Jangan Salahkan Purbaya
Belum lama Purbaya Yudhi Sadewa duduk di kursi Menteri Keuangan, belum juga ia menorehkan kebijakan penting, sudah terdengar ucapannya yang membuat banyak orang terusik.
Tentang demonstrasi 17+8 Tuntutan Rakyat, ia berkata bahwa itu hanyalah suara sebagian kecil. Ia menambahkan, jika ekonomi tumbuh enam atau tujuh persen, orang-orang akan sibuk mencari makan enak ketimbang berdemo.
Sekilas, pernyataan itu terdengar ringan. Namun bagi sebagian telinga, ia seperti beban yang jatuh tiba-tiba. Publik merasakannya bukan sebagai analisis, melainkan sebagai ejekan.
Tapi apakah seluruh kesalahan harus ditimpakan kepadanya? Barangkali tidak. Purbaya hanyalah pewaris sebuah gaya lama, sebuah langgam yang telah lama bercokol dalam tubuh pejabat negeri ini: berbicara tanpa empati.
Kita masih hidup dalam bayangan feodalisme. Dalam ingatan kolektif, pemimpin sering dibayangkan seperti raja di singgasana, dikelilingi pengikut yang hanya mengangguk. Kata-katanya dianggap titah, lebih dekat ke wahyu ketimbang percakapan.
Pola ini masih terasa. Banyak pejabat bicara dengan nada merendahkan, bukan menyapa; dengan diksi yang menggurui, bukan berbagi. Seakan-akan jabatan memberi hak untuk bicara sesuka hati, tanpa takut disanggah.
Namun zaman berubah. Dunia kini penuh ruang-ruang terbuka. Kalimat yang dulu hanya bergema di ruang rapat kini bisa meluncur ke layar ponsel jutaan orang. Kata pejabat tak lagi punya pelindung.
Lidah feodal yang dahulu tak tersentuh, kini ditertawakan, diparodikan, bahkan dipelintir untuk melawan. Dari podium tinggi, kata pejabat kini sejajar dengan komentar siapa pun di linimasa.
Bahasa, seperti diingatkan George Lakoff, adalah bingkai. Ia membentuk cara orang melihat kenyataan. Maka ketika pejabat bicara dengan dingin, publik menangkap ketidakpedulian.
Yang sampai ke telinga bukan hanya isi kalimat, tetapi juga sikap yang menyelimutinya. Kalimat teknokratis mungkin tepat dalam angka, tapi bila disampaikan tanpa rasa, ia terdengar seperti ejekan. Sebaliknya, kata sederhana “kami bersama kalian” dapat menyalakan kepercayaan, meski tanpa statistik.
Maka jangan salahkan Purbaya seorang diri. Ia bukan pionir dalam hal ini. Sebelumnya kita telah mendengar Ahmad Sahroni dengan pernyataannya yang memicu kontroversi, Uya Kuya dengan gaya panggung hiburannya.
Eko Patrio yang lebih terdengar melucu, Nafa Urbach yang tampil lebih sebagai selebriti, hingga Rahayu Saraswati yang akhirnya memilih mundur karena kalimat yang dianggap menyinggung rakyat.
Semuanya bagian dari pola yang sama: pejabat publik yang belum sungguh-sungguh belajar bahwa komunikasi adalah seni merawat empati.
Akibatnya jelas: kepercayaan runtuh. Publik mendengar negara berbicara tanpa rasa. Polarisasi melebar. Legitimasi terkikis. Pada akhirnya tumbuh sinisme: kata pejabat dianggap basa-basi, janji dianggap kebohongan. Dari sinisme lahir apatisme, dari apatisme lahir keterasingan.
Di titik inilah kekhawatiran muncul. Bila komunikasi tidak dikelola dengan hati-hati, sejarah negara lain bisa menjadi cermin. Nepal, misalnya, pernah mengalami bagaimana runtuhnya kepercayaan rakyat pada elite politik melahirkan krisis panjang.
