Beranda
/ Pakaian, Identitas, dan Pandangan Dunia
Pakaian, Identitas, dan Pandangan Dunia
![]() |
pertemuan Sarikat Islam. Perhatikan pakaian mereka yang merupakan kombinasi antara Jawa dan pakaian ala Eropa |
PAKAIAN adalah penanda identitas.
Pakaian sekaligus merupakan pernyataan sikap sekaligus mencerminkan pandangan
dunia yang dipilih seseorang. Kita bisa mengetahui karakter dan kepribadian
seseornag melalui pakaian. Kita juga bisa mengetahui seperti apa pandangan
politik seseorang melalui pakaian yang dikenakannya.
Saya sedang berusaha memahami
relasi antara pakaian dan sikap politik manusia yang hidup di Solo di akhir
tahun 1800-an pada awal tahun 1900-an. Saya memperhatikan pakaian yang
dikenakan para tokoh pergerakan seperti Tirto Adhi Soerjo, Tjipto
Mangoenkoesoemo, Haji Misbach, Mas Marco Kartodikromo, dan Sukarno. Melalui
pakaian, kita bisa mengetahui banyak hal tentang diri mereka.
Jika kita sepakat bahwa
kebudayaan adalah sesuatu yang bergerak secara terus-menerus (fluid), maka kita juga
akan bersepakat bahwa pakaian –sebagai produk budaya—juga terus bergerak. Datangnya
Belanda, membuat trend baru dalam hal berpakaian. Pada masa itu, pakaian ala
Jawa menjadi simbol dari tradisi, sementara berpakaian ala Eropa mejadi simbol kemajuan (progress).
Pada masa itu, mode berpakaian
melanda semua pihak. Tidak hanya golongan priyayi tetapi juga bagi kaum elit
baru yang menginginkan perubahan dan persamaan hak dalam berbagai hal kehidupan
terutama kehidupan bergaya Eropa yang bebas dan tanpa aturan tradisional dalam
melakukan aktivitasnya. Tak hanya itu, pakaian jugta menjadi symbol perlawanan
terhadap diskriminasi pemerintah kolonial Be;landa serta struktur tradisional
yang mengekang.
Baiklah, kita akan coba menganalisis
pakaian beberapa tokoh demi mengetahui apa yang sebenarnya mereka pikirkan pada
masa itu.
Pertama adalah Tirto Adhi Soerjo.
Pria ini lahir tahun 1880. Ia dikenal sebagai pemula era kebangkitan
nasional, ketika untuk pertamakalinya ia mengemukakan gagasan tentang
kesesamaan pribumi dan bangsa asing, serta membuat tulisan yang amat tajam
tentang kondisi social, dengan menggunakan bahasa Melayu pada koran Medan
Prijaji yang didirikannya.
![]() |
patung dan lukisan Tirto Adhi Soerjo |
Jika dilihat dari foto-foto serta
sejarah hidupnya, Tirto selalu menggunakan pakaian Eropa, sebagai bentuk sokongan atas modernisasi serta pemikiran yang berorientasi ke depan. Namun
dikarenakan aturan pemerintah colonial yang mewajibkan semua siswa Stovia atau
sekolah dokter Jawa mengenakan pakaian Jawa, maka ia mau tak mau kembali
mengenakan pakaian Jawa, dan tidak bersepatu.
Yang menarik adalah pakaian yang
dikenakannya adalah kombinasi dua peradaban. Ia memakai blangkon serta kain
sarung ala Jawa, namun ia mengenakan pakaian berupa jas dan dasi ala bangsa
Eropa. Saya melihat pakaian ini mewakili cara berpikirnya yang sangat Eropa,
namun tetap berpijak di atas landasan pribumi. Karakternya
merupakan kombinasi dari kebaikan Eropa serta kebaikan ala Jawa.
Kedua adalah
Tjipto Mangoenkoesomo. Pria ini adalah salah satu sosok paling penting di era
kebangkitan nasional. Ia memiliki otak yang cerdas, serta mempengaruhi
pemikiran banyak orang di zamannya. Ia adalah mentor semua tokoh nasionalis,
termasuk Sukarno. Pribadinya unik. Ia terlahir sebagai Jawa, namun selalu
mengampanyekan nasionalisme Indonesia. Inilah sebab mengapa ia mendirikan
partai politik yang disebut Indische Partij bersama sejumlah tokoh pergerakan yakni
Doewwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat.
