Di satu acara kedaerahan, saya jumpa komika Arie Kriting. Kami sekampung, makanya cepat akrab. Saat jumpa, saya tanya berapa biaya untuk mengundangnya tampil di satu acara. Jumlahnya bikin kaget. Wow!
Setahun ini, saya beberapa kali mengelola kegiatan ilmiah yang menghadirkan para komika atau penampil stand -up comedy dan para akademisi. Para komika dihadirkan agar kegiatan tidak terlalu serius. Biar publik betah.
Nah, di situlah saya merasakan perbedaan signifikan dari sisi bayaran. Para akademisi itu belajar selama bertahun-tahun di kampus bergengsi, menulis jurnal, lalu presentasi di banyak konferensi internasional. Gelarnya panjang berderet-deret. Tapi ketika mengundang mereka untuk membentangkan makalah dan ide-ide, bayarannya terbilang kecil. Kadang 3 juta. Paling tinggi 5 juta.
Lain dengan para komika atau komedian. Tak butuh kuliah bertahun-tahun. Banyak di antara mereka malah gak lulus kuliah alias drop-out. Mereka hanya melempar lelucon yang sering kali gagal alias gak lucu.
Cukup berusaha agar orang lain tertawa, termasuk di antaranya mengolok diri sendiri. Pernah, saya mengundang Mamat Alkatiri, komika asal Papua. Bayarannya, minimal 15 juta rupiah untuk tampil selama 15 menit.
Sama persis dengan tarifnya komika Sammy Notaslimboy, komika alumni ITB, ketika saya undang di satu acara diskusi. Dia dipanel dengan pengamat-pengamat terkenal. Ternyata lawakannya gak lucu. Dia terlalu akademik. Tak banyak yang ketawa.
Namun dengan berat hati, honornya yang lebih mahal dari para pengamat itu, tetap harus dibayar. Entah bagaimana menjelaskannya. Ada yang bicara pintar, ada yang bicara bodoh. Harganya bisa beda-beda.
Mungkin inilah kehidupan. Soal harga selalu terletak pada kemampuan menilai atau mem-valuasi satu keahlian. Barusan, kawan-kawan panitia seminar di Makassar menelepon saya untuk mengundang Raim Laode, komika dan vokalis asal Wakatobi, yang populer berkat lagu Komang.
Kebetulan, Raim alumnus program sejarah di Kendari. Panitianya menduga bayarannya murah karena cuma lulus S1. Saya pun menghubungi Raim, lalu mengontak panitianya. “Hah?
Lebih mahal dari honor mendatangkan guru besar” kata panitianya. Saya senyum-senyum mendengar keheranan itu. Dia tidak tahu kalau honor mendatangkan pelatih kucing bisa lebih mahal dari itu.
0 komentar:
Posting Komentar