Sebagaimana Tan Malaka, Hasan Nasbi Juga Menepi Lebih Awal
Hasan Nasbi mundur. Seperti angin yang pelan-pelan reda, kepergiannya tak membuat gaduh. Tak ada pidato panjang, tak ada perpisahan dramatis. Tapi dalam diam itu, terdengar sesuatu: bunyi retak dari ruang yang selama ini terlalu hening—ruang komunikasi kekuasaan.
Mungkin ia kecewa. Tapi mungkin juga ia hanya menyadari sesuatu yang sudah terlalu lama dibiarkan: bahwa cahaya tak selalu datang, bahkan ketika seseorang telah sabar menunggu. Maka ia memilih pergi. Bukan karena kalah. Tapi karena ia tahu, kemenangan yang sesungguhnya adalah tidak menjadi bagian dari kegagalan yang sudah ditentukan sejak awal.
Hasan bukan nama baru. Ia tak lahir dari partai, tapi dari belantara opini publik. Ia mendampingi Jokowi, lalu Prabowo. Ia ada ketika perang opini terjadi di ruang digital. Ia membentuk narasi, menjaga wibawa, merancang strategi.
Ia bukan sekadar pembuat meme, apalagi penggembira. Ia adalah pejuang dalam senyap, yang percaya bahwa narasi adalah instrumen kekuasaan, dan persepsi adalah arena pertempuran.
Tapi kekuasaan, seperti yang sering terjadi, tak selalu tahu caranya membalas kerja sunyi. Di sana, seseorang bisa setia tapi tetap diragukan. Bisa berjasa tapi diabaikan. Bisa dipercaya oleh publik, tapi tidak oleh lingkaran sempit kekuasaan.
Hasan diberi jabatan, tapi tidak diberi kuasa. Ia ditunjuk menjadi dirigen, namun tak pernah menerima tongkat untuk mengatur orkestra. Ia diminta bertanggung jawab atas simfoni yang tak pernah ia atur. Pemerintahan ini berjalan seperti panggung besar yang penuh musisi, tapi tak satu pun yang mengikuti partitur.
Di permukaan, semuanya terlihat kolektif. Tapi kenyataannya: masing-masing berjalan sendiri, berbicara sendiri, menjawab dengan naluri pribadi. Presiden hanya mempercayai orang-orang lama, yang barangkali setia, tapi tak cukup peka pada medan yang berubah.
The Economist pernah mencatat: Prabowo adalah pemimpin yang hanya percaya pada lingkaran terdekatnya—dan di situ pula kelemahan strategis itu bertumbuh. Ketika panggung dunia menuntut kelincahan komunikasi dan kecakapan diplomasi, yang tampil justru kebingungan. Karena tidak ada sistem yang memastikan satu arah suara.
Mungkin benar, Hasan pernah blunder. Saat kasus kiriman kepala babi kepada jurnalis Tempo mencuat, ia menanggapi secara kaku dan datar. Harusnya ia berdiri di tengah. Sebagai wakil negara, ia semestinya menunjukkan empati kepada media, lalu menyampaikan pernyataan yang tepat. Tak sulit sebenarnya: cukup mengatakan bahwa negara peduli dan mengutuk segala bentuk teror.
Tapi Hasan Nasbi terlampau hitam-putih. Ia bukan tipe politisi yang harus mematut wajah manis saat berhadapan dengan cermin. Ia lebih seperti aktivis yang tak tahan dengan segala dramatisasi.
Ia lupa, bahwa panggung ini bukan lagi jalanan, bukan lagi debat terbuka di media sosial. Ini panggung negara, di mana rekayasa dan persepsi bukan kebohongan, tapi kebutuhan untuk menjaga wajah publik tetap tenang.
Di titik ini, ia tampil sebagai orang Sumatera yang berbicara lepas, tanpa menyaring kalimat, tanpa menghitung akibat.
Seakan-akan belum move on dari masa kampanye, ketika semua kritik harus dibalas agar seimbang. Ia lupa bahwa kini ia adalah pejabat negara. Dan komunikasi istana bukan medan perang. Ia adalah rumah—yang tugas utamanya bukan membalas, tapi mengelola kebaikan.
Hasan tidak pernah menjadi wajah komunikasi Prabowo. Ia tak berdiri di samping presiden dalam momen-momen penting. Ia tak tampak di foto peresmian, tak muncul dalam pidato kemenangan. Ia tetap berada di belakang layar. Seperti wayang yang tak diberi panggung.
Lalu orang mulai bicara pelan-pelan: “Dia orang Jokowi.” Sebuah tuduhan yang tidak hanya keliru, tapi juga dangkal. Seolah kekuasaan ini dimiliki oleh satu suku politik saja. Seolah negara bukan rumah bersama, melainkan warung kecil milik segelintir orang.
Padahal, seperti yang ditulis Hannah Arendt, "Politics is based on the fact of plurality." Politik bukan tentang keseragaman, tapi kemampuan menerima yang berbeda. Negara bukan ladang untuk balas budi, tapi ruang di mana berbagai pikiran bersilangan dan saling memperkaya. Jika semua diukur dari sejarah kedekatan, maka tak akan pernah ada masa depan bersama.
Hasan tidak sedang membela Jokowi atau Prabowo. Ia membela gagasan: tentang bagaimana kekuasaan mesti berbicara dengan warganya. Tapi mungkin justru di situlah masalahnya: sistem ini terlalu takut pada orang-orang yang membawa ide, bukan hanya loyalitas.
Saya teringat pada Kathleen Hall Jamieson, yang mengatakan, “The essence of presidential communication lies not in control, but in coherence.” Tapi adakah koherensi dalam pemerintahan ini? Yang kita saksikan justru kementerian yang berjalan sendiri-sendiri, pesan-pesan yang saling bertabrakan, dan publik yang makin asing dengan bahasa kekuasaan.
Hasan Nasbi pergi. Tapi yang menyedihkan bukan kepergiannya, melainkan kenyataan bahwa negara ini tak punya ruang untuk orang yang mencoba membenahi dari dalam. Ia mundur bukan karena kalah, tapi karena tak mungkin menang di atas panggung yang bahkan tak disusun.
Barangkali, di suatu tempat, Hasan duduk tenang. Seperti Tan Malaka setelah proklamasi kemerdekaan: menepi bukan karena menyerah, tapi karena tahu idealisme tak selalu hidup dalam gedung-gedung kekuasaan.
Tan pernah berjalan sendiri, dengan keyakinan yang tak diakomodasi oleh sistem yang ia bantu lahirkan. Ia tahu, kadang-kadang, gagasan justru tumbuh subur di luar pagar istana.
Hasan, sebagai pengkaji Tan Malaka, barangkali memahami ini lebih dari siapa pun. Dan jika benar ia memilih jalan itu—jalan menepi yang sunyi—maka Prabowo pun bisa mengulang sejarah yang sama: seperti Sukarno yang kehilangan arah setelah ditinggal Tan, lalu Hatta.
Sebab kekuasaan yang menutup telinga pada suara-suara jernih, akan segera dipenuhi gema dari mereka yang hanya bicara untuk menyenangkan.
Pada akhirnya, barangkali negeri ini tidak kekurangan pembisik. Yang kurang adalah pendengar.