Belajar Hidup Melalui Samurai X
PEDANG itu adalah sebuah sakabato, pedang tumpul yang bilah
sebelah dalamnya justru tajam. Dalam satu pertempuran, pedang itu tak mungkin
membunuh siapapun. Pemiliknya, Kenshin Himura, seorang samurai yang bersumpah
tak ingin membunuh siapapun. Ia mengundurkan diri dari dunia pertarungan
berpedang setelah menjadi yang terkuat. Atas alasan itu para pendekar berusaha
untuk menemukannya demi menjadi yang terkuat.
Selama beberapa hari ini, saya kembali
memperbarui ingatan saya pada serial animasi Rurouni Kenshin, yang di Indonesia bernama Samurai X. Saya menyaksikan
ulang tayangan asal Jepang ini. Pada setiap episode, saya selalu menemukan satu
kalimat filosofis yang semakin menunjukkan kematangan Kenshin. Mungkin, alasan
inilah yang menjadikannya sebagai samurai tanpa tanding. Ia bisa menggabungkan
antara api keperkasaan dan embun kebijaksanaan dalam setiap nadi pertarungan.
Dari semua kartun yang saya saksikan,
Samurai X adalah salah satu yang terbaik. Sebagai penonton, saya tidak saja
disuguhkan kisah yang dramatis tentang seorang battousai atau pengawal revolusi
pada era Kaisar Meiji yang dikenal sebagai pembantai mereka yang
anti-perubahan, namun juga kisah tentang kesederhanaan serta komitmen untuk
meninggalkan dunia pertarungan lalu menjadi orang biasa.
Bagian ketika Kenshin memilih jadi orang
biasa ini adalah bagian paling menarik. Ia serupa seorang berilmu yang tak
ingin pamer atau mengejar kekayaan. Ketika melebur sebagai orang biasa, ia
seolah bersetuju dengan konsep ‘bunuh diri kelas’ dan menjadikan pengetahuannya
sebagai jalan pembebasan bagi yang lain. Dengan cara ini, Kenshin tak ingin
terjebak pada kemegahan dunia.
Ia memilih menjadi pengasuh dua anak
kecil, serta menjagai sebuah dojo atau tempat latihan beladiri yang dimiliki
seorang perempuan muda Kaoru. Di situ, tinggal pula Yahiko, seorang remaja yang
belajar bela diri, serta Sagara Sanosuke, seorang petarung yang pernah
dikalahkan Kenshin.
Lucunya, dalam keadaan normal, Kenshin
menjadi sasaran olok-olok serta sosok yang selalu dikerjain oleh anak-anak
kecil ataupun oleh Yahiko atau Kaoru. Ia menyediakan dirinya sebagai sasaran
tinju atau ledekan dari banyak orang di skeitar. Ia mendekonstruksi makna
samurai dengan cara menolak penghormatan. Ia ingin hidup sebagai seorag biasa
yang juga menjalani hari sebagaimana warga biasa lainnya.
Akan tetapi, di saat kehormatan orang
terdekatnya terancam, ia akan menjelma sebagai petarung ulung. Ia akan membela
habis-habisan dan meladeni siapapun yang hendak menyakiti orag lain. Dalam
setiap pertempuran itu, ia menolak unuk membunuh. Ia hanya melumpuhkan, demi
menunjukkan bahwa tujuan akhir pertarungan bukanlah menang-kalah, melainkan
tetes-tetes hikmah yang bisa diserap demi memperkaya kehidupan.
![]() |
Kenshin dalam versi film |
Saya sangat menikmati serial kartun ini.
Saya seolah melihat Kenshin sebagai representasi dari mereka yang berilmu
tinggi, namun menolak kemapanan. Biasanya, seorang pandai memilih jadi warga
kelas atas, menggunakan ilmu pengetahuannya untuk memapankan struktur kelas
berkuasa, lalu menjadi intelektual mekanis, yang bekerja demi pundi-pundi
kekayaan.
Sungguh amat langka melihat mereka yang
memilih jadi warga biasa, namun sesekali berbuat luar biasa. Di zaman yang kian
materialis ini, para intelektual tunduk pada cara berpikir orang awam yang
selalu lebih suka melihat apa yang tampak, ketimbang kualitas pada dri orang
lain.
Pantas saja, demi mengejar pundi-pundi
kekayaan itu, para intelektual lalu melacurkan diri dan menjadi jongos
pemerintah berkuasa, atau kuli dari para pebisnis. Para intelektual kehilangan
api atau cara hidup bersama warga biasa sebab terlanjur mengidentifikasikan
dirinya sebagai orang hebat yang harus dipelakukan hebat pula.
Kisah Samurai X memberikan pelajaran yang
amat berharga. Seyogyanya, ilmu pengetahuan harus selalu menjadi cahaya yang
menuntun orang banyak untuk menemukan jalan keluar dari gelapnya kehidupan.
Intelektual harus jadi matahari yang senantiasa mengirimkan cahaya kepada bumi,
dan tak pernah meminta balasan. Seyogyanya, para intelektual harus menjadi
humble, sebagaimana sosok Kenshin Himura yang memilih jadi orang biasa.
Demikian tetes makna yang saya serap dari
serial Samurai X.
Baubau, 18 Juni 2013