Buku yang Saya Sukai di Tahun 2022


Anna di depan buku-buku di rumah saya


Tahun 2022 menjadi tahun yang sibuk. Work from Home (WFH) mulai berkurang. Pandemi mulai reda. Aktivitas perkantoran mulai sibuk. Di tahun ini, saya sibuk berkantor. Ada beberapa target yang harus dikejar. 

Namun, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, aktivitas saya hanya berkisar di tiga hal: membaca, menonton film, dan menulis. Entah kenapa, saya susah melepaskan diri dari tiga aktivitas ini. Di luar itu, lebih banyak kumpul-kumpul bareng kawan-kawan. 

Rupanya, pilihan buku bacaan selalu ditentukan kebutuhan dan aktivitas. Saat masih aktif di kampus, saya suka buku-buku riset dan akademik. Begitu keluar dari kampus dan bekerja di satu korporasi, bacaan saya pun berubah. Kini lebih suka hal-hal praktis dan ringan-ringan.

Selama tahun 2022, saya tetap rutin membeli dan membaca buku. Namun, saya juga banyak membeli buku digital, yang dibaca melalui aplikasi berbayar di android. Saya menulis secara acak, beberapa buku yang saya sukai.


Psychology of Money (Morgan Housel)

Terjemahan buku ini terbit sejak 2021, tapi saya baru membacanya di tahun 2022. Isinya cukup mengejutkan saya yang sangat awam dengan hal-hal finansial. Buku ini memberikan terang bagaimana memahami uang dan prilaku manusia.


Suka atau tidak suka, kebanyakan manusia modern menjalani hidup semata-mata untuk mengejar uang, demi status sosial serta angan-angan hidup yang lebih baik. Demi uang, kita rela melakukan apapun.

Namun, buku ini tidak berisi kiat, motivasi, dan strategi mendapatkan uang secepat-cepatnya. Isinya lebih ke arah pemahaman psikologi mengenai uang. Kita diajak mengenali siapa-siapa orang terkaya di dunia, serta mengapa mereka bisa kaya.

Buku ini ringan dan cocok dibaca untuk para beginner, seperti saya, yang baru belajar bagaimana mengelola uang. Pelajaran penting yang saya petik di buku ini adalah kekayaan adalah buah dari kemampuan untuk mengelola keuangan dengan baik, sembari tetap memelihara rasa lapar untuk mencari uang.


Cendekiawan dan Transformasi Sosial (Sonny Karsono)

Di jajaran buku riset sosial dan humaniora, buku Cendekiawan dan Transformasi, terbitan LP3ES ini adalah favorit saya. Buku ini adalah disertasi Sonny Karsono yang berisikan kiprah cendekiawan kritis di era Orde Baru. Saya mengenal baik Sonny Karsono, selama studi di Amerika Serikat.

Buku ini menyajikan lintasan ide-ide di masa Orde Baru yang dipantik oleh tiga sosok aktivis muda. Mereka berasal dari latar kelas menengah, yang pernah menyumbangkan Oder Lama, kemudian mengisi perjalanan Orde Baru dengan pendekatan modernisasi dan pembangunanisme.


Di zaman ketika Indonesia tengah mabuk dengan wacana pembangunan, ketiga sosok ini sudah berbicara tema-tema seperti partisipasi, bottom-up approach, hingga perspektif kritis serta Marxisme. Melalui publikasi berupa buku dan jurnal Prisma, mereka membawa perspektif baru agar rakyat Indonesia tetap kritis dalam melihat proyek pembangunan dari pemerintah.

Buku ini bisa menjadi “lubang kunci” untuk meneropong apa yang terjadi di masa itu. Kata Geertz, “a vehicle of meaning” untuk melihat kenyataan yang lebih luas, bisa menjadi jendela untuk melihat realitas sosial, menyaksikan bagaimana benih-benih ide aktivisme tumbuh dari lahan gembur kelas menengah, yang jenuh melihat kampanye ideologi di masa Orde Lama.


Hidup Bersama Raksasa (Tania Li & Pujo Semedi)

Sejak beberapa tahun lalu, saya menjadi fans berat Tania Murray Li. Saya mengoleksi banyak bukunya. Mulai Will to Improve, Land’s End, hingga buku terbarunya berjudul Hidup Bersama Raksasa, yang merupakan terjemahan dari Plantation Life.

