Tunas Budaya yang Mekar dan Tumbuh di JALUR REMPAH

tarian Katreji di Maluku Utara yang mendapat pengaruh Eropa

Perempuan muda itu mulai bersiap-siap. Dia mengenakan pakaian tradisional. Dia bergabung dalam barisan muda-muda yang akan menari. Para penari perempuan memakai atasan hijau dan rok merah panjang. 

Busananya semakin apik dengan headpiece berwarna krem layaknya perempuan-perempuan Eropa. Mereka seolah perempuan dari negeri kompeni yang datang berkunjung ke negeri tropis. 

Sementara penari pria memakai setelah warna sama, dengan rompi dan dasi kupu-kupu. Mereka tampak sangat serasi. Mereka akan menampilkan Tari Katreji yang biasanya dipentaskan saat pesta adat dan pernikahan. Mereka berasal dari Halmahera. 

Di ajang Festival Kora-Kora yang digelar di Ternate pada tahun 2017, tarian Katreji dibawakan secara berpasangan oleh para penari yang mengenakan pakaian tradisional. 

Tarian ini adalah jejak dari kehadiran bangsa Portugis pada abad ke-16. Berkat jalur rempah-rempah, bangsa Portugis menempuh perjalanan ribuan kilometer dengan kapal-kapal besar untuk berdagang, kemudian kembali ke Eropa.

Tak hanya Portugis yang merambah Nusantara. Spanyol pun datang dan meninggalkan jejak berupa tarian. Di antaranya yang populer adalah tari lalayo. Tarian ini adalah tarian muda-mudi yang bertemakan cinta dua insan. Tarian ini berisi pesan-pesan romantis. Tarian ini biasa dibawakan secara berpasang-pasangan dan memiliki gerakan -gerakan yang indah di sepanjang babak tariannya. 

Lagu yang berirama Melayu juga menjadi elemen penting di dalam membentuk atmosfer romantis yang mendukung tersampaikannya pesan. Para penari mulai merambah ke tengah pelataran. Mata mereka semua saling berpandangan. Antara pria dan wanita seolah sedang dalam perasaan kasmaran. 

Sang pria mulai melakukan gerakan menggoda. Sang wanita memunculkan sebuah senyum simpul di mulutnya tanda menerima godaan sang pria. Keduanya kemudian berputar-putar dan tubuh mereka seolah sedang berdialog satu dengan lainnya. 

Di masa lalu, orang Portugis dan Spanyol tak sekadar berdagang. Mereka juga meninggalkan jejak di ranah budaya, musik, hingga bahasa. Di sepanjang pesisir jalur rempah-rempah, budaya Portugis mengalami akulturasi dengan budaya lokal, mengalami dialog dan saling memperkaya, kemudian menjadi tradisi yang diwariskan turun temurun.

Tak jauh dari Maluku Utara, tepatnya di Kota Ambon, Maluku, orang-orang menggandrungi tari Lenso. Tari lenso ditarikan sejumlah gadis-gadis yang memegang sapu tangan. Tarian ini sering dipentaskan dalam berbagai festival dan keramaian.

Tarian ini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu, berawal dari masuknya bangsa Portugis di Maluku pada tahun 1612. Istilah “lenso” sendiri berasal dari bahasa Portugis yang berarti sapu tangan sebagai properti utamanya. 

Sapu tangan yang digunakan umumnya berwarna putih atau merah. Penarinya mengenakan pakaian adat tradisional Maluku yakni baju cele, kebaya putih lengan panjang, dan kain salele. Selain itu, rambut penari disanggul dengan hiasan bunga ron putih. 

Tari Lenso yang populer di Maluku

Tarian Lenso berkembang pesat, justru ketika penjajahan Portugis telah usai seiring datangnya bangsa Belanda. Di era Belanda tari ini sering disajikan saat perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina. Penduduk Desa Kilang yang ditugaskan membawakan tari ini untuk memeriahkan pesta rakyat.

