Koperasi Bukan PROYEK, Tapi PERJUMPAAN



Negara ingin membentuk koperasi dari atas. Tapi Hatta sudah lama mengajarkan: koperasi hanya tumbuh jika berakar pada kesadaran warga.

Pada musim dingin yang basah di Rotterdam, seorang pemuda Hindia Belanda menyusuri trotoar kota dengan langkah tenang. Di sela kuliah ekonomi, Mohammad Hatta muda singgah ke toko-toko milik bersama, mengamati bagaimana para buruh dan petani membentuk koperasi untuk menyiasati kerasnya hidup. 

Di sinilah, jauh dari tanah air, Hatta menyaksikan bahwa ekonomi bisa bernafas dari solidaritas. Bahwa kekuatan kolektif bisa tumbuh tanpa negara, tanpa birokrasi.

Koperasi dalam benaknya bukanlah instrumen pemerintah, melainkan perpanjangan dari kehendak rakyat. Ia bukan proyek, tapi proses. Ia bukan program, tapi gerakan. Maka saat kembali ke Indonesia, ia membawa keyakinan itu sebagai warisan perjuangan: bahwa kedaulatan ekonomi hanya mungkin jika rakyat diberi ruang untuk saling percaya dan saling menopang.

Namun hari ini, hampir satu abad kemudian, keyakinan itu digugat oleh logika proyek pembangunan. Pemerintah Prabowo menargetkan pembentukan Koperasi Desa Merah Putih di 80 ribu desa, dengan peluncuran besar-besaran pada 12 Juli 2025. 

Anggaran yang disiapkan mencapai Rp400 triliun, dengan asumsi bahwa setiap koperasi dapat menghasilkan laba hingga Rp1 miliar per tahun.

Tapi koperasi tidak dibangun dari angka. Ia dibangun dari rasa percaya. Dan kepercayaan, seperti pohon tua, tak bisa ditanam dalam semalam. Ia tumbuh dari musim ke musim, dari luka ke luka.

Bruno Roelants, mantan Direktur Jenderal International Cooperative Alliance, pernah mengingatkan: "Cooperatives can’t be imposed. They must be formed by the people, for the people, and with the people." Negara boleh memfasilitasi, tapi tidak bisa menggantikan proses organik yang lahir dari keperluan dan keyakinan komunitas itu sendiri.

Hal serupa disampaikan Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian dan pendiri Grameen Bank, yang sepanjang hidupnya membuktikan bahwa kekuatan ekonomi rakyat lahir dari kepercayaan mikro, bukan dari desain makro. 

“We don’t need big money to solve poverty. We need trust. We need systems that grow from the inside out, not from the top down.” Baginya, lembaga ekonomi rakyat harus dibangun seperti keluarga, bukan seperti perusahaan negara — dekat, lentur, dan tumbuh bersama.

Dan di titik inilah, prinsip koperasi sebagaimana dirumuskan oleh International Cooperative Alliance menjadi terang: koperasi lahir dari kesukarelaan, dijalankan secara demokratis oleh anggota, berdiri secara otonom, dan hidup dalam partisipasi yang otentik. Negara hanya bertugas menciptakan ekosistemnya — bukan mengkloningnya dalam skala massal.

Sayangnya, pendekatan yang kini diambil justru melupakan pelajaran sejarah. Di masa Orde Baru, negara pernah membentuk KUD — Koperasi Unit Desa — secara seragam. Hasilnya, banyak yang menjadi papan nama belaka. Gedungnya berdiri, tapi ruhnya kosong. Sebab yang tak pernah dibangun adalah rasa memiliki.

Kini, di tengah semangat merah putih, risiko itu datang kembali.

Sementara itu, BUMDes yang telah lebih dulu tumbuh di desa justru belum diberi penguatan yang layak. Alih-alih memperbaiki kualitas SDM, sistem akuntabilitas, dan jejaring usaha lokal, negara lebih sibuk membangun lembaga baru dari atas. Akibatnya, desa kembali menjadi objek pembangunan, bukan subjek dari pertumbuhan.

