Beranda
/ Jagoan Betawi dalam Goresan Komikus Tionghoa
Jagoan Betawi dalam Goresan Komikus Tionghoa
SEBUAH kota bukan hanya menyimpan kisah
tentang kemajuan dan kemunduran, atau tentang upaya-upaya meninggikan ataupun
memundurkan peradaban, tapi juga menjadi rahim dari begitu banyak kisah yang
dibuat oleh manusia-manusia yang berjejalan di dalamnya. Melalui kisah itu,
kita bisa memahami denyut nadi peristiwa kota pada kurun periode tertentu.
Kota Jakarta, sebagai rumah bagi
masyarakat Betawi, menyimpan banyak kisah-kisah menarik yang dituturkan dari
zaman ke zaman. Kisah itu selalu abadi sebab senantiasa direka ulang dan
dituturkan kepada generasi baru. Melalui kisah itu, kita bisa bercermin dan
menemukan begitu banyak hikmah dan pesan yang bisa diserap untuk masyarakat
hari ini.
Di antara demikian banyak kisah itu,
tersebutlah kisah tentang Si Jampang Jago Betawi. Sosok Si Jampang dikenal sebagai
jawara berilmu tinggi yang selalu membela masyarakat biasa. Ia serupa Robin
Hood yang merampok tuan tanah kaya, lalu membagikan hasil rampokan itu ke
masyarakat.
Ia hadir dalam struktur masyarakat yang ditindas oleh kaum kaya dan kaum kolonialis. Ia pahlawan rakyat biasa yang menggunakan goloknya untuk membela mereka yang dilemahkan.
Ia hadir dalam struktur masyarakat yang ditindas oleh kaum kaya dan kaum kolonialis. Ia pahlawan rakyat biasa yang menggunakan goloknya untuk membela mereka yang dilemahkan.
Pada mulanya, kisah Si Jampang dipentaskan
dalam berbagai lenong, sandiwara khas orang Betawi. Selanjutnya, kisah itu
ditulis secara bersambung oleh Zaidin Wahab di harian Pos Kota. Akan tetapi, kisah ini belum begitu populer.
Nanti setelah dikemas dalam format komik oleh Ganes TH, kisah ini dikenal masyarakat luas. Berkat komik, kisah itu menembus berbagai lapisan masyarakat, sehingga akhirnya difilmkan berulang kali.
Nanti setelah dikemas dalam format komik oleh Ganes TH, kisah ini dikenal masyarakat luas. Berkat komik, kisah itu menembus berbagai lapisan masyarakat, sehingga akhirnya difilmkan berulang kali.
Sejarawan JJ Rizal mengakui kalau proses
adaptasi itu telah menghilangkan banyak kisah asli yang ditulis Zaidin Wahab.
Sosok Si Jampang dalam komik adalah murni interpretasi Ganes TH yang telah mengalami
banyak pengayaan sehingga berbeda jauh dengan versi tulisan.
Ganes TH sendiri adalah komikus keturunan
Tionghoa yang menempati posisi papan atas di masa itu. Nama aslinya adalah Gan
Thiau San. Selain Si Jampang Jago Betawi,
ia juga membuat komik lain berjudul Krakatau,
Tuan Tanah Kedawung, Nilam dan Kesumah, dan Tjisadane.
Namun komik yang melambungkan nama Ganes TH adalah Si Buta dari Gua Hantu, yang mengisahkan petualangan sosok buta bernama Barda Mandrawata. Komik ini disebut banyak kalangan menawarkan banyak pendekatan baru dalam mengemas seorang jagoan lokal. Komik melambungkan nama Ganes TH.
Namun komik yang melambungkan nama Ganes TH adalah Si Buta dari Gua Hantu, yang mengisahkan petualangan sosok buta bernama Barda Mandrawata. Komik ini disebut banyak kalangan menawarkan banyak pendekatan baru dalam mengemas seorang jagoan lokal. Komik melambungkan nama Ganes TH.
Dekade 1960-an hingga 1970-an adalah
dekade emas bagi dunia komik tanah air. Pada masa ini, banyak komikus
bermunculan, yang meramaikan pasar dengan ragam kisah dan narasi. Komik Si
Jampang terbilang unik sebab mengangkat jagoan lokal yang melawan
kesewenang-wenangan para tuan tanah dan penjajah Belanda pada abad ke-20. Komik
ini disebut sejarawan JJ Rizal menjadi era baru dari kisah-kisah Betawi yang
diangkat ke komik dan layar kaca.