Lenso menyimpan jejak sejarah Maluku adalah salah satu rumah sejarah tertua di Indonesia. Selama 2.300 tahun, daerah ini telah dikuasai bangsa asing. Percampuran budaya pun tak bisa dihindari, bahkan Maluku menjadi rumah bagi kaum Mestizo yang terbesar di Indonesia. 

Percampuran darah orang Maluku dengan bangsa lain, khususnya Eropa (Belanda dan Portugis) turut memungkinkan adanya akulturasi. Percampuran budaya tersebut lambat laun diterima sebagai bagian kebudayaan rakyatnya. 

Tari Lenso merupakan tari tradisional Maluku bertemakan pergaulan. Tarian rakyat ini difungsikan sebagai perekat persaudaraan kekerabatan dalam kehidupan sosial masyarakat Maluku. Gerakannya sederhana dan mudah agar bisa ditarikan oleh siapa saja dari kalangan apa saja.

Semua tarian di atas menunjukkan adanya pertautan atau perjumpaan budaya. Mulanya, bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis dan Spanyol datang untuk berdagang rempah-rempah. Mereka lalu meluaskan misi untuk menyebarkan agama, setelah itu perlahan menguasai wilayah. 

Selanjutnya, mereka tak cuma datang berdagang. Mereka juga membawa budaya serta berasimilasi dengan budaya lokal. Tarian Katreji menunjukkan asimilasi yang sangat menarik, saat pakaian tradisional Maluku mendapat sentuhan fashion Eropa yakni topi yang dipakai perempuan, serta dasi yang dipakai laki-laki.

Selain seni tari, jejak Portugis, Spanyol, hingga Belanda juga terlihat pada banyaknya kata serapan ke bahasa Indonesia. Banyak kosa kata Portugis yang masih tersisa jejaknya. Di antaranya adalah sapato (sepatu), banco (bangku), armada (armada), bandeira (bendera), dan banyak lagi.

Sayangnya, kebanyakan orang hanya melihat dari sisi ekonomi yakni perdagangan. Padahal, catatan tentang perdagangan rempah selalu menyisakan kenangan memilukan bagi bangsa-bangsa di sepanjang jalur rempah-rempah.

Kedatangan bangsa Eropa untuk berdagang menjadi kenangan traumatik. Perkebunan rempah-rempah membutuhkan banyak tenaga kerja. Pemerintah kolonial bekerja sama dengan pengusaha serta penguasa lokal untuk mendatangkan budak. Perkebunan butuh digerakkan banyak budak yang tenaganya tidak dihargai.

Sebagai contoh bisa dilihat pada dokumen atau arsip mengenai daftar lelang atas 66 orang budak dari Buton di tahun 1755. 

arsip mengenai daftar lelang budak, tahun 1755

Di tahun 2009, sejarawan Dr Sri Margana menulis publikasi mengenai Budak Orang Buangan dan Perkenier di Perkebunan Pala: Perbudakan di Kepulauan Banda tahun 1770-1860. Dia menyimpulkan perbudakan di Kepulauan Banda didukung oleh banyak pihak. Di antaranya pedagang, pejabat VOC dan Pemerintah Belanda, perkenier, dan peran bajak laut. 

Kebutuhan akan tenaga kerja di perkebunan memungkinkan maraknya perdagangan budak dan hal ini memudahkan para perkenier mendapat budak dan orang buangan sebagai tenaga kerja di perkebunan pala. 

Kota-kota pantai di Maluku seperti Ambon, Seram, dan Banda adalah tempat-tempat penting sebagai pusat perdagangan budak, dan para pedagang budak di Maluku mempunyai jaringan di Timor, Sumba, Sumbawa, Bali, Makassar, Buton, dan Batavia bahkan sampai ke Asia Tenggara. 

