Mencari Jejak Makassar dalam Le Carrefour Javanais


Pria itu, Prof. Nasaruddin Umar, tak ingin sekadar berceramah agama. Di acara Tabligh Akbar dalam rangka Dies Natalis Unhas ke-69, ia mengurai satu keping sejarah tentang Makassar, yang oleh sejarawan Denys Lombard disebut sebagai “l’un des grands carrefours de l’archipel indonésien…”

“Makassar adalah salah satu persimpangan besar di kepulauan Indonesia...”

Prof. Nasaruddin mengenang masa kuliahnya di Paris, ketika ia mengambil kelas sejarah yang diasuh sejarawan terkemuka Denys Lombard. Seusai perkuliahan, Lombard mengajaknya makan di sebuah restoran Italia.

Di sela percakapan ringan, tiba-tiba sang guru berkata pelan: pada abad ke-16, hanya ada satu wilayah di Nusantara yang benar-benar bercahaya.

Wilayah lain, kata Lombard, larut dalam intrik politik, kekuasaan yang berputar-putar, perebutan takhta yang tak kunjung selesai. Tapi Makassar lain. Ia paling benderang karena kemajuan sains, karena kebudayaan, karena keterbukaannya pada dunia.

Prof. Nasaruddin tertegun. Ia mengaku tak pernah membayangkan nenek moyangnya pernah hidup di pusat peradaban yang kosmopolitan, sebuah kota yang menatap dunia dengan rasa percaya diri.

Saat membaca buku Lombard berjudul Le carrefour javanais, yang telah diterjemahkan menjadi Nusa Jawa Silang Budaya, wawasannya kian terbuka. Lombard menulis Makassar sebagai simpul peradaban. Ia bukan sekadar pelabuhan, melainkan jendela dunia.

Di sana hukum dagang ditegakkan, keamanan dijaga, dan penguasa Gowa Tallo memastikan tak ada rasa takut. Perdagangan bebas bukan sekadar cita-cita, melainkan kenyataan.

“Makassar constituait alors un port franc, ouvert à tous les marchands, une sorte de contrepoids à la domination exclusive de la VOC.” Makassar kala itu adalah pelabuhan bebas, terbuka untuk semua pedagang, semacam penyeimbang terhadap dominasi eksklusif VOC.

Kata-kata Lombard itu bergema, mengingatkan bahwa sejarah Asia Tenggara pernah memiliki pusat kosmopolitan yang menolak monopoli, menolak satu suara yang berkuasa atas semuanya.

Namun Makassar bukan hanya tentang pasar. Ia juga tentang pengetahuan. Tentang seorang bangsawan bernama Karaeng Pattingalloang yang fasih berbahasa Portugis, membaca buku filsafat dari Spanyol, dan memesan globe besar dari Eropa.

Di ruang istana, ia menatap garis lintang dan bujur yang melingkari dunia, lalu menyandingkannya dengan bintang-bintang yang sejak lama dijadikan penunjuk arah oleh pelaut Bugis.

Mungkin di sanalah kita bisa membayangkan sebuah peradaban: ekonomi yang terbuka, ilmu yang merangkul. Di pelabuhan, orang Bugis menukar hasil bumi dengan pedagang India; di ruang pertemuan, para bangsawan membicarakan astronomi dan teori pemerintahan.

Dua dunia itu berjalan berdampingan, memperlihatkan bahwa kosmopolitanisme bisa lebih dari sekadar lalu lintas barang. Ia adalah lalu lintas gagasan.

Lombard melihat Makassar sebagai kota yang menampung dua arus besar peradaban: arus dagang yang menciptakan kekuatan material, dan arus gagasan yang menumbuhkan kebesaran intelektual. Kedua arus ini saling melengkapi.

Di dermaga dan pasar, bongkar muat rempah menjadi nadi yang menggerakkan roda ekonomi. Kapal-kapal dari Arab, Gujarat, Maluku, hingga Portugis dan Belanda singgah membawa sutra, keramik, atau besi, lalu kembali dengan pala, cengkeh, dan beras. Makassar hidup dari ritme keluar-masuk barang, dari riuh tawar-menawar yang menegaskan kedudukannya sebagai pusat niaga.

Namun, denyut dagang itu tidak pernah berdiri sendiri. Ia ditemani oleh arus gagasan yang mengalir deras ke ruang-ruang istana, surau, hingga perbincangan para pelaut di geladak kapal.

Buku-buku dari Eropa masuk bersama barang dagangan, lalu diserap oleh bangsawan seperti Karaeng Pattingalloang. Kitab astronomi dan filsafat tidak hanya menjadi koleksi, melainkan bahan percakapan yang membentuk horizon berpikir. Dengan itu, Makassar bukan sekadar tempat bertemu para saudagar, tetapi juga titik temu para ide.

Di sinilah, menurut Lombard, letak keistimewaan Makassar. Ia tidak membatasi dirinya hanya pada keuntungan ekonomi, seperti halnya kota-kota dagang lain yang hidup dan mati mengikuti arus pasar.

Makassar berusaha menjadikan perdagangan sebagai pintu masuk untuk memperluas cakrawala intelektual. Arus dagang menyediakan sumber daya, sementara arus gagasan memberikan arah.

