Sekolah MAHAL



Lebih dua pekan, wajah pria itu terlihat sedang muram. Dia memendam masalah. Saya bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan. Saya pikir, orang kaya-raya sebagaimana dirinya dia sudah tidak punya masalah.

Saat dia mengajak buka puasa, barulah terungkap banyak cerita. Rupanya, anaknya sedang ditahan polisi karena kasus narkoba. Satu lagi anaknya punya riwayat nyaris bunuh diri karena depresi. “Saya kurang apa? Saya sudah sekolahkan mereka di tempat paling mahal,” katanya.

Saya lebih banyak diam. Banyak orang melimpahi anaknya dengan fasilitas paling mahal di kota-kota besar. Anak itu bukannya mandiri, tapi hanya menjadi beban orang tuanya.

Saya ingat artikel The New York Times mengenai fenomena Strawberry Generation. Istilah ini menggambarkan generasi Taiwan yang lahir tahun 1980-an pada masa pasca-perang, memiliki orang tua mapan dan kaya, serta kehidupan yang serba menyenangkan.

Generasi ini amat dimanjakan orang tuanya yang dahulu miskin. Orang tua tak ingin masa kelam mereka yang berada dalam ekonomi sulit karena peperangan menimpa anak mereka. Orang tua ini lalu melimpahi anaknya dengan semua fasilitas.

Generasi ini digambarkan serupa buah strawberry, yang mudah koyak hanya karena sedikit benturan. Generasi ini digambarkan tampak mewah, ranum, indah, akan tetapi tidak siap menghadapi benturan.

Orang tuanya memberinya semua fasilitas dan kemewahan namun lupa menanamkan sikap kemandirian, daya tahan, serta karakter beradaptasi di segala sesuatu. Ternyata, semua fasilitas bisa menjadi sesuatu yang negatif.

Anak-anak jadi serba manja dan kehilangan daya juang serta semangat bertarung menghadapi situasi yang serba sulit. Saat dihadapkan dengan tantangan, seorang anak gampang menyerah dan rapuh, sebagaimana strawberry.

Rupanya, segala tantangan dan ketidaknyamanan adalah bagian dari lahan gembur yang menyuburkan karakter seorang anak untuk menjadi petarung. Seorang anak harus berhadapan dengan tantangan.

Tanpa tantangan, anak akan kehilangan daya survival, sesuatu yang dahulu dimiliki orang tuanya dan bisa membawanya pada kesuksesan. Sering kita tidak menyadari bahwa pemberian semua fasilitas tidak selalu bagus buat anak.

Pria di hadapan saya berpikir, ketika menyekolahkan anaknya di tempat paling mewah, maka dianggapnya satu prestasi. Padahal sekolah mahal tak selalu bisa jadi jaminan kesuksesan seorang anak.

Sekolah mahal menyediakan banyak hal, tapi tak bisa mengajarkan daya tahan menghadapi kesulitan serta bagaimana menumbuhkan tekad kuat untuk menggapai mimpi. Orang tua harus tetap mendampingi seorang anak, memberinya tantangan, lalu mengapresiasi semua upaya-upaya kecilnya.

Pria ini tak sendirian. Ada banyak orang sibuk mengejar kemakmuran, lalu berpikir bahwa dengan menyekolahkan di tempat mahal, maka misi dianggap selesai. Padahal, semua tantangan adalah bagian dari proses pendewasaan untuk menjadi pribadi yang tangguh dan kuat.

Mendaki puncak memang melelahkan, tetapi kebahagiaan saat berada di puncak serupa air yang membasuh semua lelah. Mereka yang setiap saat menghadapi tantangan, kelak akan jadi pribadi tangguh dengan mental yang kokoh.

Saya ingat catatan Iqbal Djawad tentang acara televisi yang paling laris di Jepang yakni Hajimete no Otsukai. Di acara itu, anak-anak seusia TK diberikan misi tertentu sambil diikuti oleh kru televisi yang menyamar. Misalnya disuruh mengantarkan makanan untuk ayahnya di rumah sakit. Anak itu akan merasa berat, bahkan menangis.

Tapi anak itu mengambil tantangan, kemudian berjalan kaki atau kadang naik bus menuju rumah sakit. Saat anak itu tersesat, dia akan coba bertanya ke orang lain, yang kemudian menunjukkan jalan. Saat dia berhasil menjalankan misinya, orang tuanya akan memeluknya dan memberi ucapan terima kasih. Dia akan mendapatkan hadiah.

Saya mengenang masa-masa kecil dahulu di kampung. Orang tua saya hanya sanggup menyekolahkan di sekolah negeri di kampung. Tak ada les-les khusus, tak ada banyak fasilitas. Tapi kasih sayang dan perhatian mereka ibarat mercu suar yang menerangi segenap langkah saya ke mana pun.

Rasa cinta mereka ibarat setetes embun yang terus menyirami jiwa yang kerontang. Ada masa di mana saya mengalami kenakalan-kenakalan dan menyimpang arah, namun tetes-tetes embun cinta itu akan selalu menjadi tempat kembali untuk menemukan kesejukan.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

kren bang 🙏

Posting Komentar