Sisi kelam lainnya adalah munculnya kolonialisme atau penjajahan di seluruh wilayah Nusantara, termasuk beberapa perang besar yang ditempuh VOC untuk mengamankan jalur dagang. Di antaranya adalah Perang Makassar di tahun 1669.

Sejarawan Dr Mukhlis Paeni menilai saat kapal-kapal masih hilir mudik Jalur Rempah-rempah, ada tiga jenis aktivitas yang muncul. 

Pertama, perdagangan rempah. Saat itu, Maluku menjadi tujuan dari banyak negara yang ingin membeli rempah-rempah. Banyak penjelajah yang berusaha menemukan jalan ke timur sebagai pusat perdagangan rempah-rempah.

Kedua, perdagangan budak. Perkebunan membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga pihak VOC bekerja sama dengan penguasa lokal untuk mendatangkan budak dari berbagai daerah. 

Ketiga, aktivitas bajak laut. Banyak kapal yang jadi sasaran bajak laut. Apalagi, rempah-rempah adalah komoditas yang paling laku di pasar global.

“Makanya, pembicaraan tentang Jalur Rempah jangan hanya fokus pada perdagangan. Sebab perdagangan mendatangkan banyak luka pada bangsa ini. Kita harus melihatnya dari sisi budaya, di mana jalur itu menyebabkan banyaknya perjumpaan antar budaya yang membawa banyak dampak positif,” kata Dr Mukhlis Paeni.

Di masa kejayaan perdagangan rempah-rempah, berbagai kapal telah hilir mudik di perairan Nusantara. Mulai dari kapal Sriwijaya yang identik dengan peradaban Melayu hingga kapal-kapal Majapahit yang juga berdagang rempah-rempah hingga kawasan Asia. 

Ada pula kapal-kapal Eropa yakni Portugis, Spanyol, dan Belanda. Kapal-kapal dari Cina yang juga banyak datang untuk berdagang. Terakhir kapal-kapal kapal-kapal Eropa yakni Portugis, Spanyol, hingga Belanda.

Mereka yang datang dengan kapal-kapal itu turut serta membawa kebudayaannya, yang lalu menyebar ke warga lokal saat terjadi interaksi. Berikutnya, terjadi proses dialogis sehingga budaya menjadi rumah pengetahuan yang sama-sama dibagikan lalu memperkaya peradaban masing-masing.

Jalur Rempah membawa banyak pengaruh, khususnya pada budaya-budaya yang ada di pesisir. Pengaruh itu bisa dilihat di banyak aspek, mulai dari kosakata bahasa, musik, seni tari, pakaian, arsitektur hingga cara berpikir. 

Orang Eropa bukan hanya memperkenalkan musik dan tarian seperti dansa, tetapi juga bangunan-bangunan yang menjadi saksi bisu terhadap segala peristiwa masa lampau. Semua bangunan tersebut punya ciri khas yang sulit dibuat saat ini. Di antaranya adalah bangunan di Kota Tua, Jakarta. Dulunya, Kota Tua merupakan pusat pemerintahan Batavia.

Gaya arsitektur bangunan zaman Belanda menjadi jejak sejarah yang masih bisa dinikmati di masa kini. Bangsa Eropa, terutama Belanda, juga banyak mendirikan benteng-benteng untuk menghalau serangan dari Inggris. Kamu bisa lihat benteng Fort de Kock di Bukittinggi, di Sumatera Barat, Benteng Marlborough di Bengkulu, Benteng Spellwijk di Banten, Benteng Vredeburg di Yogyakarta, dan lain-lain.

Kedatangan bangsa Eropa juga membawa dampak dalam bidang sosial ataupun ekonomi. Salah satu dampak dalam bidang sosial adalah munculnya masyarakat yang menganut agama Katolik dan Kristen Protestan. Kedatangan Portugis yang membawa semangat Gold, Gospel, dan Glory (3G) memengaruhi penyebaran agama Kristen dan Katolik di Indonesia.

