Di Usia 418 Tahun, Makassar Bukan Maju, Malah Mundur Jauh


Empat abad lebih delapan belas tahun. Itulah usia Makassar hari ini, sebuah kota yang dulu berdenyut seperti jantung Asia Tenggara. 

Pada abad ke-17, ketika Bangkok masih berupa dermaga kecil di bawah Ayutthaya dan Edo baru menata istana shogun pertamanya, Makassar sudah bersinar sebagai mercusuar samudra Nusantara. 

Di pelabuhannya, layar-layar pinisi berkibar, menandai pertemuan antara angin perdagangan dan semangat kebebasan. Di bawah Sultan Alauddin dan Karaeng Pattingalloang, Makassar menjelma menjadi republik maritim yang makmur. Laut adalah halaman rumahnya, dan dunia adalah tamunya. 

Dari Gujarat datang pedagang kain, dari Tiongkok kapal porselen, dari Arab kitab-kitab suci, dari Portugis dan Inggris senjata serta ilmu pelayaran. Mereka bertemu di pelabuhan Somba Opu, bukan sebagai penjajah, melainkan sebagai sesama saudagar. Di sini, politik pelabuhan bebas menjadi simbol kedaulatan: semua boleh berdagang, asal adil.

Namun kejayaan Makassar pada masa itu tidak hanya terletak pada kekuatan laut dan dagangnya, melainkan juga pada kedalaman ilmu pengetahuan. Di bawah bimbingan Karaeng Pattingalloang, penasihat utama Sultan Alauddin sekaligus cendekiawan sejati, 

Makassar menjadi pusat intelektual yang dihormati dari Lisboa hingga Aceh. Ia menguasai bahasa Latin, Portugis, Spanyol, dan Belanda; membaca Euclid dan Descartes dalam bahasa aslinya; dan memiliki koleksi buku sains serta peta dunia yang dibawa langsung dari Eropa.

Di istana Somba Opu, percakapan tentang bintang dan bumi, tentang hukum laut dan waktu, menjadi hal biasa di antara bangsawan dan pelaut. Makassar kala itu tidak hanya menimbang arah angin, tapi juga memikirkan pergerakan planet. 

Di tangan Pattingalloang, ilmu dan iman tidak berseberangan; keduanya berlayar dalam kapal yang sama menuju pengetahuan.

Dari semangat itulah lahir Hukum Laut Amanna Gappa, sebuah kodifikasi maritim yang disusun di Wajo dan digunakan luas oleh pelaut Bugis-Makassar. Ia mengatur tata niaga, tanggung jawab nakhoda, hak awak kapal, dan keadilan di tengah laut. Dalam naskah itu tertulis prinsip luhur: “Laut bukan milik siapa pun, tetapi tanggung jawab semua yang berlayar di atasnya.”

Hukum ini adalah persembahan Makassar bagi dunia maritim, sebuah bentuk hukum internasional sebelum istilah itu dikenal, cerminan etika laut yang lahir dari akal dan nurani Nusantara. Ia membuktikan bahwa kejayaan Makassar tidak hanya diukur dari kekuatan armadanya, tetapi juga dari ketertiban pikirannya.

Sejarawan Anthony Reid menulis dalam Southeast Asia in the Age of Commerce bahwa pada pertengahan abad ke-17, “Makassar was the most open port in the Malay world, a place where merchants from every nation found freedom and protection.” 

Ia menyebut Makassar sebagai model ideal dari “zaman perdagangan” Asia Tenggara, sebuah pelabuhan yang hidup dari kebebasan, bukan dari perang; dari keterbukaan, bukan dari monopoli. Dalam pandangan Reid, Makassar bukan sekadar pelabuhan, melainkan jembatan pengetahuan dan perdagangan dunia.

Pandangan itu diperkuat oleh Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya. Lombard menulis bahwa Makassar adalah “cermin dari pertemuan antara Islam, perdagangan, dan laut, tiga unsur yang membentuk dinamika Asia Tenggara modern.” 

