Setiap kali berkunjung ke kantor CNN, pria ini akan menyambut dengan senyum lebar. Namanya Bahar. Posisinya adalah manager penjualan. Dia memimpin barisan sales-sales yang rata-rata muda dan cantik.
Seorang kawan di CNN bercerita kalau di musim kampanye pileg dan pilpres, pria ini sukses membawa pemasukan hingga 15 miliar. Jumlah yang fantastis. Petinggi satu partai membayar angka segitu dengan dollar.
Saya baru tahu kalau media-media bisa menjalankan peran sebagai agency. Anda tak peru mengontak semua media. Cukup di satu media, yang nantinya akan membagikan “kue” secara adil ke berbagai media lainnya.
“Saya ini tidak pintar. Saya bukan dari kampus besar. Modal saya cuma satu. Bejo. Beruntung,“ katanya saat saya tanya apa rahasianya. Saya terdiam. Saya pikir penjelasan itu terlampau sederhana. Saya pikir bukan sekadar beruntung.
Saya ingat pertama kenal pria ini setahun lalu. Dia datang bersama beberapa marketing lain. Saat itu, tak ada closing atau transaksi. Tapi dia tetap menjaga pertemanan via WA. Dia rajin menanyakan kabar, serta selalu mengajak ketemuan.
Hingga di satu titik, saya mulai merasa tidak enak karena belum bisa berkolaborasi. Entah kenapa, saya merasa harus memberikan sesuatu atas kegigihan pria ini. Dia punya persistensi untuk terus menyapa. Itu menjadi semacam tekanan buat saya untuk membuka peluang.
Saya teringat Joe Girard, penjual mobil paling sukses di Amerika Serikat. Bayangkan, dalam sebulan ia bisa menjual mobil hingga 180. Bayangkan pula, berapa komisi yang didapatkannya.
Rahasianya apa? Dia selalu berusaha mengenali siapa pun konsumennya. Dia menghafal nama mereka, lalu secara rutin merawat pertemanan. Dia secara rutin mengirimkan kartu ucapan kepada semua yang pernah dikenalnya.
Tak hanya itu, ia juga tak sungkan-sungkan untuk menelepon dan menyampaikan selamat ulang tahun. Ia punya daftar lengkap tentang nama dan tanggal ulang tahun. Dia hafal hal-hal kecil tentang pelanggannya.
Mulai dari jumlah dan nama anak, alamat rumah, hingga nama anjing yang dipelihara pelanggan. Setiap bertemu, ia akan menjadikan semua informasi itu sebagai pintu masuk untuk berdialog. Dia disukai banyak orang.
Pria di depan saya ini mengingatkan pada Joe Girard. Saat bertemu dengannya, dia lebih banyak mendengar. Dia bisa buat orang lain nyaman, lalu perlahan mulai membisikkan jualannya.
“Saat saya ketemu klien, saya lebih banyak mendengar. Saya tidak buru-buru tawarkan produk. Bahkan tiga per empat dari pembicaraan adalah mendengar apa maunya klien. Biarpun tidak jadi closing, saya akan jadi teman yang mendengarkan,” katanya.
Kembali saya teringat pelajaran dari Marketing 5.0. Seorang marketeer sejati membangun relasi-relasi humanis dengan siapa saja. Pemasar hebat akan meniru akhlak Rasulullah yang tidak sekadar berdagang, tapi membangun trust dan kepercayaan.
Bangunlah pertemanan. Kalaupun ada closing atau transaksi, anggap saja sebagai bonus. Toh, semuanya sudah digariskan. Mengutip Jakob Oetama, semua yang terjadi di muka bumi adalah Providentia Dei. Penyelenggaraan Ilahi.
“Gimana Bang? Kapan kita cari yang bening-bening?” tanyanya.
“Maksudnya apa nih? Kaca atau air? jawabku.
“Ah, abang pura-pura tidak tahu. Pinjam dulu seratus.”
0 komentar:
Posting Komentar