Salah satu penyebar agama Katolik di Indonesia yang terkenal adalah Fransiscus Xaverius, seorang misionaris dari Portugis, di Maluku pada tahun 1546-1547. Di samping penyebaran agama Katolik, agama Kristen Protestan juga turut tersebar di Indonesia.

Penyebaran agama Kristen Protestan mulai terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Raffles. Penyebaran agama ini dilakukan oleh Nederlands Zendeling Genootschap (NZG), yaitu organisasi yang menyebarkan agama Kristen Protestan berdasarkan Alkitab. Beberapa tokoh yang tergabung dalam NZG yang terkenal adalah Ludwig Ingwer Nommensen dan Sebastian Qanckaarts.

Dengan datangnya bangsa Eropa, masyarakat diperkenalkan pada mata uang. Raffles menjalankan kebijakan sistem sewa tanah. Dia memperkenalkan uang kertas dan logam mendorong munculnya perbankan modern di Hindia-Belanda. Salah satunya adalah De Javasche Bank, bank modern di Hindia-Belanda yang muncul pertama kali dan didirikan di Batavia pada tahun 1828.

Selanjutnya adalah bangkitnya kehidupan perekonomian akibat pembangunan jalan raya pos Anyer-Panarukan. Keberadaan infrastruktur jalan didukung oleh jaringan transportasi khususnya kereta api yang muncul dan berkembang pada masa sistem tanam paksa. 

Jaringan kereta api muncul dan berkembang di Hindia-Belanda sebagai sarana pengantaran hasil perkebunan yang ada di Hindia Belanda serta transportasi masyarakat. Munculnya sistem transportasi ini merupakan dampak kedatangan Bangsa Eropa bagi Indonesia yang masih bisa digunakan hingga hari ini.

Bidang pendidikan juga berkembang. Pendidikan dari Eropa pertama kali masuk ke Nusantara bersamaan dengan masuknya agama Kristen Katolik. Kala itu dibangun sekolah yang mengajarkan ajaran agama Katolik untuk para pribumi dari daerah Timur Indonesia di sekitar daerah Maluku.

Pendidikan mulai dianggap penting saat kebijakan Politik Etis dilakukan oleh pemerintah kolonial. Perhatian pemerintah kolonial Belanda terhadap pendidikan dikarenakan guna memenuhi kebutuhan tenaga kerja di sektor-sektor swasta dan pemerintahan. Sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah menganut sistem pendidikan barat dan hanya bisa dimasuki oleh kalangan bangsawan. 

Pemerintah kolonial Belanda juga mendirikan sekolah-sekolah kejuruan seperti sekolah calon pegawai negeri sipil yaitu OSVIA (Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren). 

Ada pula dua sekolah kejuruan medis selevel dengan tingkat universitas yaitu School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), dan Nederland Indische Artssenschool (NIAS). STOVIA didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk melahirkan dokter-dokter demi mengatasi berbagai penyakit berbahaya di wilayah jajahannya. Sekolah ini didirikan untuk mendidik masyarakat pribumi, sehingga setelah mengenyam pendidikan di STOVIA mereka mendapat gelar “Dokter Jawa”.

Kemudian muncul kembali pendidikan tingkat universitas Technische Hoogeschool (THS, Sekolah Tinggi Teknik). Melalui sekolah-sekolah bergaya pendidikan barat yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda nantinya melahirkan golongan elite baru dalam masyarakat Indonesia. Golongan elite baru, keluaran dari sekolah-sekolah Belanda, yang kemudian membawa perubahan dalam perjuangan bangsa Indonesia hingga mencapai kemerdekaan.

Jalur rempah juga membawa pengaruh pada kuliner. Cita rasa kuliner Nusantara sudah ada sejak era sebelum kolonialisme. Di zaman Yunani dan Romawi pada 2.000 tahun lalu, cengkih sudah menjadi komoditas penting.

