Cinta yang Datang Setelah Luka: Sebuah Cerita tentang Luna Maya
Di sebuah kapel kecil nan teduh di pinggiran Pulau Dewata, Luna Maya berdiri dalam balutan gaun putih sederhana. Senyumnya lebar, matanya berkaca.
Di sampingnya, Maxim menatap dengan penuh kasih, seolah ingin berkata kepada dunia: “Aku mencintainya, seluruhnya.” Di luar kapel, para tamu menyeka air mata. Bukan karena sedih, tapi karena haru yang dalam.
Pernikahan itu terasa seperti pelunasan yang lama ditunggu, seakan semesta akhirnya memberikan keadilan bagi kisah seorang perempuan yang terlalu lama ditempa prasangka dan luka.
Kita semua, entah kenapa, ikut bahagia. Seolah Luna adalah protagonis dalam cerita yang akrab: cerita tentang perempuan yang jatuh, lalu bangkit. Yang dipermalukan, lalu bersinar. Yang dihina, lalu mencintai dan dicintai.
Kita tahu, jalan menuju pelaminan itu tidak ditaburi bunga, tapi duri-duri panjang yang menggores harga diri. Dan justru karena itulah, momen itu terasa sakral. Seperti kemenangan diam-diam bagi banyak perempuan yang pernah dihukum karena menjadi diri sendiri.
Dulu, nama Luna Maya pernah terperosok ke titik nadir saat sebuah video pribadi beredar luas. Tak peduli siapa yang menyebarkan atau siapa yang bersalah, publik memilih menghakimi Luna.
Di negeri yang menyimpan moralitas di bibir tapi memuaskan syahwat lewat tautan gelap, Luna adalah korban yang dijadikan pelampiasan. Mereka tak hanya mencibir; mereka mengadili, menertawakan, bahkan mempermalukan.
Yang lebih menyakitkan, ketika video itu tersebar, orang-orang bukannya melindungi, tapi justru menonton. Bukannya melupakan, tapi menyebarkan.
Di sinilah letak hipokrisi: perempuan yang menjadi korban malah diminta menanggung beban moral sendirian. Padahal tindakan serupa—bahkan lebih brutal—seringkali dilakukan laki-laki tanpa konsekuensi sosial yang seberat itu.
Dan rasanya, kita semua tahu pedihnya dihakimi karena pilihan hidup yang sama sekali tak dianggap salah bila dilakukan laki-laki. Seorang ibu yang bekerja penuh waktu dianggap mengabaikan anak, sementara ayah yang sibuk dianggap sedang menunaikan tanggung jawab.
Perempuan yang merokok disebut bejat, sementara laki-laki yang minum tiap malam cuma dianggap “gaul”. Bahkan, sekadar punya banyak teman laki-laki, bisa jadi bahan cercaan: “piala bergilir”, “salome”, “pelacur”. Tapi laki-laki dengan daftar mantan panjang? Justru dielu-elukan sebagai “jantan”.
Namun Luna memilih diam dan berjalan. Dia tak menyangkal masa lalu, tapi juga tak membiarkannya mencabut masa depannya. Ia kembali ke layar kaca, membintangi film, merintis usaha, berdiri di hadapan kamera tanpa malu.
Di tengah desas-desus, dia tetap elegan. Dia tahu nilai dirinya tak ditentukan oleh satu kesalahan, apalagi oleh komentar anonim yang bersumber dari kebencian.
Dari luka itu, Luna membangun kekuatan.
Dia belajar memilah siapa yang layak disebut sahabat, siapa yang hanya penonton di saat sulit. Dia tak membiarkan diri larut dalam peran korban. Dan justru dari keterpurukan itu, pintu-pintu rezeki terbuka.
Dia sadar: dirinya bukan hanya berita lama yang usang, tapi perempuan yang layak dicintai, bukan meski punya masa lalu, tapi karena punya masa lalu dan tetap bertahan.
Seperti kata filsuf Prancis, Albert Camus, “In the depth of winter, I finally learned that within me there lay an invincible summer.” Dalam musim dingin yang paling kelam, Luna menemukan musim panas dalam dirinya sendiri. Ia tidak menunggu dimaafkan oleh dunia, ia memaafkan dirinya terlebih dahulu. Dan itu jauh lebih sulit.
Maka ketika Maxim datang—bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai pasangan yang memilih mencintai seluruh Luna—kita tahu: ini bukan sekadar kisah asmara. Ini tentang bagaimana cinta yang sejati tidak menuntut kesucian, tapi merayakan keberanian untuk hidup utuh.
Kita ingin menormalisasi pilihan Maxim, karena ini seharusnya memang biasa: mencintai seseorang dengan masa lalu. Karena kita pun ingin dicintai dengan cara yang sama.
Pernikahan mereka adalah pengingat bahwa cinta yang dewasa tidak datang untuk menghapus masa lalu, tapi untuk menemani perjalanan ke depan. Dan Luna adalah lambang bahwa perempuan bisa bangkit, bisa tetap cantik meski dihina, bisa tetap percaya diri meski diragukan.
Dia bukan hanya penyintas; dia cahaya bagi banyak perempuan yang pernah terluka, yang pernah dipinggirkan hanya karena bernapas terlalu bebas.
Semoga Luna dan Maxim hanya dipisahkan oleh maut, dan pernikahan mereka membawa berkah.
Tapi lebih dari itu, semoga kisah mereka menyadarkan dunia: bahwa perempuan tak harus sempurna untuk pantas dicintai, cukup kuat untuk berdiri kembali, dan cukup berani untuk tetap hidup, apa pun kata orang. Karena seperti kata Bell Hooks, “Love is an act of will—namely, both an intention and an action.”
Dan hari itu, di pulau yang tenang, cinta adalah keputusan paling berani yang mereka ambil. Keputusan yang diambil bersama.