Tak Harus Demonstrasi, Perlawanan Bisa Dilakukan Melalui SEKS, Hah?

Jika saja mahasiswa itu membaca buku berjudul Small Acts of Resistance, maka mereka akan menyadari bahwa perubahan itu tak selalu dicapai dengan demonstrasi. Tak selalu dengan cara berkelahi dengan polisi. Ada banyak taktik, strategi, dan metode untuk perubahan sosial.

Rezim bisa digetarkan dengan perlawanan-perlawanan kecil. Perlawanan bisa berkobar melalui gosip, bermain bola, berdandan seksi, hingga seks. Hah? Seks? Kok bisa?

*** 

PAGAR itu rubuh. Ribuan mahasiswa bersorak gembira. Di kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tekad untuk melawan telah berkobar. Tak ada rasa gentar, biarpun polisi terlihat memegang pentungan dan gas air mata. Aksi-aksi mahasiswa kian heroik. Tapi setelah itu terkesan melempem. Belum ada konsistensi antara aksi demi aksi aksi untuk perubahan sosial. 

Mahasiswa kita ibarat lempung yang mudah mengikuti agenda elite politik. Mereka rabun membaca mana hal substansi, mana yang cuma aksiden.Selain itu, ada kesan kalau perlawanan hanya dilakukan melalui demonstrasi. 

Padahal, sejarah menunjukkan aksi-aksi perlawanan tak harus dilakukan melalui aksi heroik di jalan-jalan. Perubahan banyak dipicu oleh tindakan-tindakan kecil yang serupa rumput liar bisa merobohkan tembok kekuasaan. 

Mereka yang mengubah sejarah tak selalu para pahlawan, prajurit hebat, ataupun manusia dengan trah separuh dewa yang jatuh dari langit. Pemicunya adalah orang-orang biasa yang melakukan tindakan-tindakan kecil, yang lalu menggugah publik.

Di saat mahasiswa Indonesia sedang berdemonstrasi, seorang anak kecil berusia 15 tahun bernama Greta Thunberg berbicara di hadapan pemimpin dunia dengan kalimat yang menuding: "Kalian telah mencuri impian dan masa kecil saya dengan kata-kata kosong kalian."Dia tak perlu teriak di jalan-jalan sembari menghadapi desingan peluru dan kabut gas air mata. 

Sebab dia tahu cara paling efektif untuk mengetuk kesadaran orang demi memberi tahu ada sesuatu yang keliru. Dia pandai memanfaatkan semua channel komunikasi untuk menyebarkan semua pesan-pesan politiknya.

Ada banyak hal-hal kecil di sekitar kita yang bisa menjadi inspirasi untuk menyatakan sikap pada rezim. Saatnya melakukan hal-hal kecil yang penuh daya ledak dan bisa menggetarkan orang lain.

Di negeri Paman Sam, gerakan emansipasi hak sipil dimulai dari perempuan bernama Rosa Parks yang menolak memberikan kursinya di bus pada tiga orang lelaki kulit putih. Aksi ini lalu berlanjut hingga memicu perlawanan.

Ada pula kisah Muhammad Ali. Di puncak kariernya, ia justru menolak wajib militer. Kalimatnya menghujam, “Mengapa pula saya disuruh memerangi Vietcong, sementara mereka tidak pernah mengatakan saya negro?”

Pernyataan itu membuat Ali disekap, dicabut gelarnya, dilarang mengikuti kejuaraan dunia. Selama tiga tahun, ia kehilangan hak untuk bertinju, justru di tengah-tengah masa keemasannya.

Aktor Richard Harris mengatakan,” Setiap petinju selalu berusaha dan bersedia menjual jiwanya demi gelar sebagai juara tinju. Apa yang Ali lakukan? Dia justru menemukan kembali jiwanya dengan melepaskan gelar juara dunia itu.”

Lihat pula, bagaimana perang saudara di Pantai Gading dihentikan oleh pesepakbola Didier Drogba. Dia meminta agar pertandingan bola dilakukan di tempat netral. Semua orang memilih berdamai demi merespon permintaan Drogba. Hingga akhirnya perdamaian menjadi kekal.

Saya membaca kisah-kisah menggetarkan itu pada buku Small Acts of Resistance: How Courage, Tenacity, and Ingenuity Can Change the World yang ditulis Steve Crawshaw dan John Jackson. 

Saya mengamini kalimat di awal buku: “Seseorang yang berjiwa bebas, dengan segenap ingatan dan juga ketakutannya, adalah sebatang tetumbuhan air yang rantingnya membelokkan arah deras arus sungai.