Rempah yang banyak ditemukan di Maluku, menyebar ke seantero Nusantara dan menjadi bahan penting untuk pembuatan kuliner dengan rasa yang khas. Berbagai kuliner yang diolah dari bahan rempah muncul di mana-mana. 

Kuliner dengan olahan rempah bisa ditemukan di banyak wilayah, khususnya kawasa pesisir. Mulai dari Aceh, Minang, Bugis, hingga Jawa, tsemuanya menggunakan rempah. Bahkan kuliner berbahan rempah, juga bisa ditemukan di Negara-negara lain yang dahulu menjadi jalur perdagangan rempah.

Beberapa tahun lalu, CNN menobatkan rendang sebagai makanan terenak di dunia sebab meiliki kandungan rempah yang kuat. Ini menjadi representasi dari posisi rempah yang kuat untuk mengolah bahan kuliner menjadi istimewa.

***

Eropa bukanlah yang pertama berdatangan untuk rempah-rempah. Sejak era Sriwijaya, kawasan Nusantara sudah menjadi satu titik di jalur perdagangan rempah internasional yang penting. Sriwijaya adalah titik penting dari rempah dan menghubungkan antara Nusantara, Beijing, India, Persia, dan Timur Tengah.

Bahkan jika melihat relief yang ada di Candi Borobudur dan candi-candi lainnya, rempah telah menjadi komoditas yang diperdagangkan sejak dahulu. Bahkan jika ditarik lebih jauh, rempah telah diperdagangkan di pelabuhan tua di Barus, kemudian dikirimkan ke Mesir kuno yang dipergunakan untuk mengawetkan mumi. 

relief kapal di Candi Borobudur

Sejak dulu, posisi geopolitik nusantara yang sangat strategis, dengan konfigurasi kepulauan yang memiliki ribuan selat digunakan untuk banyak pelayaran dan perdagangan, menjadikan Nusantara, sebutan Indonesia kala itu, sebagai makro kosmos.

Rempah mempunyai rute yang terbentang dari Kepulauan Maluku, Lautan India, Laut Merah, Gurun Sinai, Laut Mediterania, dan Pantai Selatan Eropa. Bahkan jalur perdagangan rempah sudah dimulai pada tahun 2000 sebelum Masehi. 

Menurut intelektual Profesor Azyumardi Azra, yang memulai perdagangan rempah adalah orang-orang Mesir kuno. Islam menjadi patokan bagi Azyumardi yang membangkitkan rute ekspansi rempah dunia.

"Rute ini bangkit karena rute ekspansi Islam selama masa muslim Umayyad dan Abbasid pada periode abad 7-8 Masehi. Para pedagang muslim harus bersila pada Raja Sriwijaya. Mereka juga berlayar ke Maluku sebagai pusat rute perdagangan rempah dan mendapat perlindungan dari penguasa lokal. Sehingga mereka bisa menciptakan international free trade," ucap Azyumardi pada konferensi IFSR 2019 di Museum Nasional, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Rempah-rempah semakin lama semakin dikenal dunia. Setidaknya pada abad ke-7 M, pelayaran dan perdagangan dari Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Barat menuju nusantara berburu rempah bernilai tinggi, seperti cengkeh, pala, bunga pala, kayu cendana, lada, gaharu, kamper (dikenal dengan nama kapur barus), dan produk rempah lainnya. 

Menyangkut rute rempah-rempah, Cina dan India-lah yang justru diyakini oleh peneliti Chee-Beng Tan memiliki kontak awal dengan Asia Tenggara. Profesor dari Universitas Sun Yat-Sen ini menyebutkan bahwa sebelum Arab, Persia, dan Yunani mencapai Asia Tenggara, Cina dan India sudah dapat memperoleh rempah-rempah dari Pantai Barat India, seperti Malabar.

Di Cina, cengkeh mulanya menjadi komoditas rempah yang diimpor dan digunakan pada saat Dinasti Han. Bahkan para Menteri pada zaman Dinasti Han juga sudah menghisap kayu manis. Selain itu, Cina juga sudah mengimpor pala dari Nusantara pada abad 4 atau 5 Masehi.

