam sejarah manusia. Ia telah menjungkirbalikkan semua teori dan analisis filosof dan antropolog seperti Sartre, Hobbes yang mengatakan bahwa manusia jahat dan pendendam. Buktinya, rasa maaf yang luar biasa besar telah tumbuh di hatinya dan dipetiknya satu per satu untuk dibagikan kepada semua bangsa Afrika.

Saya pernah sekali membaca otobiografinya. Seperti halnya Antonio Gramsci dengan karyanya Prisoner Notebook, Tan Malaka dengan Madilog, atau Pramoedya dengan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Mandela juga menulis catatan harian dengan kalimat yang tajam bagai pedang dari penjara. Buku yang kemudian berjudul Long Walk to Freedom itu tak hanya menjadi sedu-sedannya yang pilu, namun berisikan visinya yang menyala-nyala tentang hari esok yang dibayangkannya.

Episode paling menyentuh dalam hidupnya adalah ketika seorang pegawai penjara mendapat tugas untuk menanam tubuhnya hingga dada (dirajam), kemudian mengencingi kepalanya. Itu dilakukan setiap hari. Bayangkan, selama 27 tahun ia harus rela dikencingi sekaligus kehilangan kehilangan semua kehormatan dan haknya sebagai manusia yang berjalan di muka bumi. Dia tidak punya hak asasi dan hanya bisa diam saja mendapat kehinaan seperti itu.

Hingga suatu hari, ia bebas dan terpilih sebagai presiden kulit hitam yang pertama. Apa yang pertamakali dilakukannya? Ia mencari pegawai itu ke seluruh penjuru Afrika. Apakah ia akan membalas dendam? Tidak. Ia memeluk lelaki tersebut kemudian bercucuran air mata. Mandela berbisik ke telinganya bahwa inilah saat untuk melupakan semua dendam dan permusuhan. Inilah saat untuk berbagi hati dan saling memaafkan, kemudian bersama-sama membangun bangsa Afrika yang lama terkoyak oleh konflik dan perang saudara.

Apakah Mandela seorang Rasul? Mungkin. Rasa welas asih serta maaf yang seperti itu hanya dimiliki oleh para Rasul yang berjalan di muka bumi di abad pertengahan silam. Barangkali hanya Bunda Theresa serta Gandhi yang punya rasa sedalam itu. Mereka semua adalah manusia abad 21 yang berjalan dengan lebih jauh dari pencapaian manusia suci lainnya. Jika banyak manusia suci yang memilih jalan asketis atau menjauhi pusaran politik, maka Mandela justru menceburkan diri ke dalam pusaran politik. Ia masuk ke jantung sistem politik dan menunjukkan bagaimana seharusnya politik didasarkan atas dasar karakter, integritas dan rasa cinta yang demikian dalam. Tak salah jika Mandela adalah prasasti hidup yang abadi dalam sejarah peradaban manusia.

Yang juga mencengangkan adalah Mandela hanya mau memimpin Afrika untuk satu periode. Selanjutnya, ia menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Thabo Mbeki. Mandela hendak mengatakan bahwa ambisi meraih kuasa adalah banteng liar yang bisa menyeruduk ke mana-mana. Dia hanya mau menunjukkan arah, seberkas cahaya yang memercik di ufuk sana, dan ke situlah bangsa hendak dituju. Dia membangun blue print pembangunan sehingga siapapun presidennya, akan sanggup membawa kejayaan bagi negeri tersebut.

Setiap melihat Mandela, saya selalu iri. Kenapa ia tidak lahir di negeri ini? Kenapa tak satupun calon pemimpin bangsa ini yang menunjukkan dedikasi serta integritas yang luar biasa dan laku asketis demi memikirkan bangsa. Soekarno muda punya integritas itu. Sayangnya, di masa tuanya ia terjebak dalam pragmatisme politik dan otoritarianisme baru yang hirau dengan derita rakyat kebanyakan. Hatta juga punya ketulusan itu. Sayangnya, ia tak mampu menjadi sisi lain dari lingkar dialektisnya dengan Soekarno. Ia memilih kalah sebab sepanjang hidupnya, ia selalu berada pada dilema antara sufistik dan politik empirikal. Hatta memilih jalan sufistik sekaligus pintu keluarnya dari zaman yang carut-marut.

Namun, setidaknya mereka punya integritas itu. Namun, apakah kita punya sosok seperti itu di era kekinian? Saya ragu jika melihat stok pemimpin yang ada. Hampir semua stok pemimoin adalah orang-orang kaya yang tak terbiasa antri minyak tanah bersama rakyat. Para penguasa dan politikus yang berpikir untuk menjaga jaringan kuasanya. Untuk memperbanyak hartanya sendiri. Pantas saja jika kita selalu rindu dengan Mandela.(*)


Jakarta, 18 Juli 2008,
Pukul 05.40 WIB


1 komentar:

Sekaralas mengatakan...

Hi Yusran,

Artikelmu tentang Mandela penuh inspirasi.

thanks,

kiki

Posting Komentar