”Perubahan selalu dimulai dari individu yang gelisah, lalu punya sedikit keberanian untuk menyatakan sikap. Keberanian itu serupa api kecil yang membakar ilalang kesadaran, yang terus membesar lalu menjadi gerakan sosial.

Saya suka kisah tentang perempuan Bosnia. Di tengah peperangan, mereka tetap berdandan modis, dengan lisptick merah merona. Di tahun 1993, warga Bosnia yang benci perang mengadakan kontes kecantikan. Para gadis-gadis cantik itu berpose di atas panggung , yang terdapat spanduk besar bertuliskan “Don’t let them kill us!” Pesan itu bergema ke mana-mana. 

Grup musik U2 lalu membuat lagu berjudul Miss Sarajevo, yang liriknya adalah:

Is there a time for kohl and lipstick

Is there a time for cutting hairIs 

there a time for high street shopping

To find the right dress to wear

Bisa Anda bayangkan, sebuah lomba miss kecantikan yang diselenggarakan di tengah desingan peluru. Para perempuan Bosnia itu hendak menyatakan sikap benci pada perang yang berdampak luas. Revolusi bisa dipicu oleh lipstick merah.

Kisah lain yang juga mengejutkan adalah perempuan di Sudan Selatan. Perempuan bernama Samira Ahmed gelisah dengan perang saudara yang tak kunjung usai. Dua wilayah, yakni utara dan selatan, dibakar dendam berkepanjangan hingga memicu perang selama 20 tahun.

Samira ingin menghentikan perang. Dia muak dengan perang yang tak kunjung usai. Dia lalu mengorganisir perempuan di dua wilayah itu untuk bersatu. Mereka lalu membuat gebrakan melalui penolakan hubungan seks.

Aksi itu memang menggemparkan. Aksi itu adalah ‘penelantaran seksual’ (sexual abandoning) yang lalu membuat para lelaki sejenak berhenti berperang lalu memikirkan hal-hal lain yang lebih penting.

“Perempuan-perempuan itu sama berpikir bahwa dengan menolak hubungan seks dengan suami, mereka bisa menekan lelaki untuk mengusahakan perdamaian. Taktik itu berhasil,” kata Samira.

Di tahun 2009, taktik ini juga dilakukan oleh para perempuan Kenya. Aksi mogok seks itu bisa memaksa presiden dan perdana menteri untuk ikut berunding dengan para perempuan itu.Miss Sarajevo

BUKU ini mengingatkan saya pada buku Weapon of the Weak yang ditulis James Scott. Bahwa perlawanan orang lemah bisa diartikulasikan dengan banyak cara.

Pelajaran bagi mahasiswa dan para aktivis kita adalah terdapat banyak cara dan strategi untuk mendorong perubahan sosial. Anda hanya perlu kreatif dan bisa memaksimalkan semua teknologi jaman now yang memudahkan semua orang untuk berkonsolidasi demi aksi.Kata James Scott, perlawanan bisa disalurkan melalui simbol, gosip, hingga pesan yang lalu ditangkap oleh banyak kalangan. 

Perlawanan itu melalui cara-cara kultural yang pesannya lebih cepat tersebar dan memicu gerakan yang lebih besar.

Beberapa tahun lalu saya bertemu Maria Loretha, atau kerap dipanggil Mama Tata, yang menginspirasi warga untuk menanam sorgum di Pulau Adonara. Dengan cara itu, ia mengajarkan kemandirian pangan, serta sikap tidak tergantung pada pasokan beras, yang didatangkan dari Jawa.

Saya juga pernah bertemu dengan Ismail, anak muda di Berau yang mendirikan bank ikan lalu mengajak para nelayan berpartisipasi, serta tidak tergantung pada lintah darat.

Di sekitar kita ada banyak para champion atau juara yang bekerja dalam diam, menggugah kesadaran, lalu melakukan hal-hal luar biasa. Kita hanya butuh menajamkan semua rasa demi mengenali orang-orang hebat di sekitar kita.

Meskipun mereka tak dicatat sejarah, nama mereka tergurat di hati banyak orang di sekitarnya. Mereka menggerakkan perubahan sosial dengan cara-cara sederhana. 

Seusai membaca buku ini, saya terkenang lirik lagu dari Bob Marley: “Emancipate yourself from mental slavery, None but ourselves can free our minds.Have no fear for atomic energy,'Cause none of them can stop the time.”


0 komentar:

Posting Komentar