Pada perdagangan sutera dan rempah-rempah ketika Timur dan Arab sudah mapan, peran kapal Cina dan India menurut Chee-Beng Tan sudah menjadi teknologi canggih. Kapal kargo China bernama "Song Boat" ditemukan di Pantai Houzhu pada 1973 dengan panjang sebesar 24 meter dan lebar sebesar 9 meter. Chee-Beng Tan mengatakan kapal itu tenggelam pada 1271 Masehi.

Produk yang diangkut dalam kapal tersebut adalah untuk keperluan medis seperti lada, kacang areca, ambar, cangkang kura-kura, kayu laka, dan kayu gaharu.

Beberapa komoditas rempah yang populer adalah cengkeh, pala, lada, dan kayu manis. Cengkeh dihasilkan dari Ternate, Tidore, Halmahera, Seram, dan Ambon. Sedangkan fuli (dari buah pala) banyak tumbuh di Pulau Run di Kepulauan Banda. Kayu manis, kemenyan, kapur barus dari Sumatera dan Jawa, kayu cendana banyak dihasilkan di Pulau Timor dan Sumba, sedangkan lada banyak dihasilkan dari Banten (Pulau Jawa), Pulau Sumatera, dan Kalimantan Selatan. 

Sampai dengan abad ke-16 dapat dikatakan rempah-rempah belum menjalankan peran yang menentukan dalam perkembangan sejarah perubahan yang mendasar dalam dinamika masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Masuknya para penjelajah Eropa menjadikan Nusantara sebagai daerah kosmopolitan. Rute perdagangan rempah telah berkembang fungsinya menjadi persebaran kultur dan agama.

Nusantara pada abad 1480-1650 disebut Anthony Reid sebagai "Age of Commerce" karena menjadi pusat pertemuan perdagangan internasional. Rempah-rempah Maluku seperti cengkeh dan pala menjadi barang terpanas dari perdagangan global, sampai VOC mendirikan monopoli pada tahun 1650.

Rute perdagangan antara Mediterania dan Asia Timur pun tersegmentasi dengan para pedagang selat (Pasai, Melaka, Banten, Palembang, Aceh, Patani). Bahkan setelah larangan perdagangan selama berabad-abad menurut Anthony, China 1568 dan Jepang 1590-1653 mengirimkan perdagangan legalnya ke Asia Tenggara. Hal ini menjadikan pelabuhan di Asia Tenggara sebagai bagian penting dari interaksi antara Cina dan negara lainnya.

Sayangnya, kedatangan bangsa Eropa tidak sekadar untuk berdagang rempah. Bangsa Eropa memulai proses kolonialisasi dan penjajahan sehingga hanya menyisakan nestapa dan trauma.

Kepentingan awal mereka yang tadinya hanya untuk mencari daerah penghasil rempah-rempah berkembang menjadi kepentingan ekonomi kolonial melakukan eksploitasi kekayaan alam Indonesia demi kepentingan negeri induk. 

Rempah dan kolonialisme bangsa Eropa membawa kisah yang suram selama berabad-abad. Akan tetapi, dibalik kisah suram juga membawa kekuatan terintegrasinya suku-suku bangsa dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Rempah dalam sejarah Indonesia bukan sekedar perdagangan komoditi, namun juga menjadi kekuatan yang menyatukan Indonesia antar satu daerah dengan daerah lainnya, antar suku bangsa, antar nilai-nilai dan budaya, yang pada akhirnya membentuk identitas masyarakat Indonesia. 


Masa Lalu untuk Masa Kini dan Masa Depan

Perjumpaan budaya dan belajar antar bangsa yang terjadi di sepanjang Jalur Rempah harusnya menjadi satu kekuatan bagi bangsa. 