Padahal koperasi yang benar tak butuh gedung megah atau dana triliunan. Ia hanya butuh kejujuran, konsistensi, dan kehendak untuk saling berbagi. Ia tak lahir dari proposal tebal atau dokumen perencanaan yang dipresentasikan di hadapan pejabat. 

Koperasi tumbuh dari percakapan sederhana: antara seorang ibu yang tak punya cukup modal, dan tetangganya yang bersedia menyisihkan sebagian tabungan. Dari kumpulan warga yang memutuskan, barangkali tanpa banyak teori, untuk menaruh uang mereka di satu tempat agar bisa saling pinjam saat darurat datang.

Di sinilah koperasi menemukan bentuknya yang paling jujur: sebagai ruang kepercayaan. Tak ada yang memaksa ikut. Tak ada target laba tahunan. Yang ada hanya harapan bersama agar tak ada satu pun anggota yang jatuh tanpa ditopang yang lain.

Kejujuran dalam koperasi bukan soal laporan keuangan yang bersih semata, tapi soal kesediaan melihat kebutuhan orang lain sebagai bagian dari kebutuhan diri. Ia adalah kejujuran sosial — bahwa tak semua orang kuat dalam setiap musim, dan karena itu, yang kuat sementara waktu harus rela menyokong yang lemah.

Dan koperasi yang hidup bukanlah koperasi yang sibuk mencari investor, melainkan yang sabar membangun kebiasaan. Konsistensi dalam koperasi terletak pada pertemuan yang terus berlangsung meski iuran sedikit, pada pencatatan yang rapi meski tak ada auditor, dan pada rasa malu ketika lupa menyetor — bukan karena takut dihukum, tapi karena takut mengecewakan kepercayaan bersama.

Barangkali itu sebabnya, koperasi tidak tumbuh baik di kota-kota besar yang serba cepat dan transaksional, melainkan di desa-desa, di kampung-kampung, di tempat orang-orang masih mengenal nama tetangganya dan masih saling menyapa meski tak ada urusan.

Koperasi bukan institusi kapital. Ia adalah institusi kasih. Dan karena itu, ia hanya bisa bertahan di tempat yang masih memelihara nilai-nilai kebersamaan. Di tempat semacam ini, tidak penting apakah bangunannya dari bata atau bilik, apakah pembukuannya digital atau tulis tangan. Yang penting adalah: apakah orang-orang di dalamnya masih percaya satu sama lain?

Di Wonosobo, Mbah Karsini menjaga koperasinya dengan tangan sendiri. Tak ada dana pemerintah, tapi ada rasa saling percaya yang dirawat seperti pusaka. “Kalau koperasi dibentuk dari atas, nanti yang turun bukan manfaat, tapi masalah,” ujarnya. “Tapi kalau dibentuk dari bawah, walau kecil, dia bisa jadi tempat sandaran.”

Maka, saat koperasi dijadikan proyek nasional, kita perlu bertanya: untuk siapa koperasi ini dibentuk? Untuk rakyat, atau untuk angka dalam laporan? Untuk solidaritas, atau untuk pencitraan?

Koperasi, jika benar ingin hidup dan menghidupkan, harus kembali ke tanah. Ke ruang-ruang kecil tempat warga berkumpul dan berbicara, saling meminjamkan uang dan harapan. Di sanalah koperasi menemukan jiwanya. 

Dan di sanalah, mungkin, cita-cita Hatta masih berdetak — pelan, nyaris tak terdengar oleh mikrofon konferensi pers, tapi tetap hidup di antara rak warung kecil dan papan tulis berdebu yang tak pernah berbohong.

Karena koperasi sejati tidak tumbuh dari kekuasaan. Ia tumbuh dari kerendahan hati untuk percaya — dan keberanian untuk berjalan bersama.