Tania Li selalu menulis etnografi tentang mereka yang terabaikan dalam proyek besar bernama pembangunan. Dia memihak masyarakat adat dan komunitas yang terpinggirkan. Semua bukunya adalah hasil riset lapangan, perjumpaan dengan mereka di kampung-kampung, lalu menuliskan kisah-kisah yang menarik dan menyayat hati.


Berkat Tania Li, saya belajar memahami banyak kepingan realitas tentang apa yang terjadi di tanah air kita, Indonesia. Selama ini kita merasa baik-baik saja, tanpa tahu apa yang dialami anak bangsa di banyak lokasi.

Dulu, ketika melihat produktivitas dan ketekunan Tania Li sering kali bikin iri. Saya jarang membaca akademisi Indonesia yang seproduktif dan setekun Tania Li. Kebanyakan akademisi kita hanya menjadi pengulas buku Tania Li, tanpa ada ikhtiar untuk menulis riset lapangan sebagaimana Tania Li Sekian tahun merdeka, kita belum bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Di ranah akademik, kita selalu menjadi konsumen, bahkan terhadap isu mengenai tanah air kita sendiri.

Satu hal yang menggembirakan, di buku ini, Tania Li bermitra dengan dosen UGM yakni Pujo Semedi. Semoga semakin banyak anak bangsa yang ikut meramaikan wacana akademik mengenai Indonesia di panggung antar bangsa.


Think Again (Adam Grant)

Buku ini datang pada saat yang tepat. Saat membacanya, saya sedang galau karena beberapa kali debat kusir di kantor. Saya merasa banyak ide-ide saya yang tidak dipahami sehingga memicu perdebatan. 

Sejak bekerja di tempat baru, saya harus belajar bernegosiasi dan meyakinkan orang lain. Sering kali, saya emosi lalu mempengaruhi kemampuan dalam menyampaikan argumen. Saat emosi, separuh pengetahuan hilang. Saya pun kalah negosiasi.

Padahal kata Adam Grant, seorang profesor bidang psikologi organisasi di Amerika Serikat, jangan pernah menganggap debat sebagai perang di mana ada kalah dan menang.


Debat yang baik bukanlah perang. Bukan seperti pemainan tarik tambang di mana kita bisa menyeret lawan ke sisi kita. Debat adalah tarian tanpa koreografi. Kita saling menari dengan musuh lalu saling memahami langkah masing-masing.

Buku menekankan pada pentingnya sikap ilmiah untuk selalu skeptis dan membuka pikiran pada banyak pendapat berbeda. Banyak pebisnis yang gagal karena terlalu kaku dan melihat dengan kacamata kuda. Dengan membuka perspektif dan peka pada ide-ide baru, seseorang bisa menangkap nuansa perubahan dan menerapkannya untuk dirinya dan organisasi.


Give and Take (Adam Grant)

Ini buku kedua dari Adam Grant yang saya baca. Isinya sama menariknya dengan Think Again. Dia menjelaskan rahasia kesuksesan banyak orang hebat adalah dengan sering memberi atau menjadi giver. 

Namun, Giver yang dimaksud bukan mereka yang setiap saat memberi. Melainkan mereka yang selalu tahu kapan harus memberi. Mereka yang berorientasi ke depan, lalu menjadikan pemberian sebagai strategi untuk merekatkan jaringan-jaringan sosial.


Buku ini mengingatkan saya pada The Gift yang ditulis Marcell Maus. Sejak dulu, berbagai suku bangsa saling memberi sesuatu demi memperkuat jaringan sosial. Bedanya, Adam Grant melihat fenomena di ranah bisnis, di mana pebisnis paling handal adalah mereka yang suka membantu orang lain, sehingga pada satu titik, semua jaringan itu bisa bekerja untuknya.

Di era kekinian, semua pekerjaan selalu berbasis pada jaringan. Makanya, istilah "Your Network is Your Net Worth" sangat tepat. Melalui silaturahmi dan pemberian, seorang Giver akan terus memperluas jaringan sosialnya, sehingga hubungan-hubungan itu membuahkan hasil kepadanya.


Manusia dalam Kemelut Sejarah (Taufik Abdullah dkk)

Ini salah satu buku terbaik mengenai tokoh-tokoh sejarah Indonesia. Pertama diterbitkan tahun 1978, buku ini terus direproduksi karena kualitas serta bacaan yang mendalam. Mulanya, buku ini adalah artikel yang ditulis di Jurnal Prisma. 