Baginya, Somba Opu di masa itu adalah metafora bagi dunia yang terhubung: tempat di mana pelaut, pedagang, ulama, dan ilmuwan duduk di meja yang sama, membicarakan peta, kitab, dan takdir manusia.

Namun sejarah, seperti ombak, tak pernah diam.

Pada 1666 hingga 1669, perang besar memecah kejayaan itu. VOC mengepung Makassar. Pelabuhan bebas pun roboh. Perjanjian Bongaya menutup babak kemerdekaan ekonomi yang telah dirintis dengan darah dan layar. 

Dari sana, Makassar perlahan kehilangan porosnya. Ia tak lagi menjadi pusat arus dunia, melainkan hanya simpang dalam jaringan monopoli kolonial.

Dunia terus berlari. Jepang melesat dengan Revolusi Meiji, Bangkok berbenah sebagai ibukota modern, dan pelabuhan-pelabuhan baru tumbuh di utara. Makassar tertinggal dalam pusaran sejarah kolonial yang menjadikannya pemasok bahan mentah dan pasar bagi barang impor. Jiwa maritimnya yang dulu menantang samudra perlahan terikat di pelabuhan yang kian dangkal, secara harfiah dan simbolik.

Hari ini, Makassar memang tampak sibuk: jalan tol membentang, mal berdiri, kafe berlampu lembut di tepi pantai Losari. Tapi di balik gemerlap itu, ada senyap yang panjang. Laut yang dulu menjadi ruang imajinasi kini hanya dipandang sebagai batas kota. Pelabuhan yang dulu mengirim layar hingga Pattani dan Mindanao kini lebih sibuk menunggu kontainer dari Surabaya dan Jakarta.

Makassar kini bukan pusat dunia, melainkan kota besar di timur yang menatap masa lalunya dengan nostalgia. Ia hidup, tapi tak lagi berdaulat seperti dulu. Di bawah terik matahari dan angin pesisir, kita seakan mendengar gema lama dari Benteng Rotterdam: “Di sini dulu, laut pernah tunduk pada keberanian manusia.”

Dan kini, ketika Makassar berulang tahun ke-418 kita dihadapkan pada ironi yang pahit. Kota yang dulu menatap dunia kini menatap ibu kota di jakarta sana; kota yang dulu berdiri sejajar dengan pelabuhan global kini menjadi simpul regional yang bergantung pada arus logistik dari Jawa. 

Lautnya bukan lagi halaman depan peradaban, melainkan halaman belakang ekonomi nasional.

Jika di abad ke-17 Makassar memandang dunia sebagai sahabat dagang dan medan ilmu, di abad ke-21 ia bahkan kesulitan memandang dirinya sendiri sebagai pusat. Mereka membangun gedung, bukan gagasan; menimbun proyek, bukan cita-cita. Tidak ada visi sebesar samudra, hanya rencana jangka pendek yang terjebak di daratan.

Makassar yang dahulu menolak monopoli kini terjerat dalam sentralisasi kekuasaan. Yang dulu membuka diri bagi dunia, kini terkurung dalam peta kebijakan yang Jakarta-sentris. Ia tak lagi menjadi poros perdagangan dan ilmu, melainkan perpanjangan tangan dari pusat. Dari kota dunia, Makassar berubah menjadi tepian.

Barangkali inilah getir sejarah: bahwa kejayaan tak selalu runtuh karena kalah perang, tetapi karena kehilangan jiwa yang dulu membuatnya berani bermimpi sebesar laut.

Dan hari ini, ketika kota ini merayakan ulang tahun ke-416, semestinya kita kembali menatap laut sebagaimana mereka dahulu menatapnya: bukan sekadar hamparan air, melainkan cermin dari keberanian, ilmu, dan kebebasan. 

Sebab selama laut masih ada, selama ombak masih berdebur di pantai Losari, semangat itu tak pernah benar-benar mati. Ia hanya menunggu satu hal: pemimpin yang berani bermimpi sebesar samudra, pemimpin berjiwa Hasanuddin.