Saat ini, pemerintah Cina memperkuat narasi tentang Jalur Sutra (Silk Road) demi memperkuat integrasi ekonomi antar berbagai kawasan di masa kini. Cina menjadikan dirinya sebagai pusat perdagangan lalu membangun relasi dengan berbagai bangsa-bangsa lain. Jalur Sutra menjadi wacana sejarah untuk memperkuat dinamika ekonomi politik masa kini.

Padahal, tidak banyak orang tahu kalau yang diperdagangkan di Jalur Sutra itu adalah  banyak produk rempah. Memang, dinamakan sutra sebab itulah komoditas asal Cina yang laku dan dihargai mahal di masa itu. Padahal, yang diperdagangkan banyak sekali, termasuk salah satunya rempah menjadi komoditi yang dominan dalam pertukaran itu.

Dengan logika yang sama, karena rempah sebagian besar berasal dari Maluku, dan merupakan  tanaman endemik dari Maluku, maka Indonesia pun bisa mengembangkan narasi tentang Jalur Rempah.

rempah-rempah

Di masa itu, Jalur Rempah menjadi kekuatan penting bagi perdagangan melalui dunia maritim. Bangsa Eropa datang karena rempah. Pelaut-pelaut dari Arab dan India datang ke Nusantara pada abad ke-9 dan abad ke-10 untuk mencari rempah-rempah. Bahkan orang Cina pun datang ke Nusantara dengan alasan sama.

Jalur rempah bisa melengkapi gambaran tentang sejarah dunia. Jalur rempah punya kontribusi pada perkembangan peradaban. Bahkan jalur ini menjadi kepingan penting untuk membahas bagaimana Eropa memasuki masa renaisans atau pencerahan.

Di masa lalu, kawasan Indonesia berkontribusi sangat besar terhadap peradaban Eropa karena hubungan kolonial itu. Kota-kota di Eropa seperti Amsterdam dibangun karena adanya hubungan perdagangan yang yang tidak seimbang. 

Jalur Rempah harus dilihat dari kerangka yang lebih luas dalam sejarah hari ini. Bahwa di situ ada pertukaran budaya, serta dinamika sosial ekonomi yang menjadi benih penting bagi lahirnya republik di hari ini.

Narasi jalur rempah seyogianya menghadirkan kebanggaan sebagai bangsa. Jalur rempah adalah identitas masa silam dan masa kini, sekaligus membangun masa depan. Sejarah jalur rempah adalah sejarah perjumpaan berbagai budaya, yang seharusnya bisa ditransformasikan menjadi kemajuan ekonomi di masa kini, serta menjadi keunggulan di masa mendatang.

Ada dua alasan penting untuk menghidupkan kembali kehangatan cita rasa rempah melalui program Jalur Rempah. 

Pertama, Indonesia atau Nusantara adalah tempat satu-satunya di muka bumi ini yang dipilih Tuhan untuk tumbuhnya rempah-rempah. Bumi ini kaya dengan rempah-rempah yang telah mempengaruhi sejarah dan peradaban. Pala dan cengkeh punya banyak kisah yang mengubah sejarah.

Kedua, jalur rempah adalah awal dari perdagangan besar lintas pulau dan lintas benua yang menunjukkan betapa kosmopolitnya Nusantara pada masa itu. Rutenya dimulai dari timur ke barat. Di setiap titik persinggahannya, terjadi asimilasi budaya, kemudian membentuk Nusantara. Tidak cuma sampai di ujung Sumatera saja, namun juga menjangkau Sri Lanka, India, Mesir, Afrika Selatan, juga Madagaskar.

Dua hal penting ini seharusnya menjadi pijakan untuk berbagai rencana pembangunan. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menawarkan paket pariwisata Jalur Rempah. Pariwisata bukan lagi pariwisata massal, tetapi pariwisata yang berbasis pada keingintahuan mengenai keanekaragaman hayati.