![]() |
Tjipto Mangoenkoesoemo (sebelah kiri) bersama Douwwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat |
Dilihat dari
fotonya, Tjipto adalah seorang yang sangat Jawa. Hampir semua gambarnya, selalu
menampilkan sosoknya yang memakai pakaian Jawa. Ia berpikir ala barat,
berbiacara dengan bahasa Belanda yang fasih, serta beristrikan orang Belanda,
namun kesehariannya ia tetap menggunakan baju Jawa.
![]() |
Tjipto, the 'ksatriya' |
Saya
melihatnya sebagai representasi atas karakter yang amat kuat. Ia menolak
menjadi barat, meskipun software atau cara berpikirnya sangat barat. Ia tetap
ingin mempertahankan kejawannya sebagai strategi atau siasat yang dipilihnya
dalam pergerakan. Ia seorang yang sangat berkarakter. Pakaian itu juga menjasi
simbol perlawanannya pada penguasa tradisional yakni pihak keraton. Dengan
berpakaian ala rakyat biasa, Tirto hendak menunjukkan pemihakannya pada rakyat,
sekaligus kebenciannya pada feodalisme istana yang di masa itu menjadi ’boneka’
pemerintah kolonial.
Ketiga
adalah Haji Misbach. Ia disebut oleh peneliti Federspiel (2006) sebagai salah
satu intelektual Muslim yang amat penting di awal abad ke-20. Ia adalah sosok
pertama yang mengemukakan pemikiran bahwa komunis dan Islam memiliki tujuan
yang sama yakni untuk kemasalahatan banyak orang. Sehingga keduanya tidak perlu
dipertentangkan. Keduanya mesti bekerjasama demi menggapai tujuan yang sama.
![]() |
Haji Misbach |
Dari
beberapa foto Misbach, terlihat kalau ia sebagaimana Tirto yang hendak
menggabungkan antara barat dan Jawa. Berbeda dengan Tirto atau Tjipto, latar
belakang Misbach adalah pesantren. Ia dibesarkan dari keluarga mubaligh yang
tinggal di Kauman, Surakarta. Ia seorang pedagang batik, yang kemudian
bergabung dengan Sarikat Islam (SI) lalu memperjuangan ide-ide tentang
kemurnian ajaran Islam. Baju yang dikenakannya
Pada masa
itu, di kalangan gerakan Islam, terdapat kehawatiran tentang pemakaian celana,
dasi dan gaya-gaya rambut baru. Keraguan juga muncul mengenai celana pendek
yang dipakai oleh pramuka, yang memperlihatkan lutut, karena hukum Islam
mengharuskan tubuh seseorang pria tertutup dari pusar hingga lutut. Misbach
dikenal sebagai seorang penganjur gagasan Islam komunis. Ia berpakaian gaya
Barat serba putih yang mengingatkan masyarakat pada pria Belanda. Pakaian
modern tentu saja tidak ditolak, bahkan disokong. Tekanan diletakkan pada
kenyataan bahwa Islam tidak melarang pemakaian jas ataupun dasi, tidak pula
melarang pengguntingan rambut menurut gaya barat.
Keempat
adalah Mas Marco Kartodikromo. Sebagaimana halnya Tirto, ia adalah jurnalis
kondang yang menggunakan kata sebagai medium perlawanan. Ia lahir
tahun 1890 di Cepu. Ia berasal dari keluarga dengan strata sosial rendahan.
Nasib membawanya bekerja di Nederlandsch-Indische Spoorweg (NIS – Dinas
Kehutanan) Semarang pada tahun 1905, tempat yang ia manfaatkan untuk belajar bahasa Belanda.
Meski NIS adalah perusahaan kolonial, rasa nasionalisme Mas Marco justru
semakin berkobar setelah enam tahun bekerja di sana.
![]() |
Mas Marco Kartodikromo |
Ia dekat
dengan Tirto saat bersama mendirikan Medan Prijaji. Setelah Tirto ditangkap, ia
mengambilalih peran Tirto dan menjadi pengkritik pemerintah kolonial. Ia lalu
pindah ke Solo dan bergabung dengan Saratomo, surat kabar milik Sarekat Islam. Di kota
ini pula, Mas Marco mendirikan Indlandsche Journalistenbond yang memiliki
publikasi dengan titel “Doenia Bergerak”, salah satu pionir asosiasi jurnalis
di Nusantara.
Beberapa
foto yang saya kumpulkan mengenai Mas Marco selalu menunjukkan sosoknya yang
senantiasa mengenakan pakaian ala barat. Ia memang sangat menganjurkan cara
berpikir dan bersikap ala barat. Sebagaimana dicatat Larsson dalam buku Prelude to Revolution, Marco seorang yang stylish. Ia sadar mode dan selalu mengenakan pakaian Eropa yang mahal di zamannya. Ketika pemerintah kolonial mengeluarkan larangan berpakaian Eropa, Mas Marco adalah sosok pertama yang memprotes larangan tersebut. Menurutnya,
larangan itu adalah sebentuk dikriminasi.
