Di Balik Jeruji, Tom Lembong Terus Membaca
Pagi itu, cahaya masuk melalui celah kecil di atas dinding. Di antara tembok yang lembap dan lantai yang dingin, seorang lelaki duduk, tenggelam dalam dunia yang hanya bisa dijangkau oleh pikirannya.
Ia bukan kriminal jalanan, bukan pencoleng uang rakyat yang bersembunyi di balik birokrasi. Ia seorang ekonom, mantan menteri, seorang lulusan Harvard yang namanya dihormati di dunia internasional. Ia, Thomas Lembong.
Inilah ironi hukum di negeri ini. Tom Lembong dihakimi bukan karena ia mencuri, melainkan karena ia mengambil keputusan. Ia dituduh korupsi, padahal tak sepeser pun mengalir ke kantong pribadinya.
Sebagai menteri, ia memiliki otoritas untuk mengeluarkan kebijakan, tetapi ketika kebijakan itu dipersoalkan, hukum justru menyeretnya sebagai pesakitan. Di ruang pengadilan, fakta bisa menjadi sesuatu yang lentur, dan integritas seseorang bisa diubah menjadi sekadar narasi yang direkayasa.
Dunia yang dulu dikenalnya luas—ruang diplomasi global, forum ekonomi, meja perundingan—kini menyempit menjadi empat dinding sel tahanan. Namun, ia menolak membiarkan pikirannya ikut dipenjara.
Membaca sebagai Bentuk Perlawanan
Di dalam sel itu, Tom Lembong menemukan cara bertahan: membaca. Buku menjadi jendela yang tetap terbuka, bahkan ketika semua pintu tertutup. Dengan setiap halaman yang dibacanya, ia meruntuhkan batas ruang dan waktu.
Seperti Antonio Gramsci yang menulis Prison Notebooks dalam sel penguasa fasis, seperti Nelson Mandela yang membangun imajinasinya tentang masa depan dari dalam jeruji, Tom menjadikan buku sebagai sekoci di tengah badai.
"Basis dari segala inovasi adalah pengetahuan. Dan cara terbaik untuk membangun pengetahuan adalah tetap membaca buku," tulisnya suatu hari di media sosial.
Ia tahu bahwa di luar sana, banyak yang menuduhnya tanpa benar-benar memahami duduk perkara. Bahwa hukum, meski diklaim sebagai alat keadilan, sering kali bekerja dengan bias yang sama seperti yang diungkapkan Hans Rosling dalam Factfulness. Bahwa banyak orang yang terjebak dalam sesat pikir, gagal melihat dunia sebagaimana adanya, dan mudah menghakimi berdasarkan persepsi yang salah.
Menjelajahi Dunia Lewat Halaman Buku
Tom menolak menyerah. Jika dunia di luar telah menutup dirinya, ia akan membuka dunia lain di dalam pikirannya.
Ia membaca Sapiens karya Yuval Noah Harari dan menemukan bahwa sejak awal peradaban, manusia selalu berkutat dalam konflik memperebutkan sumber daya, saling menyingkirkan demi bertahan hidup. Ia memahami bahwa dirinya hanyalah bagian dari siklus panjang itu—bahwa sejarah penuh dengan kisah orang-orang yang disingkirkan oleh sistem yang mereka coba perbaiki.
Dalam Why Nations Fail karya Daron Acemoglu, ia melihat refleksi dari negeri yang memenjarakannya. Negara-negara gagal bukan karena kurangnya sumber daya, melainkan karena institusinya dikuasai oleh segelintir orang yang ingin melanggengkan kekuasaan. Ia mulai bertanya-tanya: apakah yang dialaminya adalah bagian dari itu? Apakah ia disingkirkan bukan karena kesalahannya, tetapi karena keberaniannya menentang status quo?
Dari antara buku-buku ekonomi dan sejarah yang berat, Tom juga menemukan sesuatu yang lebih esensial: napas. Dalam Breath karya James Nestor, ia belajar bagaimana pernapasan bisa menjadi kunci ketenangan dan kejernihan berpikir.
Di dalam sel yang pengap dan penuh tekanan, ia mulai menerapkan teknik pernapasan yang diajarkan Nestor—tarikan napas dalam, perlahan, teratur. Ia menemukan bahwa meskipun tubuhnya terkurung, ia masih bisa mengendalikan satu hal yang paling mendasar dalam dirinya: cara ia bernapas.
Namun, di atas semua itu, ada satu pertanyaan yang terus mengusiknya: mengapa semua ini terjadi? Mengapa ia harus menjalani nasib seperti ini?
Jawabannya, sebagian, ia temukan dalam Start With Why karya Simon Sinek. Meskipun ini buku bisnis, Sinek menawarkan sesuatu yang lebih dalam: dorongan untuk menemukan makna di balik segala sesuatu.
Tom mulai bertanya pada dirinya sendiri. Jika semua ini adalah ujian, maka apa pelajaran yang harus ia ambil? Jika ia telah melakukan yang terbaik untuk negeri ini, lalu mengapa ia harus berakhir di tempat seperti ini?
Namun, sebagaimana yang Sinek katakan, yang terpenting bukanlah apa yang terjadi, tetapi mengapa seseorang memilih untuk terus berjalan. Tom tahu bahwa apa yang ia alami bukan akhir, melainkan babak baru yang harus ia jalani dengan kepala tegak.
Kebebasan yang Tak Bisa Dipenjara
Di luar sana, banyak yang bebas tetapi terkurung dalam batas pikirannya sendiri. Tetapi Tom, dari balik jeruji, tetap menjelajah. Ia mungkin dikurung, tetapi pikirannya tetap berjalan jauh, menembus batas-batas yang tak bisa dijangkau oleh kekuasaan.
Ia tetap membaca. Ia tetap berpikir. Ia tetap bernapas. Ia tetap mencari makna. Karena kebebasan yang sejati, pada akhirnya, adalah kebebasan berpikir—sesuatu yang tak bisa dipenjara oleh siapa pun.
Namun, di luar sana, ada satu hal yang lebih menyedihkan dari seorang pemikir yang dipenjara: potensi besar yang disia-siakan. Talenta dan pikiran sejernih dirinya tidak seharusnya berada di balik jeruji. Seharusnya, ia memimpin. Seharusnya, ia berada di tempat di mana pemikirannya bisa berdampak besar bagi negeri ini.
Seharusnya, ia memimpin Danantara—sebuah institusi yang membutuhkan sosok sepertinya, seorang visioner dengan pemahaman global yang mampu membawa arah baru bagi Indonesia.
Seharusnya, ia ada di sana, di ruang-ruang strategis, mengarahkan negeri ini menuju kemakmuran. Bukan di tempat ini. Bukan di balik jeruji. Dan mungkin, suatu hari, sejarah akan memperbaiki kesalahannya.
Semoga.