Saat ini, wacana ecotourism tengah marak. Dunia tengah berpaling ke ecotourism, tentang kearifan lokal, tentang turis atau pariwisata yang datang untuk belajar. Ada kesadaran ekologis di mana semua orang ingin kembali ke alam, termasuk mengonsumsi obat yang berbasis pada herbal.

Kementerian Pertanian bisa melakukan peremajaan ladang-ladang rempah. Tanaman rempah kembali didukung dengan riset pertanian. Agroindustri harus diperkuat sehingga semua wilayah memiliki tanaman endemik yang tetap dilestarikan.

Lalu, Kementerian Kesehatan mendorong industri obat herbal berbasis rempah-rempah asli Indonesia. Di era pandemi Covid-19, kita menyaksikan kenyataan bagaimana Cina bisa menjadi rumah bagi produksi berbagai obat herbal untuk mengatasi pandemi. Seharusnya, Indonesia juga menjadi pelopor bagi tumbuhnya produksi obat berbasis rempah-rempah yang diharapkan bisa mengatasi berbagai pandemi.

peta jalur rempah

Sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati, Indonesia harus menjadi pusat riset tentang farmasi. Masyarakat punya pengetahuan dan kearifan lokal untuk mengelola berbagai tanaman. Kekayaan intelektual yang dimiliki sejak era rempah-rempah ini seharusnya dilestarikan dan memperkuat sendi-sendi kemajuan. 

Padahal, satu sumber menyebutkan, industri farmasi bersumber pada 25 persen keanekaragaman hayati yang ada di hutan Amazon. Kita belum bisa mengelola rempah sebagai sumber dan bahan untuk industri farmasi.

Pandemik ini membawa satu problem baru bahwa kita berkontribusi terhadap kemunculan pandemik itu sendiri dengan rusaknya ekosistem, abai terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan hidup dan semua isu itu.

Saat ini, pemerintah sedang mengupayakan agar Jalur Rempah mendapat pengakuan sebagai warisan dunia oleh Unesco. Indonesia tengah melobi beberapa negara untuk sama-sama mendaftarkan Jalur Rempah, bukan saja sebagai kenangan masa silam, tetapi untuk memperkuat ekonomi dan perdagangan hari ini.

Jalur rempah harus memiliki outstanding universal value (nilai universal yang menonjol) karena punya arti penting bagi peradaban. Dengan berupaya mendaftarkan jalur rempah menjadi warisan dunia, Indonesia ingin mengafirmasi bahwa jalur rempah ini bukan hanya menarik sebagai objek sejarah, tetapi memang punya kontribusi sangat besar terhadap peradaban.

Dalam narasi sejarah yang dominan itu, banyak kisah yang hilang. Modernitas Eropa seolah dimulai dari revolusi industri. Padahal, sebelumnya, ada basis perjalanan sejarah cukup panjang ketika rempah-rempah diperdagangkan dan membawa kemakmuran yang sangat besar bagi Eropa. Saat itulah, modernitas lahir.

Namun, Indonesia tak sekadar menunggu pengakuan dunia. Indonesia perlu melakukan revitalisasi tanaman rempah, sekaligus revitalisasi budaya sehingga rempah Indonesia kembali menjadi komoditas penting dunia. Indonesia perlu memperkuat riset dan inovasi sehingga rempah kembali menemui masa kejayaannya sebagaimana dahulu.

Tugas ini tidak mudah. Butuh kerja sama intens di antara berbagai ahli, serta pengambil kebijakan, dalam hal ini pemerintah. Jika tugas itu dilaksanakan, maka warga Indonesia bisa tersenyum lega. Satu tugas penting telah ditunaikan yakni menjadikan Indonesia sebagai tempat berlindung, sebagaimana disebutkan dalam syair ini:


Indonesia tanah air beta

Pusaka abadi nan jaya

Indonesia sejak dulu kala

Slalu dipuja-puja bangsa




0 komentar:

Posting Komentar