Filsafat Primordialisme

PRIMORDIALISME itu seperti sebuah candu. Di satu sisi, sangat mengenakkan karena membuat kita terbang ke awang-awang, tapi pada sisi lain bisa meninabobokkan, bisa membius kita sehingga tak sanggup mengenali mana realitas dan mana yang bukan realitas. Primordialisme kerap hadir dengan penuh aura magis, membuat kita terkesima lalu menyembah, terkagum-kagum, dan sesaat kemudian kita seakan semaput dan kehilangan kesadaran.

Saya tak paham sejak kapan primordialisme lahir. Ilmuwan sosial Karl Marx banyak mengutuk primordialisme sebagai ideologi yang merupakan "sebentuk kesadaran palsu yang dikonstruksi kaum borjuis untuk menipu kaum proletar." Mungkin Marx benar. Jika primordialisme adalah sebuah konstruksi, maka kelas-kelas berkuasa yang melahirkannya, lalu mengatasnamakan orang banyak, kemudian menjelma menjadi sebuah kebudayaan. Primordialisme adalah tangan-tangan kekuasaan yang software-nya dikendalikan oleh kelas berkuasa. 

Pada mulanya adalah sebuah hasrat. Seolah ada kalimat "Saya ingin berkuasa, maka kamu mesti bersedia untuk saya pimpin. Kamu mesti menempatkan posisi di bawah. Sebab saya pemilik otoritas." Sebuah testimoni yang kemudian diikuti oleh pelembagaan hasrat. Maka hasrat eksis dalam kebudayaan. Kita ingin menampik. Tapi kebudayaan dilahirkan sebagai sebuah pengabsah, semacam alat legitimasi yang menyatakan sesuatu sebagai sesuatu ataukah bukan sesuatu.

Yah, awal dan akhir dari primordialisme adalah muara kebudayaan. Kebudayaan dilembagakan oleh hasrat sehingga enyediakan segala preferensi dan pedoman nilai bagi semua manusia. Kebudayaan menjadi ruang peneguhan ambisi, kuasa, dan otoritas untuk mengendalikan sesuatu. Pada titik ini kita akan merefleksi posisi kita sebagai kaula. Kita hanya berada di pinggir dari sebuah proses politik yang tengah berjalan. Saat sang penguasa menghardik, kita langsung ketakutan. Saat hendak melawan, kita takut dengan pamali dan bala yang bakal datang. Tak ada jalan lain selain dari berdiri di pinggiran sembari menyaksikan kehidupan para penguasa dengan tatap iri.

Apakah kita sanggup meneriakkan kata lawan?

Yusran Darmawan
Yusran Darmawan just learn and practice