Sebagai satu produk budaya, komik jelas
tak bisa dilepaskan dari konteks sosio-historis serta kultural yang ada pada
satu masa. Komik Si Jampang jelas dipengaruhi oleh dinamika saat komik itu
dibuat. Katakanlah, ide-ide dalam komik bisa jadi dipengaruhi oleh nasionalisme
dan perlawanan pada penjajah asing. Para pengkaji feminis pasti akan penasaran
untuk melihat bagaimana representasi laki-laki dan perempuan dalam komik.
Nah, beberapa pertanyaan bisa mencuat. Bagaimanakah
menempatkan kehadiran sosok Jampang dalam goresan Ganes TH dalam konteks sosial
budaya pada masa itu? Bagaimana menjadikan sosok dalam komik ini sebagai
jendela untuk memahami dinamika budaya, gagasan-gagasan serta konteks yang
melatari masyarakat pada masa itu?
***
BUKU berjudul Si Jampang Jago Betawi: Kajian Tokoh dalam Komik Ganes TH yang
ditulis Paul Heru Wibowo ini mengisi kelangkaan khasanah mengenai komik di
Indonesia. Buku ini diolah dari tesis yang dibuat di Institut Kesenian Jakarta
(IKJ) tahun 2013 silam.
Selain buku ini, riset lain mengenai komik pernah dibuat oleh Seno Gumira Adjidarma mengenai komik Panji Tengkorak. Riset-riset ini penting untuk memahami bagaimana hubungan antara komik sebagai penanda budaya dnegan masyarakat pada masa itu.
Selain buku ini, riset lain mengenai komik pernah dibuat oleh Seno Gumira Adjidarma mengenai komik Panji Tengkorak. Riset-riset ini penting untuk memahami bagaimana hubungan antara komik sebagai penanda budaya dnegan masyarakat pada masa itu.
Paul Heru Wibowo, penulis buku ini, tertarik
dengan komik Si Jampang disebabkan tiga alasan. Pertama, komik ini memiiki
keunikan terkait unsur penokohan yang begitu kuat dan beragam. Kedua, semua
tokoh yang berperan dalam komik, baik protagonis maupun antagonis, bergender
laki-laki yang tumbuh di dalam wilayah ideologi dan budaya patriarkis. Ketiga,
semua tokoh memiliki tendensi untuk berhubungan dengan sejumlah arketipe
mengenai kejantanan, ketangkasan, dan keperkasaan. (halaman 51)
Meskipun tidak disampaikan secara
eksplisit, kajian dalam buku ini menjadi jendela untuk mengamati bagaimana
hubungan antara gagasan Ganes TH, selaku pengarang, dengan konteks sosial yang
disaksikannya pada masa itu.
Sebagai fiksi, komik Si Jampang dibangun dengan riset yang cukup dalam. Ganes menggambarkan dengan detail tentang perkampungan masyarakat Betawi di Cengkareng. Ia juga begitu teliti menampilkan keragaman etnik dan perbedaan stratifikasi sosial yang sejak lama mengisi kehidupan masyaraat Betawi, melalui kehadiran tokoh-tokoh seperti opas kompeni, alim-ulama, bangsawan, kaum pedagang cina, rakyat biasa, dan centeng.
Sebagai fiksi, komik Si Jampang dibangun dengan riset yang cukup dalam. Ganes menggambarkan dengan detail tentang perkampungan masyarakat Betawi di Cengkareng. Ia juga begitu teliti menampilkan keragaman etnik dan perbedaan stratifikasi sosial yang sejak lama mengisi kehidupan masyaraat Betawi, melalui kehadiran tokoh-tokoh seperti opas kompeni, alim-ulama, bangsawan, kaum pedagang cina, rakyat biasa, dan centeng.
Poin penting yang patut dicatat adalah
dialog-dialog dalam komik Si Jampang ini menggunakan dialek khas Betawi. Bisa
dikatakan komik ini adalah gerbang untuk memahami kehidupan orang Betawi dengan
segala dinamikanya pada penghujung abad ke-19.
Pada masa itu, kehidupan masyarakat tidak selalu membahagiakan sebab adanya aturan ketat dari pemerintah kolonial, yang sering disebut kompeni. Di sisi lain, banyak pula kaum pribumi yang memilih menjadi kaki tangan kompeni.
