Marketing Cerdik di Balik Meledaknya Film Jumbo
Bocah itu baru saja keluar dari sebuah bioskop di kota Bogor. Ia berdiri di trotoar, menyeka air mata yang tersisa di sudut matanya.
Lalu, dengan suara pelan dan serak, ia menyanyikan potongan lagu yang baru saja mengalun di layar: “Sedikit demi sedikit. Engkau akan berteman pahit. Luapkanlah saja bila harus menangis.”
Lagu itu berasal dari Jumbo, sebuah film animasi lokal yang kini menjelma menjadi fenomena lintas kota. Namun Jumbo bukan sekadar film yang sukses.
Jumbo adalah sejarah baru: film animasi Indonesia pertama yang menembus jutaan penonton dalam waktu singkat dan menjadi yang terlaris di Asia Tenggara—melampaui dominasi animasi Malaysia yang bertahun-tahun tak tergoyahkan.
Tapi di balik angka dan apresiasi itu, ada satu kekuatan yang kerap luput diperbincangkan: strategi pemasaran yang sabar, cerdik, konsisten, dan menyatu dengan denyut digital generasi kini.
Ryan Adriandhy, sang sutradara, menyebut rahasianya dalam satu kata: kedekatan. “Kami tidak menjual mimpi yang terlalu jauh. Kami hanya ingin orang-orang melihat dirinya sendiri di layar,” ujarnya dalam sebuah wawancara panjang.
Jumbo memang tidak menjanjikan dunia spektakuler dengan efek visual berkilau. Yang ia hadirkan justru realisme yang hangat: percakapan seadanya, latar rumah sederhana, kekonyolan persahabatan, dan karakter yang seringkali membuat kita jengkel sebelum akhirnya menyentuh hati.
Don dan teman-temannya bukan tokoh luar biasa. Mereka seperti kita—dalam kebingungan, keinginan untuk disayang, dan rasa kikuk yang tidak tahu harus bagaimana menghadapi dunia.
Media Sosial sebagai Ruang Penceritaan
Yang dilakukan tim Jumbo di dunia maya bukan promosi. Mereka menciptakan narasi paralel. Sejak film masih dalam tahap pengembangan, akun Instagram dan TikTok mereka sudah aktif—membagikan sketsa karakter, potongan cerita, hingga proses rekaman suara.
Tak satu pun terasa seperti iklan. “Setiap unggahan kami perlakukan sebagai episode,” kata Mitha, kepala promosi film ini. “Bukan untuk menyuruh orang menonton, tapi untuk mengajak mereka merasa ikut membesarkan film ini.”
Ini bukan kampanye, tapi komunitas. Penonton tak sekadar diberi info, mereka dilibatkan. Fan art dikurasi dan dipublikasikan ulang, video reaksi dijadikan bagian dari promosi, bahkan beberapa dialog menjadi sound trending di TikTok—semuanya lahir secara organik, tanpa direkayasa oleh tim pemasaran.
“Kami tidak menyuruh orang merasa,” ujar Mitha, “kami percaya, kalau emosinya tepat, orang akan berbagi dengan sendirinya.”
Inilah prinsip earned media dalam bentuk paling murni—atensi yang tak dibeli, tapi lahir dari keterlibatan. Scott Galloway, profesor marketing di NYU Stern School, menyebut: “Di era digital, hubungan emosional lebih bernilai daripada uang iklan. Jika sebuah karya berhasil membangun emosi, maka ia akan memasarkan dirinya sendiri.”
Salah satu keputusan penting dalam strategi Jumbo adalah memilih figur publik yang bukan hanya populer, tapi juga punya resonansi personal dengan cerita. Nama-nama seperti Angga Yunanda, Bunga Citra Lestari, hingga Ariel Noah bukan sekadar voice actor—mereka adalah co-storyteller.
Mereka tidak hanya merekam suara, tetapi juga membagikan prosesnya: merekam video di balik layar, membuat tantangan suara karakter, bahkan ikut watch party virtual.
Tapi semua itu dilakukan bukan dengan gaya endorsement. Tidak ada skrip manis atau pengambilan gambar yang seragam. Mereka bicara sebagai penonton, bukan duta produk.
“Strategi ini memberi kesan bahwa film ini lahir dari komunitas, bukan dari studio besar,” ujar Jonah Berger, pakar marketing dari Wharton dan penulis Contagious: Why Things Catch On. “Dalam komunikasi digital, keaslian adalah mata uang baru. Orang tidak mau dijual, tapi mereka mau diajak.”
Distribusi Emosi, Bukan Sekadar Konten
Selepas peluncuran, tim promosi Jumbo tidak berhenti. Justru di sanalah kerja keras dimulai. Potongan adegan yang belum masuk versi bioskop dirilis. Fan art direspons dengan video balasan dari pengisi suara.
Lagu tema film dibuat dalam berbagai bahasa. Semua unggahan disusun dengan sentuhan manusia: caption Instagram ditulis seperti curhat, video TikTok diedit tanpa terlalu rapi. Gaya yang sengaja “berantakan” itu menciptakan nuansa: ini bukan mesin yang bicara. Ini temanmu.
Dalam pemasaran film yang biasanya bergantung pada bujet, Jumbo membuktikan bahwa kepekaan sosial jauh lebih penting. Mereka membaca selera publik, meresponsnya, dan mengajak audiens merasa sebagai bagian dari cerita.
Jumbo tidak membujuk orang datang ke bioskop—ia menciptakan ruang di mana orang ingin datang karena sudah merasa ikut memiliki.
Ketika akhirnya film ini tayang, suasananya seperti reuni. Penonton sudah hafal lagunya, mengerti karakter-karakternya, dan punya ekspektasi personal atas alur cerita. Mereka tidak menonton film. Mereka menonton teman sendiri.
Dr. Charlotte Hughes dari London School of Economics menyebut strategi ini sebagai hyper-local intimacy marketing. “Kunci keberhasilannya bukan pada jangkauan global atau dana besar, tapi pada kemampuan membangun ikatan mikro—dengan satu komunitas, satu percakapan, satu emosi, yang terus tumbuh.”
Film ini juga tak ragu hadir di ruang-ruang yang jarang disentuh promosi konvensional: ruang belajar komunitas kampus, diskusi sinema pelajar, bahkan forum pecinta kucing karena Meri, salah satu karakter utama, memelihara kucing oranye yang lucu. Dari percakapan kecil, gaung besar pun tercipta.
Akhir Kata: Resonansi yang Tumbuh Perlahan
Kini, anak-anak di kota besar maupun kecil menyanyikan lagu Jumbo, menirukan ekspresi Don dan Meri, dan mengunggah ulang potongan-potongan adegan favorit mereka. Mereka tidak hanya menonton—mereka ikut hidup bersama film itu.
Semua itu lahir dari strategi promosi yang sederhana, tapi konsisten. Dari jarak panjang antara ide dan eksekusi yang dimanfaatkan maksimal untuk membanjiri media sosial dengan narasi, bukan iklan. Dari kerja keras yang tidak memburu viralitas, tapi membangun percakapan. Dari komunitas, bukan koorporasi.
Dalam dunia pemasaran yang riuh oleh bunyi dan kebisingan, Jumbo hadir dengan bisikan: jujur, pelan, dan mendalam. Dan justru karena itulah, ia bisa menembus hati.