Beranda
/ Ironi Seorang Pejabat Mangkat
Ironi Seorang Pejabat Mangkat
Ceritakan padaku tentang
ironi
SEORANG pejabat tinggi meninggal dunia.
Berbagai ucapan duka mengalir bagai sungai. Pejabat itu disebut telah
menyerahkan hidupnya untuk bangsa. Ia disebut sebagai orang yang mencintai
negeri dan mengabdikan dirinya demi bangsa yang tegak, bangsa yang menjunjung
tinggi cita-cita, serta bangsa yang menggapai asa bersama. Benarkah?
Setiap kali seorang pejabat meninggal
dunia, semua akan memuji setinggi langit. Televisi menayangkan semua ucapan
duka. Di mana-mana ada salat jenazah. Di mana-mana ada bendera setengah tiang.
Saya tak pernah paham, mengapa seluruh negeri harus berduka. Pejabat itu adalah
seorang yang nyaman hidup di atas tumpukan uang serta usaha yang bertebaran
bagai jamur.
Mengapa seluruh negeri seakan dipaksa
untuk berduka? Mengapa ketika seorang aktivis seperti Munir meninggal, negara
tak menyatakannya sebagai duka nasional? Kenapa tak menjadikan kematian semua
anak negeri sebagai duka nasional yang mesti direfleksi bersama?
Hidup ini menyimpan amat banyak paradoks.
Ketika seorang petani di ujung negeri, yang mendedikasikan hidupnya untuk
memastikan pangan banyak orang, tak pernah dibicarakan sebagaimana pejabat itu.
Petani itu tak pernah disebut. Ia dianggap tak penting.
Demikian pula seorang pria pemulung yang
tewas tersengat kabel listrik di kereta Jakarta – Depok. Kematiannya hanya
dibahas dalam dua baris pada rubrik kriminal pada koran yang dijual di lampu
merah. Padahal, sang pria bekerja sebagai seorang pemulung yang tak ingin
melihat kota penuh kekumuhan. Apakah pria itu tak mendedikasikan hidupnya untuk
bangsa?
Sementara pejabat, yang memiliki kekayaan
berlipat-lipat berkat perusahaan di mana-mana itu, menerima pujian setinggi
langit. Rumahnya dipenuhi ratusan karangan bunga. Pejabat itu dianggap sebagai simbol negeri. Para
pesohor atau selebritis mendatangi rumahnya, lalu menyatakan duka dengan mata
sembab, lalu ditayangkan oleh infotainment. Aneh.
Kita mewarisi satu kebudayaan yang suka
mendramatisir sesuatu secara berlebihan. Kita sering melihat manusia
berdasarkan apa yang dikenakannya, atau seberapa banyak uang yang dimiliki,
atau seberapa tinggi jabatannya. Kematian seorang pejabat atau pengusaha kaya
bukanlah hal yang harus ditangisi hingga perlu membanjiri media dengan iklan
duka cita. Anggap saja peristiwa itu sebagai siklus biasa yang terus berubah.
Kita terlanjur beranggapan bahwa cita-cita
tentang negeri seolah menjadi milik mereka yang sedang menjabat itu. Tanpa
dirinya, seolah-olah negeri ini ambruk. Sementara mereka yang kecil, para guru
yang setiap hari mengayuh sepeda untuk mentransfer ilmunya, atau para pemulung
yang berjibaku dengan sampah, tak pernah dicatat sebagai mereka yang
mendedikasikan hidupnya untuk negara.
Kupang, 9 Juni 2013