Para penulisnya adalah intelektual paling cemerlang di masa itu, namun hingga kini, sulit menemukan cendekiawan dengan jelajah intelektual sedalam mereka. Nama-nama penulis artikel di buku ini sudah menjadi legenda di kalangan intelektual masa kini.

Betapa menariknya mengikuti kemelut manusia yang ditulis Taufik Abdullah, kisah Sukarno yang ditulis sejarawan Onghokham, Jenderal Soderman yang ditulis Nugroho Notosusanto, Sjahrir dalam tinjauan YB Mangunwijaya, Tan Malaka yang ditulis Alfian, hingga Kahar Muzakkar yang dibahas Mattulada.

Saya senang bisa kembali membaca dan menyelami samudera tokoh-tokoh nasional yang ditulis apik oleh para cendekiawan hebat yang telah banyak membuat goresan penting tentang bangsa ini.


Ekspedisi Rempah, Ekspedisi Teh, Ekspedisi Kopi (Kompas)

Saya selalu suka buku-buku mengenai perjalanan, apalagi jika ada misi atau sesuatu yang hendak dtemukan dalam perjalanan itu.  Buku-buku ini mengingatkan saya pada catatan George Marcus mengenai milti-site ethnography dalam buku Writing Ethnographic through Thick and Thin. 

Menurut George Marcus, seorang peneliti tidak selalu mengikuti subyek, namun bisa pula “follow the object” untuk memahami dinamika. Dalam buku-buku ini, pihak jurnalis Kompas menjadikan rempah, the, kopi sebagai titik nol untuk ditelusuri. 


Buku ini menyajikan perjalanan ke sentra-sentra komoditas, berinteraksi dengan para petani, pedagang kecil, hingga melihat perubahan sosial di berbagai desa-desa.

Hasilnya adalah deskripsi dan foto-foto menarik tentang kondisi terkini di arena yang menghasilkan komoditas ini. Kita menyaksikan potret, yang tak selalu cerah, tetapi juga buram mengenai komoditas yang dahulu membawa harum nama Nusantara, kini hanya bisa mengenang masa-masa kejayaan karena perubahan pola ekonomi.


Gadis Kretek (Ratih  Kumala)

Dulu, saya sering lihat novel ini di etalase toko buku. Saat itu tak ada niat membacanya. Padahal novel ini sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.  Namun setelah membaca berita kalau novel ini akan difilmkan Netflix, dan akan diperankan Dian Sastro, saya penasaran.  Mulailah saya membacanya hingga tuntas.


Kisahnya sangat menarik tentang cinta di sela-sela bisnis kretek di masa pra-Indonesia merdeka hingga masa-masa 1960-an. Ada banyak peristiwa sejarah yang mempengaruhi alur kisah cinta itu. Alurnya maju mundur. Ada seorang lelaki tua yang sekarat, lalu menyebut nama seorang perempuan. Anak-anaknya lalu bergerak mencari perempuan yang disebut lelaki itu. 

Sepanjang pencarian, terungkap kisah cinta dan bisnis kretek di satu rentang sejarah. Kisah cinta itu tidak happy ending, sebab situasi tidak memberi dukungan bagi cinta mereka. Di akhir cerita, anak-anaknya mau memperbaiki keadaan dan berdamai.


Politik Dinasti Keluarga Elite Jawa Abad XV-XX (Heather Sutherland)

Mulanya saya tertarik membaca buku ini karena ada sosok seperti Jokowi. Saya pikir isinya mengenai bagaimana Jokowi melanggengkan kekuasaan. Ternyata isi buku merentang jauh ke genealogi atau asal-muasal munculnya dinasti politik di Indonesia.

Dalam buku yang versi aslinya berjudul Notes on Java’s Regent Families, Heather Sutherland memaparkan bagaimana para elite Jawa mempertahankan kuasa dengan cara membangun dinasti.


Heather mengurai berbagai upaya kolonial melanggengkan kekuasaan para elite Jawa. Politik dinasti terjadi saat kekuasaan dikuasai satu keluarga besar secara turun-temurun. Sutherland menunjukkan bagaimana elite politik masa lalu menjaga lambang-lambang kebangsawanan dengan gelar-gelar. Gelar kebangsawanan akan didapatkan juga oleh keturunan yang menggantikannya.