Kelima adalah
Sukarno. Ia adalah sosok nasionalis terbesar yang terlahir di negeri ini. Ia
bukan saja menjadi pemimpin pertama, namun juga seorang ideolog, intelektual,
serta seorang pemimpin massa yang memiliki strategi handal demi membebaskan
Indonesia dari belenggu kolonialisme.
Dalam
berbagai foto Sukarno, ia selalu ditampilkan dengan baju safari berwarna putih,
serta peci. Dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, Sukarno menyebut peci
sebagai ciri khas ”simbol nasionalisme kami.” Sukarno mengangkat peci yang
dahulu hanya dikenakan rakyat biasa, menjadi simbol nasionalisme. Idenya
bermula pada suatu pertemuan Jong Java di Surabaya sebelum ia berangkat ke
Bandung pada Juni 1921.
![]() |
Soekarno yang mengenakan peci kebanggaan |
Ketika itu
ia masih sedih karena “diskusi panas antara pihak yang disebut cendikiawan, yang
membenci kain penutup kepala yang dipakai oleh para pria Jawa sebagai pasangan
sarung mereka, serta pitji yang dipakai para pengemudi betjak dan rakyat biasa
lainnya. Ia memutuskan bahwa memakai peci merupakan cara untuk menunjukkan
solidaritasnya kepada rakyat biasa setelah melihat “rekan-rekan senegaranya
yang congkak berbaris melintas di jalan dengan kepala rapi tanpa mengenakan
tutup kepala.” Dalam pertemuan Jong Java Sukarno berkata tentang peci hitam:
“Kita
memerlukan sebuah simbol bagi kepribadian Indonesia. Topi jenis ini, sama
dengan yang dipakai oleh para pekerja biasa bangsa Melayu, asli untuk rakyat
kita… Marilah kita menegakkan kepala tinggi-tinggi mengemban topi sebagai
simbol Indonesia Merdeka”.
***
PAKAIAN
tidak sekadar apa yang dipakai untuk menutupi tubuh. Pakaian adalah refleksi
dari cara berpikir, kepribadian, serta pernyataan politik seseorang. Apapun
pakaian yang anda pilih sesungguhnya merefleksikan cara berpikir anda dalam
memaknai ide-ide atau gagasan yang datang dari luar. Saya teringat konsep
segitiga makna yang dibuat antropolog Edward Bruner. Katanya, terdapat hubungan
antara ekspresi (dalam hal ini pakaian) dengan realitas, serta pengalaman (experience)
seseorang. Lantas, bisakah kita gunakan analisis ini untuk memahami
kepribadian diri kita dan mereka yang ada di sekitar kita?
Athens, 10
Juli 2012
3 komentar untuk "Pakaian, Identitas, dan Pandangan Dunia"
saya rasa pakaian merupakan hal yang sangat penting di zaman belanda dan Jepang. Sutan Sjahrir sebagai tokoh nasional juga memiliki ciri khas tersendiri dalam berpakaian. Sebagai Belanda coklat Sutan Sjahrir berpakaian ala belanda. Meskipun demikian, ketika kecil sewaktu akan mengaji ia melepas pakaian belandanya itu dan menggantinya dengan sarung. Ketika pendudukan Jepang, hanya Sutan Sjahrir yang berani berpakaian ala Belanda, ini suatu bentuk pemberontakan tersendiri ...
salam
salam
Yus, Kalau melihat arti NIS itu seharusnya perusahaan atau dinas perkeretaapian dan bukan dinas kehutanan.
Bang Yusran Darmawan, mempertengtangkan dan menempatkan pakain Jawa (tradis) dan pakaian barat (modern=simbol kemajuan), saya pikir perlu diperdebatkan, karena kita akan terjebak dalam cara berfikir dualisme (oposisi biner) saja, seolah-olah pakain jawa merupakan oposisi terhadap pakaian barat. Saya cenderung lebih melihatnya dalam kerangka struktural, mengingat pakaian jawa merupakan reproduksi kutural dari sebuah dominasi politik dan sosial (kolonialisme belanda), pakain jawa adalah anak haram proses kolonialisme Belanda. Jika demikian maka pakaian bukan hanya menunjukkan siapa kita sebenarnya, tetapi bisa juga menyembunyikan diri kita yang sebenarnya. Mungkin kita harus melacak sejarah, kapan pakaian Jawa itu ada pada masyarakat Jawa, apakah pakaian Jawa lebih tua kehadiranya daraipada kolonialisme Bealanda?