Yang Tua Berdamai, Yang Muda Saling Tebas

 


Dua organisasi kedaerahan di Makassar saling bertempur. Mereka serupa dua klan dalam Game of Throne yang punya dendam dan ingin saling menghabisi. Mereka saling serbu, lalu ada bagian tubuh yang ditebas.

Mereka serupa pasukan pembela kebenaran yang menyerbu satu asrama mahasiswa, yang kemudian dibalas dengan penyerangan serupa.

Banyak pihak mulai bersuara. Generasi tua yang tidak mengenal anak muda itu langsung bertemu dan menyatakan damai. Aneh. Lain yang berkelahi, lain pula yang mengikat salam perdamaian. Kenapa bukan anak muda itu?

“Anak-anak itu tak pantas mengklaim sebagai representasi etnik. Mereka hanya kumpulan orang,” kata seorang kawan di media sosial.

BACA: Lelaki Bugis yang Menikah dengan Badik


Di era ini, anak muda hanya peduli pada kelompoknya. Saat seorang temannya ditebas, solidaritas bersama hadir. Di sisi lain, kita semua malas mencari di mana akar masalahnya. 

Setiap kali ada kekerasan, kita tak paham asal-muasal dan akar masalah. Kita memilih jalan pintas. Yang tak bertikai malah berdamai. Sementara anak muda tetap memelihara dendam yang berkarat-karat. Ibarat api dalam sekam.

Di masa mendatang, api dalam sekam itu suatu saat bisa membesar, kemudian peristiwa serupa terulang kembali, tanpa ada ikhtiar serius untuk menyelesaikannya.

Peristiwa kekerasan bukanlah hal baru. Di sekujur peradaban sejarah tanah Celebes, tradisi kependekaran telah lama berurat akar. Di masa lalu, tradisi kependekaran punya kanalisasi. Sering ada chaos yang bersimbah darah, tapi sering pula menemukan solusi damai.

Sering, nenek moyang memilih bermigrasi ke lokasi lain, ketimbang menyabung nyawa dan memburai usus dengan badik. Mereka memilih berkelana ke tanah Borneo, menelusuri jalur laut menuju Singapura, dan Malaysia. Mereka menjadi raja-raja dan penguasa di tanah baru.

Di kampus-kampus Makassar, kekerasan pernah menjadi nyanyian yang mengiringi dinamika mahasiswa. Tawuran pernah menjadi bab penting dalam berbagai literatur dinamika mahasiswa hingga tahun 2000-an.

Di kampus Unhas, pernah ada masa di mana tawuran serupa mata kuliah. Polanya, mahasiswa saling lempar, setelah itu tertawa-tawa saat bertemu di pete-pete kampus, atau asrama mahasiswa. Tawuran menjadi kanalisasi untuk melepas penat dan resah.

Namun, peristiwa terbaru ini tak bisa dibilang sama dengan dulu. Peristiwa kekerasan itu terjadi saat mahasiswa negeri lain tenggelam dalam Metaverse dan sibuk meriset tentang kecerdasan buatan. Banyak pula yang tenggelam dalam postingan tik tok, lalu bikin konten joged-joged.

Jika kalangan terdidik sudah bertindak serupa preman pasar, maka itu adalah alarm dari sesuatu yang tidak beres di sekitar kita.

Hal paling terang di situ adalah adanya ketidakpercayaan pada otoritas. Di negara-negara modern, tindakan melanggar hukum selalu menjadi domain aparat. Saat rumah diserbu, maka aparat hukum akan bersiaga dan mengantisipasi apapun yang terjadi.

Anak-anak muda itu tidak percaya aparat. Mereka memilih untuk menyerbu dengan badik terhunus, serta parang untuk menebas. Mereka memilih tradisi heroik, tanpa memikirkan apa dampak tindakan itu bagi mereka, termasuk bagi pihak yang ditebas.

Anak muda itu juga dibesarkan dengan kisah keberanian. Ada rasa kagum saat kisah tentang para pendekar dan jagoan dikisahkan. Kita tak merasakan kebanggaan yang sama saat tradisi cendekia dan intelektualitas dibentangkan.

Kekerasan terus menjadi ritus yang berulang. Hari ini, dua kubu bisa dibilang impas sebab sama-sama anggotanya ditebas. Besok-besok, duel serupa akan kembali terjadi. Arenanya bisa kembali bersimbah darah.

Namun tak adil jika hanya menyalahkan anak-anak muda itu. Mereka mengikuti emosi kolektif dari sejumlah orang yang menyebut-nyebut nilai kepahlawanan.

BACA: Syair Lelaki Bugis di Pulau Penyengat


Di era 4.0, saat mahasiswa kian bergabung dalam percakapan global, organisasi kedaerahan di Makassar malah tumbuh subur.

Saya menduga kuat ada pengaruh dari sistem politik di situ. Sebelum era desentralisasi, organisasi berbasis daerah nyaris sekarat. Mahasiswa lebih suka ke senat di kampus, ang jelas-jelas punya anggaran. Banyak pula yang masuk organisasi ekstra kampus. 

Banyak organisasi daerah yang nyaris bubar. Saat sistem politik mengalami desentralisasi, semua organisasi daerah hidup lagi dan mendapat darah segar.

Politik lokal melahirkan para penguasa baru, pemain baru, dan juga para petualang politik yang menjadikan adik-adik itu sebagai basis massa. Asrama mahasiswa daerah terus berdiri. Banyak orang rela menjadi kakak yang siap membiayai adik-adik itu demi menjaga basis massa.

Di titik ini, ada aksi ada reaksi. Ada perintah, ada kompensasi. Ada arahan, ada juga bayaran. Ada yang berdamai, ada yang tetap memelihara dendam.

Bagaimana saat ada yang berkelahi? “Ah, itu kesalahan oknum. Bukan kesalahan kelompok,” kata seorang “kakak” dengan santainya di satu kafe.

Jauh di Makassar sana, kita melihat ada getir dan juga pilu pada keluarga yang anaknya ditebas.



12 komentar:

Angngukiri mengatakan...

Oknum tapi banyak

Unknown mengatakan...

Tulisan yang keren

Anonim mengatakan...

kukuntul

kavya mengatakan...

Keren kak

N.N mengatakan...

Konflik yang tak berujung...

yoyoksu mengatakan...

keren tulisannya... penuh makna yg harus diselesaikan semua pihak.

noo. liff mengatakan...

Mantap tulisannya

Karim Lahiri mengatakan...

menarik ....

Unknown mengatakan...

Keren tulisannya

Coachalbarr mengatakan...

Sedih sy membacanya, berharap ada solusi tuntas akar dari masalahnya. Saatnya anak muda menatap masa depan, merancang masa depan yy lebih produktif

rush mengatakan...

Itulah kelebihan bangsa kita.. suka bersatu padu dan bergotong royong untuk melakukan hal-hal yang tidak benar.. tapi kalau diajak gotong royong bersih-bersih lingkungan, hanya sedikit yang mau datang

Yanfaunnas.ID mengatakan...

Keren

Posting Komentar