Kekayaan material tanpa gagasan hanya akan menjadi timbunan harta, sebaliknya gagasan tanpa dukungan dagang akan kehilangan daya hidup. Makassar berhasil menyatukan keduanya, meski hanya dalam rentang waktu yang singkat namun berkilau.

Sejarawan Anthony Reid, dalam karyanya tentang Age of Commerce, juga menegaskan hal yang sama. Menurutnya, Makassar adalah salah satu pelabuhan paling dinamis di Asia Tenggara pada abad ke-16 hingga 17, ketika perdagangan global mencapai puncaknya.

Reid menggambarkan Makassar bukan hanya sebagai pelabuhan bebas yang menghubungkan Maluku dengan dunia, tetapi juga sebagai magnet yang menarik orang dari berbagai etnis dan agama: Melayu, Portugis, Bugis, Jawa, Tionghoa, hingga Inggris.

Di Makassar, kata Reid, berlangsung sebuah “ledakan kosmopolitanisme” khas Age of Commerce: keterbukaan yang memungkinkan percampuran dagang, budaya, dan ilmu pengetahuan.

Dengan perspektif Reid, kita bisa melihat Makassar bukan sekadar bagian dari sejarah lokal, tetapi simpul penting dalam sejarah global perdagangan Asia Tenggara. Di kota inilah, denyut komoditas dan arus ide bertemu, menciptakan energi peradaban yang menjadikannya berbeda dari pusat-pusat lain di Nusantara.

Lombard menulis Makassar sebagai kota yang menyaingi Malaka, tapi berbeda. Malaka adalah pusat niaga, tempat para saudagar menumpuk kekayaan. Aceh adalah pusat ulama, tempat pengetahuan agama menjadi poros kehidupan. Sementara Makassar, di matanya, adalah pertemuan keduanya: perdagangan yang bebas, pengetahuan yang haus akan dunia.

Sebuah kombinasi langka di Asia Tenggara, singkat namun berkilau. Di satu sisi, Makassar memelihara denyut ekonomi maritim, menghubungkan pulau-pulau rempah dengan jalur sutra samudra. Di sisi lain, ia membuka diri pada percakapan tentang kosmos, pemerintahan, dan dunia yang tak lagi sebatas cakrawala Bugis Makassar.

Lombard melihat Makassar sebagai kota yang menampung dua arus besar peradaban: arus dagang yang menciptakan kekuatan material, dan arus gagasan yang menumbuhkan kebesaran intelektual.

Jika Malaka adalah mercusuar emas dan Aceh lentera ilmu agama, maka Makassar adalah jendela yang menatap ke dua arah sekaligus: ke pasar dunia, dan ke langit penuh bintang.

Dalam pandangan Lombard, justru di persilangan itulah Makassar menemukan keistimewaannya. Ia bukan sekadar titik di peta jalur rempah, melainkan laboratorium kosmopolitanisme yang lahir dari laut dan pikiran. Sebuah kota yang memperlihatkan betapa mungkin bagi bangsa maritim untuk merangkul dunia tanpa kehilangan dirinya.

Namun sejarah juga membawa luka. Tahun 1669, Benteng Somba Opu runtuh, dan kota itu jatuh ke tangan VOC. Bersamanya hilang bukan hanya pelabuhan bebas, melainkan juga sebuah mimpi: bahwa ada ruang di timur Nusantara yang bisa menjadi penyeimbang, bukan hanya dalam rempah, tapi juga dalam ilmu.

Sejak saat itu, ingatan tentang Makassar perlahan tenggelam. Lombard menuliskannya dengan nada getir. “La chute de Makassar signifia la fin d’un monde: celui d’un port ouvert, d’un carrefour de cultures, effacé par le monopole colonial.”

“Kejatuhan Makassar berarti akhir dari sebuah dunia: dunia sebuah pelabuhan terbuka, sebuah simpang peradaban, yang dihapus oleh monopoli kolonial.”

Dan mungkin, di situlah tragedi itu menemukan maknanya: bahwa sebuah bangsa bisa membuka pintu pada dunia, tetapi pintu itu bisa ditutup paksa oleh meriam dan kekuasaan.

Prof. Nasaruddin menutup kisah itu dengan nada getir. Ia mengingatkan, banyak harta karun intelektual Bugis Makassar kini justru tersimpan jauh di Leiden. Manuskrip, catatan niaga, dan jejak literasi leluhur seakan tercerabut dari tanah asalnya.

Generasi baru yang ingin merasakan kembali gairah dagang dan intelektual nenek moyangnya harus menempuh ribuan kilometer, sekadar untuk menyentuh lembaran-lembaran yang dahulu lahir dari pelabuhan Somba Opu.

Ada kesedihan yang tak bisa ditutupi: bahwa warisan kejayaan Makassar kini lebih mudah diakses di negeri jauh, ketimbang di tanah tempat ia pernah berakar.

Sebab sejarah, seperti laut, selalu menyimpan dua wajah: ia bisa menjadi dermaga bagi perjumpaan, atau karang tempat kapal-kapal patah.