Banyak pula kaum lintah darat atau orang-orang kaya yang mencaplok tanah-tanah milik rakyat biasa, lalu menebar teror dengan dukungan dari kaum jawara. Dalam situasi ini, kehadiran seorang pahlawan dinanti dengan penuh harap.
Pada masa itu, kehidupan masyarakat tidak selalu membahagiakan sebab adanya aturan ketat dari pemerintah kolonial, yang sering disebut kompeni. Di sisi lain, banyak pula kaum pribumi yang memilih menjadi kaki tangan kompeni.
Banyak pula kaum lintah darat atau orang-orang kaya yang mencaplok tanah-tanah milik rakyat biasa, lalu menebar teror dengan dukungan dari kaum jawara. Dalam situasi ini, kehadiran seorang pahlawan dinanti dengan penuh harap.
Buku ini fokus pada bagaimana hubungan
bahasa visual dan bahasa naratif yang ditampilkan Ganes memiliki korelasi
dengan makna maskulinitas. Ia mendiskusikan tampilan sosok dalam komik ini
dengan makna maskulinitas dalam masyarakat kontemporer.
Dua pertanyaan utama yang hendak didiskusikan adalah: (1) Bagaimana konsep maskulinitas ditampilkan, (2) Dalam konteks apa maskulinitas itu ditampilkan, (3) apakah makna baru mengenai maskulitas yang bisa ditemukan di komik itu?
Dua pertanyaan utama yang hendak didiskusikan adalah: (1) Bagaimana konsep maskulinitas ditampilkan, (2) Dalam konteks apa maskulinitas itu ditampilkan, (3) apakah makna baru mengenai maskulitas yang bisa ditemukan di komik itu?
Penulis buku menyusun alur buku dalam
beberapa bab. Dimulai dari jelajah teoritik tentang peran tokoh dalam naratif,
lalu membahas profil ganes TH, setelah itu mulai menganalisis penokohan
Jampang. Ia membuat refleksi maskulinitas dalam tokoh cerita, di hadapan tokoh
perempuan, hingga refleksi tentang budaya populer. Terakhir, ia membuat
kesimpulan akhir yang diberinya tajuk Di Balik Pemeo.
Bagian penokohan mengurai siapa saja yang
menjadi tokoh dalam komik. Mulai dari Jampang yang berkumis lebat dan jago berkelahi.
Rabin yang menjadi sidekick atau
partner Si Jampang, Mandor Jun sebagai sosok antagonis, Komar dan Subeni sang
jawara, Inspektur Frans yang bekerja sebagai opas kompeni, hingga Inspektur
Ibnu seorang pribumi yang menjadi mandor. Demikian pula sosok-sosok yang tampil
dalam bahagian kedua. Kesemua karater tokoh ini dkupas mendalam.
Yang menarik, buku ini coba menautkan
karakter dalam komik Ganes TH dengan beberapa karakter dalam komik barat yang
saat itu lagi populer. Ganes tidak menggambar karakter yang murni Betawi, tapi
mengambil unsur-unsur superhero dalam
beberapa sinema barat untuk diadaptasi dalam komiknya.
Karakter asli Si Jampang yang berkumis melintang serta memiliki dada berbulu tetap dipertahankan. Sepintas, sosok Si Jampang mirip Clark Gable, Errol F;yn, Chales Bronson, dan Franco Nero.
Karakter asli Si Jampang yang berkumis melintang serta memiliki dada berbulu tetap dipertahankan. Sepintas, sosok Si Jampang mirip Clark Gable, Errol F;yn, Chales Bronson, dan Franco Nero.
Selain itu, sosok Raisan, salah satu tokoh
dalam komik ini, digambarkan seperti superhero Amerika. Dia digambarkan
berwajah tampan, tidak memiliki kumis, serta sakti. Dalam beberapa gambar,
ditampilkan sosoknya yang seperti sosok Superman.
Bisa disimpulkan kalau beberapa karakter dalam komik ini mendapat pengaruh kuat dari komik luar negeri, ataupun sosok dalam sinema, yang saat itu lagi digandrungi.
Bisa disimpulkan kalau beberapa karakter dalam komik ini mendapat pengaruh kuat dari komik luar negeri, ataupun sosok dalam sinema, yang saat itu lagi digandrungi.
Selain dari konteks yang mempengaruhi karakter
dalam komik, kita juga bisa melihat gagasan tentang maskulinitas. Ganes TH jelas
tak bisa melepaskan diri dari gambaran maskulnitas pada masa itu, yang
merupakan imbas dari budaya patriarkis terhadap perempuan.