Seorang elite akan memakai nama dan gelar yang kemudian diturunkan ke anaknya. Gelar ini bisa berganti apabila dinasti politik tersebut terputus. Selain itu, seorang elite akan menampilkan pakaian, gaya hidup, tempat tinggal, serta posisi yang memberinya akses untuk tetap menjaga warisan supremasi sebagai penguasa.

Buku ini terasa aktual karena juga terjadi pada masa sekarang. Kesimpulannya, apa yang terjadi di masa sekarang adalah warisan berpikir yang sudah ada sejak masa lalu. Sejarah selalu berulang.


Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital (Agus Sudibyo)

Ini buku menarik yang saya baca di penghujung tahun. Buku ini bercerita mengenai strategi media dalam menghadapi disrupsi atau perubahan. Di era cetak, media bisa mengontrol bisnis, mengetahui jumlah pelanggan, dan membuat target iklan yang tepat. 


Kini, di era media online, media sangat tergantung pada teknologi. Lebih dari 70 persen iklan dikuasai oleh Google dan Facebook. Media online hanya memperebutkan remah-remah yang tak seberapa. Mereka tunduk pada algoritma serta hanya bisa berada dalam garis yang ditetapkan pemilik platform teknologi.

Media berusaha untuk bertahan. Media membangun jejaring dan ekosistem yang saling mendukung. Kian sempitnya ceruk bisnis media, sebab dikuasai pemilik platform teknologi, membuat semua media berusaha untuk bertahan. Mereka coba maksimalkan jaringan dengan pemerintah daerah, juga 

Buku ini melengkapi tiga buku sebelumnya yang ditulis Agus Sudibyo yakni Jagad Digital, Tarung Digital, dan Dialektika Digital. Bedanya, buku ini fokus membahas menenai industri media nasional yang digempur sistematis oleh pemilik platform digital.

Bacaan menarik di akhir tahun.


Yang Tidak Dikatakan soal Pekerja Media (Citra Maudy Mahanani)

Buku ini menyajikan sesuatu yang muram. Kita setiap hari membaca produk media, namun lupa untuk mengetahui bagaimana kondisi para jurnalis. Buku tipis ini menyajikan riset menarik tentang para pekerja media yang berusaha untuk tetap bertahan dalam sistem yang tidak adil.


Para jurnalis menghadapi eksploitasi dalam bekerja. Mereka berada pada sistem bisnis yang semakin liberal serta undang-undang buruh yang dianggap kurang berpihak. Buku ini mencoba menelusurinya dengan cara mewawancarai sejumlah jurnalis untuk mengetahui sejauh mana serikat pekerja media berdampak bagi mereka.

Buku ini memotret voice of voiceless, suara dari mereka yang tak bersuara. Buku ini menyajikan telaah ekonomi politik yang kritis mengenai kapitalisme, gig economy, hingga sharing economy yang hanya ramah di sisi bisnis dan teknologi, namun sangat eksploitatif di kalangan pekerja. 

Buku ini cocok dibaca pemerintah yang setiap saat bicara ekonomi 4.0, sembari menatap nasib pekerja yang kian takluk dalam mekanisme kerja berbasis algoritma, yang platform kerjanya ditentukan perusahaan teknologi.

*** 

Ini hanya beberapa judul buku yang terlintas. Seain buku di atas, saya juga membaca ulang beberapa buku bagus. Tidak semuanya bisa saya tampilkan di sini. Ada yang sedang dalam proses membaca. Di antaranya adalah buku Think Like a Freak yang ditulis Steven Levitt dan Stephen J Downer.

Saya juga sedang membaca buku Geography of Dream yang ditulis penulis asal Korea, Eje Kim dan Ashley. Bukunya lebih ringan dari buku yang dibuat Eric Weiner. Membaca buku ini bikin semangat untuk traveling kembali berkobar.

Semoga tahun 2023 akan semakin banyak buku bagus dan bermutu. Jika saya ditanya seperti apa surga, maka saya akan menjawab surga adalah rumah yang dipenuhi buku-buku.


BACA JUGA:

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2021

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2020

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2019

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2018

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2017

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2016

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2015



1 komentar:

Prayogo mengatakan...

Membaca artikel ini membuat saya ingin juga membaca dan mengkoleksi buku-bukunya. Artikel yang sangat menginsipirasi.

Posting Komentar