Sekolah Rakyat dan Luka yang Tak Pernah Sembuh
Presiden Prabowo Subianto mengumumkan rencana besar yang akan dijalankan mulai 2025: membangun Sekolah Rakyat, sebuah jaringan sekolah berasrama untuk anak-anak dari keluarga miskin ekstrem.
Program ini diklaim sebagai upaya negara mengangkat martabat rakyat kecil lewat pendidikan. Satu sekolah diproyeksikan menampung 1.000 siswa, dengan seluruh biaya—makan, seragam, dan tempat tinggal—ditanggung penuh oleh negara. Anggaran yang dibutuhkan? Rp150 miliar per unit sekolah.
Dalam lima tahun ke depan, ditargetkan berdiri 1.000 Sekolah Rakyat di seluruh penjuru negeri. Bila dikalkulasi, total anggaran yang akan digelontorkan mencapai Rp150 triliun—sebuah angka yang mencengangkan, sebanding dengan pembangunan Ibu Kota Negara baru.
Angka itu bisa membangun ribuan puskesmas, merevitalisasi jutaan ruang kelas, atau meningkatkan kesejahteraan guru di seluruh pelosok.
Sekilas, ini tampak seperti langkah revolusioner. Tapi diam-diam, ada tanya yang menggema di ruang-ruang yang lebih senyap: benarkah ini solusi? Ataukah hanya upaya menata ulang wajah kemiskinan agar tampak lebih layak di hadapan kamera?
Rencana itu tampak mulia. Tapi seperti semua hal yang tampak, kadang yang terdengar baik belum tentu menyentuh akar. Apakah membangun gedung baru berarti membangun masa depan? Apakah memisahkan anak-anak dari keluarga miskin ke dalam institusi khusus akan menyembuhkan luka ketimpangan?
Amartya Sen menulis bahwa pendidikan adalah jalan menuju kebebasan. Tapi kebebasan tidak tumbuh di dalam pagar yang memisahkan. Ketika anak-anak dari lapis sosial terbawah dikumpulkan dalam satu sekolah, mereka mungkin diselamatkan dari kekurangan, tapi juga dipisahkan dari yang lain. Mereka disebut diberdayakan, padahal justru diberi ruang tersendiri. Jauh dari arus utama.
Pendidikan kehilangan maknanya ketika dijalankan sebagai sistem pengelompokan, bukan penyatuan. Ketika ia lebih menciptakan identitas baru—anak sekolah rakyat, anak sekolah umum—maka ia berhenti menjadi jembatan. Ia berubah menjadi batas.
Kita terlalu sering terbuai pada proyek besar. Terlalu percaya pada beton dan angka. Di situlah kamera berkumpul, di situlah panggung dibangun. Tapi negara bukan pertunjukan. Dan rakyat bukan penonton.
Kebijakan yang lahir bukan dari pemahaman, tapi dari dorongan tampil, akan gagal menyentuh yang terdalam. Sekolah menjadi latar belakang konferensi pers. Seragam menjadi alat dokumentasi. Menteri hadir dengan pidato yang ditulis rapi, menyebut kata “masa depan”, sambil berdiri di atas tanah yang belum selesai dipetakan.
Sementara itu, pendidikan sebagai proses senyap—yang membutuhkan sabar dan konsistensi—ditinggalkan. Guru tetap tak mendapat pelatihan. Kurikulum tetap jauh dari realitas. Anak-anak tetap belajar di ruang sempit, duduk bersila, menyalin dengan pensil tumpul.
Masalah pendidikan Indonesia bukan semata kekurangan gedung, tapi kekurangan keadilan. Ribuan sekolah negeri masih berdiri dengan papan tulis retak, atap bocor, dan tenaga pengajar yang harus mengajar empat mata pelajaran sekaligus.
Di pelosok, anak-anak menyeberangi sungai dan berjalan belasan kilometer hanya untuk mengeja huruf. Mereka tidak menuntut asrama. Mereka hanya meminta kehadiran negara dalam bentuk paling sederhana: keadilan.
Lalu, mengapa dana sebesar itu tidak diarahkan ke sana?
Jika Sekolah Rakyat dijadikan proyek eksklusif, maka yang lahir bukanlah rumah belajar, melainkan simbol pemisahan. Ini bukan sekadar soal bangunan. Ini soal arah berpikir. Jika anak miskin hanya boleh belajar dengan sesamanya, bagaimana mimpi tentang mobilitas sosial bisa tumbuh?
Pendidikan seharusnya menyatukan, bukan memisahkan. Ia harus menjadi ruang di mana anak petani bisa duduk sejajar dengan anak pemilik pabrik. Di mana mimpi tumbuh bukan karena belas kasihan, tapi karena kesempatan yang setara. Di mana semua anak merasa berhak bermimpi, tanpa takut diingatkan bahwa mereka berasal dari kategori ekonomi tertentu.
Sekolah Rakyat bisa menjadi cahaya. Tapi cahaya itu hanya menyala jika ia dilahirkan dari keberpihakan yang jujur. Dari kesadaran bahwa pendidikan bukan proyek, melainkan proses. Bukan ajang simbol, tapi ruang sunyi yang menumbuhkan harapan satu per satu.
Ia hanya akan bercahaya jika tak dibangun dengan gegap gempita, tapi dengan mendengar detak kecil kebutuhan di pelosok. Jika didesain bukan untuk pencitraan, tapi untuk menyembuhkan. Cahaya sejati tak butuh sorot lampu. Ia memancar dari makna. Dan makna lahir dari kedekatan—antara kebijakan dan kehidupan, antara negara dan murid-murid yang tersembunyi di balik bukit.
Jika tidak, Sekolah Rakyat hanya akan menjadi bangunan megah yang menyimpan sunyi. Menjadi monumen dari niat yang terlalu cepat. Menjadi album foto yang dulu sempat viral, tapi kemudian dilupakan. Seperti banyak proyek sebelumnya yang pernah berjanji mengubah, lalu tenggelam di antara lembar laporan dan kerikil birokrasi.
Anak-anak dari keluarga miskin tidak menuntut dikasihani. Mereka tidak meminta diberi tempat khusus. Mereka hanya ingin diyakinkan bahwa mereka pun mampu. Bahwa masa depan mereka tak ditentukan oleh label ekonomi, tapi oleh ruang kesempatan yang dibuka dengan adil.
Dan tugas negara bukan membangun pagar, melainkan membuka pintu. Bukan mengisolasi, tapi merangkul. Bukan mencatat data, tapi mendengar cerita.
Sebab pendidikan yang sejati adalah tempat di mana semua luka bisa perlahan sembuh—tanpa perlu disorot kamera.