Perempuan digambarkan selalu lemah dan hanya menjadi obyek dari keperkasaan para lelaki. Di sisi lain, para lelaki saling menunjukkan keperkasaan demi mendapatkan perempuan. Itu terlihat pada sosok Sari yang terpaksa menerima perjodohan dengan Mandor Jun, Rabiah yang bunuh diri, dan Mpok Itik yang menjadi rebutan para jagoan dalam film.
Perempuan digambarkan selalu lemah dan hanya menjadi obyek dari keperkasaan para lelaki. Di sisi lain, para lelaki saling menunjukkan keperkasaan demi mendapatkan perempuan. Itu terlihat pada sosok Sari yang terpaksa menerima perjodohan dengan Mandor Jun, Rabiah yang bunuh diri, dan Mpok Itik yang menjadi rebutan para jagoan dalam film.
Dari sisi ide maskulinitas, komik ini tak
memberikan satu tafsir baru yang mendekontsruksi gambaran maskulitas. Komik ini
menggemakan ulang wacana yang terlanjur ada di masyarakat, khususnya mengenai
gambaran laki-laki dan perempuan. Bisa dikatakan kalau goresan komik Ganes TH
merepresentasikan situasi zamannya yang patriarkis serta menempatkan perempuan
sebagai obyek kaum lelaki.
Saya melihat studi ini bisa merekam dengan
baik makna beberapa sosok dalam komik dengan lensa budaya. Hanya saja, studi
ini harus dilihat sebagai langkah awal yang butuh dikembangkan lagi dalam skala
lebih luas.
Jika semua representasi dalam komik ini dilihat sebagai diskursus, kita bisa menjelaskan bagaimana proses produksi dan reproduksi setiap simbol, kuasa yang berperan, dan bagaimana reproduksi itu dilembagakan dalam sistem sosial kita.
Dengan menelaah aspek diskursus, kita bisa memahami bahwa setiap teks komik selalu dibentuk dari berbagai kekuatan-kekuatan tak terlihat yang lalu mempengaruhi manusia sebagai subyek.
Jika semua representasi dalam komik ini dilihat sebagai diskursus, kita bisa menjelaskan bagaimana proses produksi dan reproduksi setiap simbol, kuasa yang berperan, dan bagaimana reproduksi itu dilembagakan dalam sistem sosial kita.
Dengan menelaah aspek diskursus, kita bisa memahami bahwa setiap teks komik selalu dibentuk dari berbagai kekuatan-kekuatan tak terlihat yang lalu mempengaruhi manusia sebagai subyek.
Jika ingin dikembangkan lagi, kita bisa
pula membuat satu dialog antara Ganes TH dan karya-karyanya. Di buku ini, kita
belum mendapatkan satu uraian mendalam kaitan antara novel ini dengan identitas
Ganes TH sebagai seorang Tionghoa. Apakah identitas ganes TH membawa dampak
pada karya-karyanya, ataukah malah tidak meninggalkan jejak apapun.
Para pengkaji sosiologi pengetahuan akan
mempertanyakan dengan kritis relasi antara subyek Ganes TH sebagai individu dan
obyek ciptaannya yakni komik Si Jampang. Mereka meyakini bahwa realitas
(realitas) senantiasa dipengaruhi oleh pengalaman (experience) dan imajinasi
(imagination). Pada titik ini, komik Si Jampang jelas dipengaruhi oleh
pengalaman dan imajinasi Ganes TH yang selalu mengalami proses konstruksi
sesuai zamannya.
Namun apapun itu, studi ini telah
menghantarkan kita pada satu kajian mendalam mengenai komik Si Jampang. Studi
ini membuka banyak misteri dan hidden message di balik satu teks komik.
Saya sepakat dengan komentar Dr Iwan Gunawan di sampul belakang buku: “Paul Heru menunjukkan bahwa komik itu mengasyikkan untuk dikaji. Prosesnya menarik. Bicara penokohan komik tidak hanya melihat alur cerita, tapi juga bagaimana membacanya dalam gambar.”
Saya sepakat dengan komentar Dr Iwan Gunawan di sampul belakang buku: “Paul Heru menunjukkan bahwa komik itu mengasyikkan untuk dikaji. Prosesnya menarik. Bicara penokohan komik tidak hanya melihat alur cerita, tapi juga bagaimana membacanya dalam gambar.”
Bogor, 2 Mei 2017