Bukan hanya sistem ekonomi yang terguncang, tetapi juga fondasi negara yang nyaris goyah. Seorang akademisi Nepal, Krishna Hachhethu, pernah menulis bahwa “ketika rakyat kehilangan kepercayaan pada kata-kata pemimpin, maka krisis politik tak lagi bisa dicegah.”
Hilangnya rasa percaya itu melahirkan gelombang protes, jatuhnya rezim, dan bertahun-tahun ketidakpastian. Tetapi bukankah inilah konsekuensi demokrasi yang terbuka?
Publik berhak menilai, menimbang, dan menyebarkan ulang kata-kata pejabat. Kata itu bukan lagi milik pribadi. Ia adalah milik rakyat.
Seorang pemimpin sejati diukur bukan hanya dari kepiawaiannya mengelola anggaran atau mengatur strategi politik. Kehebatan itu penting, tetapi bukan segalanya.
Anggaran bisa menghasilkan jalan raya, bendungan, dan proyek besar. Strategi politik bisa menjaga stabilitas kekuasaan, menyusun koalisi, atau menyingkirkan lawan. Namun semua itu tidak menjamin kepercayaan.
Lebih dari itu, seorang pemimpin diukur dari kemampuannya memilih kata. Kata yang menenangkan saat krisis, ketika rakyat dirundung bencana dan menanti pegangan.
Kata yang merangkul saat perbedaan hampir menjelma perpecahan, sehingga orang merasa tetap bagian dari satu rumah besar bernama bangsa. Kata yang menyalakan harapan saat arah terasa kabur, sehingga publik percaya masa depan masih bisa diperjuangkan bersama.
Kata, dalam konteks kepemimpinan, adalah jembatan batin antara rakyat dan negara. Ia lebih kuat daripada pagar istana atau gedung parlemen, sebab kata bisa menembus batas yang tak bisa dijangkau fisik.
Pemimpin yang memilih kata dengan hati, seolah hadir di ruang tamu rakyat, menyapa langsung, memberi rasa tenang. Sebaliknya, pemimpin yang salah memilih kata, terasa jauh meski berdiri di podium yang tinggi.
Kata juga adalah penanda moral. Dari satu kalimat bisa terlihat apakah seorang pemimpin peduli atau tidak, jujur atau berpura-pura, berani menghadapi kenyataan atau hanya menutupinya.
Rakyat, betapapun sederhana, mampu menangkap getar itu. Statistik bisa menipu, grafik bisa dimanipulasi, tetapi nada suara dan pilihan kata sulit disamarkan.
Karena itu, sejarah mencatat pemimpin besar bukan hanya melalui kebijakannya, tetapi juga melalui kata-katanya. Kata-kata bisa menghidupkan semangat di tengah perang, bisa menyatukan bangsa yang terpecah, bisa menenangkan hati yang terluka.
Dari kata lahir legitimasi sejati, legitimasi yang tidak bisa dibeli dengan proyek atau angka pertumbuhan, melainkan dengan rasa percaya bahwa negara sungguh ada untuk rakyatnya.
Sejarah mengajarkan, kadang yang menggerakkan bangsa bukanlah kebijakan, melainkan kalimat pada momen yang tepat. Winston Churchill, Nelson Mandela, Jacinda Ardern, semua menunjukkan bahwa lidah pemimpin bisa jadi jembatan, bukan jurang.
Maka jangan salahkan Purbaya. Ia hanya mengikuti jejak lama yang diwariskan budaya feodal. Yang patut kita kritisi adalah sistem yang membiarkan pejabat bicara tanpa rasa. Sebab pada akhirnya, lidah seorang pejabat adalah lidah negara. Bila ia terus melukai, yang runtuh bukan hanya dirinya, tetapi juga martabat bangsa.
Dan mungkin benar kata Chairil Anwar dalam puisinya: “Sekali berarti, sesudah itu mati.” Kalimat seorang pemimpin, bila sungguh berarti, bisa hidup jauh lebih lama dari usia jabatan. Tetapi bila salah ucap, ia bisa mengubur martabat, bahkan sebelum kekuasaan itu berakhir.