Semesta Cermin dalam Kisah La Galigo dan Lord of the Rings
![]() |
Frodo Baggins dalam The Lord of the Rings |
Sawerigading berdiri di tepian kapal, memandang laut yang terbentang seperti nasib yang belum terungkap. Ombak bergerak pelan, lalu membesar, menggulung seperti waktu yang tak bisa dipegang.
Di seberang sana, ada seorang perempuan yang menantinya, atau mungkin hanya bayangannya—sebab perjalanan selalu tentang menyeberangi sesuatu yang lebih dari sekadar ruang: batas antara diri dan takdir, antara dunia yang dikenal dan dunia yang selalu menggoda untuk dijangkau.
Di semesta lain, Frodo Baggins juga melakukan perjalanan. Tidak melintasi lautan, tetapi memasuki dunia yang lebih sunyi—Mordor, tanah di mana kegelapan tidak sekadar bayangan, tetapi udara yang dihirup, yang meresap ke dalam tubuh.
Seperti Sawerigading, Frodo harus pergi ke tempat yang belum pernah dijamahnya. Ia harus menghadapi sesuatu yang tak sepenuhnya dipahaminya. Tapi bukankah itu makna perjalanan?
Dua kisah, dua dunia, namun seperti cermin retak yang memantulkan bayangan yang sama: alam semesta berlapis, tempat dewa, manusia, dan bayang-bayang saling berkelindan.
II
La Galigo ditulis dalam bahasa Bugis kuno, dalam baris-baris yang lebih panjang dari Mahabharata. Tidak ada yang tahu pasti kapan ia pertama kali lahir. Mungkin sejak orang-orang Bugis mulai mengenal laut, dan dengan laut mereka belajar bahwa dunia selalu lebih luas dari yang mereka bayangkan.
Berabad-abad kemudian, di negeri yang jauh, seorang pria bernama J.R.R. Tolkien duduk di ruangannya, menulis mitologi baru bagi dunia yang telah kehilangan banyak mitosnya. The Lord of the Rings muncul di abad ke-20, di tengah reruntuhan perang, ketika manusia mencoba mengerti kembali batas antara kehancuran dan harapan.
Dua kisah ini lahir di zaman yang berbeda, dalam bahasa yang tak saling mengenal. Tetapi, seperti kata Claude Lévi-Strauss, mitos memiliki struktur yang serupa karena manusia, di mana pun dan kapan pun, berusaha menjelaskan hal yang sama: ketidakseimbangan, ketakutan, dan pencarian keseimbangan.
La Galigo mengenal tiga dunia: Boting Langi, tempat para dewa bersemayam; Ale Kawa, dunia manusia yang terus bergetar antara harmoni dan kekacauan; dan Perettiwi, dunia bawah yang tak sepenuhnya gelap, tapi juga bukan tempat untuk kembali.
Tolkien juga menciptakan dunia yang bertingkat: Aman, tanah abadi yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang telah menyelesaikan urusannya di Middle-earth; Mordor, wilayah tanpa harapan, tempat di mana api hanya membawa kehancuran; dan Middle-earth itu sendiri, dunia yang selalu berada di antara ketakutan dan harapan.
Dunia-dunia ini bertingkat. Dan di antara lapisan-lapisan itu, ada mereka yang berjalan, berlayar, menyeberang—mencari sesuatu, atau mungkin kehilangan sesuatu.
Sawerigading berasal dari dunia atas, tapi ia tak bisa tinggal di sana. Ada takdir yang harus ia jalani di Ale Kawa, ada lautan yang harus ia taklukkan, ada cinta yang harus ia cari meski ia tahu, seperti semua pelayar, bahwa di kejauhan selalu ada badai yang menunggu.
Frodo lahir di The Shire, di sebuah dunia yang hijau dan tenteram, tetapi dunia tak selamanya bisa mempertahankan kedamaiannya sendiri. Cincinnya membebani, menariknya ke tempat yang paling gelap.
Mungkin kita memang ditakdirkan untuk selalu berada di tengah.
III
Perjalanan, kata Joseph Campbell, selalu dimulai dengan panggilan. Sang pahlawan meninggalkan dunia yang dikenalnya, menghadapi ujian, lalu kembali dengan kebijaksanaan baru. Tapi kembali ke mana?
Sawerigading kembali ke negerinya, tetapi ia tidak bisa tinggal selamanya. Frodo kembali ke The Shire, tetapi ia mendapati bahwa rumahnya telah berubah—atau dirinya yang telah berubah. Akhirnya, ia berlayar ke Aman, meninggalkan Middle-earth.
Lévi-Strauss melihat pola ini dalam banyak mitos: tokoh utama mengalami transisi, bukan hanya secara fisik, tetapi secara eksistensial. Ia bukan lagi orang yang sama. Mitos, katanya, bukan sekadar cerita, tetapi cara manusia memahami kontradiksi hidup.
Kita bergerak antara terang dan gelap, antara kepastian dan kekacauan. Kita tidak bisa tinggal selamanya di satu tempat.
IV
Barangkali, La Galigo dan The Lord of the Rings adalah cara yang berbeda untuk mengatakan hal yang sama: bahwa dunia selalu bergerak, bahwa keseimbangan harus terus dijaga, bahwa perjalanan adalah sesuatu yang tak bisa dihindari.
Lévi-Strauss berkata, mitos bukan hanya soal cerita, tapi cara manusia menata kekacauan. Kita membagi dunia menjadi terang dan gelap, atas dan bawah, ketenangan dan pertarungan—karena kita ingin memahami batasnya. Tapi para pahlawan dalam mitos selalu melintasi batas itu, sebab keseimbangan hanya bisa dijaga dengan pergerakan.
Sawerigading dan Frodo berangkat dari dunia yang mereka kenal, memasuki wilayah yang tak mereka mengerti, dan ketika kembali, mereka bukan lagi diri mereka yang dulu. Dunia tetap berputar, tetapi ada sesuatu yang berubah—atau mungkin, merekalah yang telah berubah.
Di ujung perjalanan, Sawerigading berkata, "Laut ini tak pernah bisa benar-benar kita taklukkan, tetapi kita akan tetap berlayar." Dan Frodo pun berlayar, meninggalkan Middle-earth, menuju tempat yang tak bisa ia pahami sepenuhnya.
Maka perjalanan tak pernah benar-benar berakhir. Laut tetap berombak. Jalan tetap membentang. Dan di cermin retak itu, manusia terus mencari bayangan yang lain.