Tarung BIG DATA di Balik Laga Jerman Versus Inggris

seorang pemain Jerman tertunduk lesu

Pertandingan besar itu akan digelar sehari lagi di Wembley Stadium. Jerman akan bertarung melawan Inggris, lawan yang sering dikalahkannya dalam fase knockout. Pemain Jerman, Thomas Muller, sangat yakin akan mengalahkan Inggris. Pemain lain sama yakinnya.

Namun, Pascal Bauer, yang bekerja sebagai Senior Data Scientist di timnas Jerman, malah lebih banyak diam. Saat jurnalis bertanya, dia hanya menjawab diplomatis. “Inggris punya skuad yang sangat berbakat. Mereka punya kekuatan individu, sebagaimana kami,” katanya, sebagaimana dikutip beberapa media.

Pascal Bauer adalah ilmuwan data (data scientist) yang bekerja untuk asosiasi sepakbola Jerman (DFB). Dia dan timnya menganalisis Big Data dan mengembangkan algoritma untuk memahami semua kekuatan lawan yang dihadapi negerinya. 

Selama ini, orang hanya melihat Jerman sebagai negeri dengan talenta terbaik dalam bermain. Padahal kekuatan Jerman bukanlah itu. Kekuatan Jerman terletak pada penggunaan sains untuk memenangkan pertandingan demi pertandingan. 

BACA: Dari BIG DATA, Artificial Intelligence, Hingga Kediktatoran Digital


Sejak tahun 2004, Jerman membangun Big Data untuk menganalisis pemain dan pertandingan. Lihat saja apa yang terjadi di Piala Dunia 2014 di Brasil. Jerman mempermalukan Brasil dengan skor 7-1. Sebelum bertanding, Jerman telah menganalisis performa pemain dan menentukan strategi permainan. 

Penggunaan sains dan teknologi bisa dilihat pada dua hal, yakni penggunaan Big Data untuk menganalisis permainan dan menentukan strategi serta program latihan inovatif yang berfungsi meningkatkan performa pemain. 

"Kami punya data permainan Brasil tanpa Silva dan Neymar," kata Olivier Bierhoff, manager tim Jerman, dalam wawancara dengan ESPN. Perangkat bernama Match Insight membantu tim Jerman melakukan evaluasi. 

Perangkat itu terhubung dengan kamera di lapangan yang bisa merekam pertandingan. Video rekaman berdurasi singkat bisa dikirim kepada pemain lewat perangkat mobile. Bierhoff mengatakan, "Pemain mendapatkan beberapa contoh hal baik dan buruk yang dilakukan setiap pertandingan usai. Mereka bisa melihat kapan pun serta bisa juga mengecek data performa permainan." 


Di ajang Euro 2021, timnas Jerman kembali menggunakan Big Data. Bauer bercerita, di hari Rabu, 22 Juni 2021, sebelum pertandingan grup terakhir Jerman melawan Hungaria, tim data DFB menyiapkan laporan awal tentang kelima calon lawan di babak berikutnya. Setelah jelas mereka akan melawan Inggris, data-data dikirim ke pelatih sehingga mereka bisa memulai persiapan mereka. 

Data membantu analis video melakukan pekerjaan mereka lebih cepat di antara pertandingan. Data pertandingan juga digabungkan dengan data pelatihan, yang ditangani perusahaan database Exasol untuk melihat rapor para pemain. 

Data akan menganalisis fisik para pemain dan menginformasikan jika mereka rawan cedera. “Data membantu mereka membuat keputusan yang tepat,” kata Sebastian Koppers, pemimpin inovasi di akademi DFB. “Bagi kami, ini hanya tentang menyediakan dasbor itu sehingga mereka dapat membuat keputusan.”

Namun, Big Data juga bukan hanya monopoli tim Jerman. Meskipun informasinya tidak banyak tersedia, Inggris juga serius mengembangkan Big Data untuk permainannya. FA Inggris jarang berkomentar terbuka tentang Big Data.

Media mencatat bagaimana Inggris menggunakan pelacak GPS untuk mengukur seberapa jauh dan cepat pemain berlari selama pelatihan, dan melacak kinerja mereka dan bagaimana mereka tidur. 

Data telah membantu permainan tim Inggris. Menjelang Piala Dunia 2018, Inggris melakukan analisis signifikan terhadap adu penalti, melihat hal-hal seperti berapa lama pemain menunggu antara peluit wasit dan memukul bola. Inggris menang adu penalti lawan Kolombia berkat analisis adu penalti.

Namun, semua keputusan tetap ada pada manajer atau pelatih. Tantangan bagi para analis data adalah memberikan wawasan bagi para pelatih tanpa memberi terlalu banyak intervensi. 

