Membaca Wali Berandal


Biasanya saya butuh lima menit untuk membuka lembar-lembar buku di toko sebelum memutuskan untuk membelinya. Namun, untuk buku Wali Berandal Tanah Jawa, saya hanya butuh dua detik. Baru lihat kalimat-kalimat awal, saya terpikat dan memutuskan untuk beli.

Membaca buku ini serasa membaca catatan perjalanan yang ditulis seorang travel blogger atau penulis senior. Kita diajak mengikuti petualangan, perjumpaan, dan kelana dari seseorang di tanah Jawa. Bahkan kita ikut merasakan detak jantung dan tarikan napas penulisnya.

Saya nyaris tak percaya saat mengetahui penulisnya adalah seorang profesor di Australian National University (ANU). Gaya menulisnya mengingatkan saya pada buku Sembilan Wali dan Siti Jenar yang ditulis sastrawan Seno Gumira Ajidarma.

Bedanya, George Quinn tidak sekadar menyajikan catatan perjalanan. Ada dialog-dialog, diskusi dan renungan mendalam yang bisa dibaca dengan sederhana, namun terselip makna yang dalam. Di mata saya, dia menulis dengan kepiawaian seorang etnografer dalam melukis kebudayaan, teknik bercerita ala penulis novel, serta renungan mendalam ala seorang profesor.

Di Youtube, George membuka rahasia mengapa menulis dengan memikat, Tadinya dia ingin menulis secara ilmiah, mengolah data-data, membumbui dengan teori-teori, sebagaimana kerja-kerja para akademisi. Namun dia menyadari kalau bertandang ke makam-makam wali, dan bercakap dengan para peziarah adalah tindakan penuh haru, penuh emosi, kadang penuh humor, dan ada peristiwa aneh yang sukar dilupakan.

Dia merasa pendekatan akademis terlalu kaku dan berjarak dengan realitas. Memang, pendekatan akademis tetap perlu, namun gaya menulis ilmiah tidak cukup memadai dan terlalu kering untuk menangkap semua peristiwa dan makna yang menghampiri. Dia ingin lebih grounded, membumi, dan menyerap semua peristiwa batin dan rasa haru yang memenuhi dirinya saat bertemu para peziarah.

Hasilnya adalah sebuah buku memikat yang judul aslinya Bandit Saints of Java. Ini adalah kombinasi dari catatan perjalanan, kisah-kisah masa silam yang bergema hingga masa kini, juga sisi batiniah masyarakat Jawa yang tetap berdenyut di masa kini. 

Kata akademisi Henri Chambert Loir dalam Archipel, buku ini mengupas dengan sederhana, diwarnai pengalaman pribadi dan sentuhan ringan, tanpa beban tetek-bengek yang biasa terdapat dalam karya akademik.

George Quinn mencatat, di tengah Indonesia yang kian modern serta ada tarikan kuat untuk berislam ala Timur Tengah, orang-orang Jawa tetap mempertahankan tradisi ziarah dan mengunjungi makam-makam keramat. Mereka tak sekadar ziarah. Ada upaya untuk menelusuri masa silam, membangun relasi kuat dengan tokoh yang hidup di masa lalu, lalu menyerap kekuatan masa silam untuk masa kini. 

Buku ini memotret banyak paradoks yang memikat. Saya menemukan kisah para wali atau sunan yang nyentrik, filosofi Jawa, juga cerita mereka yang datang ziarah. Nuansanya yang ditulis sangat kaya.

Wajar saja jika buku ini mendapat penghargaan sebagai sebagai karya non-fiksi terbaik di Australia. Buku perjalanan, juga ilmu sosial, terbaik yang saya baca tahun ini.



1 komentar:

Prayogo mengatakan...

Wah jadi pengen mengoleksinya. He he he.

Posting Komentar