Pelatih Inggris, Gareth Southgate menyimpulkannya dengan baik. “Kami dibanjiri data dan tantangan kami adalah menemukan apa yang benar-benar relevan bagi kami,” katanya. 

“Dalam banyak olahraga lain, sangat jelas jika Anda melakukan X, Y, Z, Anda menang. Dalam sepak bola, banyak peristiwa acak bisa terjadi. Tetapi ada beberapa hal konsisten yang kami tahu perlu kami lakukan untuk bisa menang.”

Human Transformation

Namun secanggih apa pun sistem data yang dibangun, semuanya tetap berpulang pada manusia. Di dunia bisnis, transformasi teknologi harus selalu diiringi dengan transformasi manusia. Kata Thomas L Friedman, AI akan selalu membutuhkan IA. Yang dimaksud AI adalah Artificial Intelligence, sedangkan IA adalah Intelligence Assistant.

Dalam dunia sepakbola, transformasi manusia sama pentingnya dengan memperkuat data. Itulah sebab mengapa pelatih hebat tetap butuh visi bermain dari kapten tim di lapangan. Pelatih sekelas Guardiola membutuhkan pemain sekaliber Messi untuk memenangkan pertandingan.

BACA: Marketing 5.0, Phygital, dan Kisah Homo Deus


Selain itu, dalam sepakbola, ada banyak hal yang bisa mempengaruhi permainan. Kuncinya terletak pada pemilihan pemain yang bisa membuat perbedaan di lapangan. Di titik inilah terletak pentingnya transformasi manusia. 

Jerman bisa membangun data, namun belum tentu bisa membangun pasukan yang solid untuk bergerak secara kolektif. Tidak mengejutkan, saat Thomas Muller membawa bola seorang diri, lolos dari jebakan offside, data mengatakan 99 persen akan terjadi gol. Namun sorak-sorai penonton, serta hal-hal kecil membuat tendangan itu melenceng.

Jerman pun menjadi tim yang miskin strategi. Pola bermain Jerman yang mengandalkan tiga bek telah dikritik banyak orang, termasuk oleh pelatih asal Jerman Jurgen Klopp. Bahkan mantan punggawa timnas Jerman, Michel Ballack, mengkritik keras keputusan pelatih Joachim Low yang terlambat melakukan pergantian pemain, serta tidak mengubah strategi. “Dia masih tetap memegang filosofi bermainnya yang sudah usang,” kata Ballack.


Namun, apakah kegagalan Jerman bisa dibilang sebagai kegagalan membaca dan menafsir Big Data? 

Pascal Bauer, analis data di tim Jerman, mengatakan tim analis hanya memberikan rekomendasi dan data kepada pelatih dan pemain. Keputusan akhir tergantung pada mereka. 

Ada saat di mana pelatih mengabaikan rekomendasi. Sebab sering kali, ada filosofi bermain serta prinsip yang hendak dipertahankan. “Seperti Inggris, kami tidak mencoba menyesuaikan gaya bermain kami dengan lawan mana pun,” kata Bauer. “Kami ingin memiliki filosofi bermain kami yang tidak berubah setiap minggu.”

Di titik ini, ada isyarat kalau Low mengabaikan analis data demi prinsip bermain yang dibangunnya. Boleh jadi, keputusan bermain dengan pola yang sudah bisa ditebak lawan itu pula yang membuat Jerman hengkang lebih awal.

Saya ingat kalimat Brian Clegg di buku Big Data yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Mahadata. Katanya, data berasal dari kata “datum” yang artinya “sesuatu yang diberi.” Dalam artian, data-data hanya lah sesuatu yang kosong, jika tidak diberi makna. Kita yang memberinya tafsiran sehingga bisa berguna untuk berbagai keperluan.

Hari ini, Jerman kalah. Besok-besok, dia akan kembali bangkit. Yang penting dipikirkan adalah kapan sepakbola negeri kita bisa bangkit, jika pengurusnya hanya berpikir untuk mendatangkan pelatih hebat. 

Padahal, sepakbola bukan hanya soal pelatih, tetapi ada soal bagaimana membangun iklim kompetisi, membangun sistem dan infrastruktur teknologi, menyusun data tentang pemain, serta menyiapkan pemain timnas agar bisa berlaga sebagai prajurit di medan laga.

Sepakbola adalah soal sains, bukan soal koneksi, bukan pula soal perdukunan. Lantas, kapan kita bangkit?



1 komentar:

daun hijau mengatakan...

Untuk pertnyaan yg terakhir ini fix kesalahan presiden soekarno. Andai saja kalimatnya seperti ini "Berikan aku 11 pemuda, akan kuguncangkan dunia". Sayang dia cuma minta 10 pemuda, kurang 1 😂😂😂

Posting Komentar