Jangan Salahkan ATHEIS, KAMBING, dan DOMBA

ilustrasi

Setiap kali ada bom meledak, kita akan melihat ekspresi yang sama dari para warga negeri +62. Semua orang akan mengutuk dan mengecam. Padahal, kita sama tahu, sejak Malin Kundang dikutuk, tidak ada satu pun kutukan yang efektif mengubah pihak lain jadi batu.

Kita pun melihat tuduhan pada orang yang sama. Selalu saja ada tuduhan pada orang tidak beragama. Juga tuduhan pada kambing hitam. Ada pula tuduhan pada domba yang suka diadu. Apa kita tidak berpikir kalau mereka bisa protes karena sering disalahkan?

Entah, sejak kapan kita dengan mudahnya menuduh orang tidak beragama sebagai pelakunya. Padahal, bisa jadi mereka sedang bersantai dan menikmati hiburan di hari ahad. Mereka tidak mungkin melakukan bunuh diri, sebab mereka cinta dunia dan ingin hidup selamanya. Mereka tidak mengenal konsep surga neraka.

BACA: Tunas Cinta yang Tumbuh Seusai Bom Surabaya

Saya ingat Richard Dawkins yang menulis The God Delusion. Menurutnya, tak ada orang atheis atau tidak beragama yang menganjurkan perang untuk membela atheis. Beda dengan mereka yang punya keyakinan atau agama.

Beberapa orang tidak beragama yang saya kenal selalu kaya-kaya. Mereka ingin menikmati hari-harinya, tanpa memikirkan kewajiban harus ke tempat ibadah. Mereka ingin sebebas-bebasnya, juga senikmat-nikmatnya. Namun bukan berarti mereka akan mengabaikan hukum. Mereka taat aturan sebab tidak ingin bermasalah dan menghabiskan waktu di penjara.

Apakah kita orang beragama lebih baik dari mereka? Apakah kita lebih cinta kemanusiaan ketimbang mereka? Apakah kita lebih unggul di banding mereka? Apakah kita menjadi lebih rahmatan lil alamin ketimbang mereka? Belum tentu.

Denny JA pernah menulis tentang pandemi Covid yang menyerang seluruh dunia, tak peduli apa agamanya. Namun, vaksin untuk menyelamatkan manusia justru datang dari negara-negara yang warganya banyak tidak beragama. Tiga vaksin berasal dari Cina. Dua vaksin dari Rusia. Dua vaksin dari Amerika Serikat. Lalu Jerman, Inggris, India, dan Belanda, masing-masing menyumbang satu vaksin.

Dilihat asal negara, dan agama populasinya, negara yang mayoritas Kristen, Hindu, bahkan tak beragama, berhasil menyediakan vaksin untuk Covid- 19. “Bukankah banyak negara yang mayoritas Muslim ikut terpapar virus Corona. Bukankah menyediakan vaksin itu bagian dari menolong kemanusiaan yang merupakan inti ajaran agama, termasuk agama Islam?” kata Denny JA.

Di tanah air, vaksin Sinovac dianggap lebih efektif ketimbang AstraZeneca. Di mana-mana kita melihat ada vaksinasi massal. Data terakhir, menyebutkan jumlah vaksin yang disuntikkan sudah mencapai angka 10 juta kali. 

Padahal, vaksin itu jelas-jelas datang dari negara komunis yang warganya banyak tidak beragama. Banyak warga kita bahkan lembaga ulama justru dengan percaya diri membanggakan vaksin yang disuntik ke tubuhnya. 

Saat vaksin itu masuk, apakah kita masih pede untuk memaki kalangan tidak beragama, padahal jelas-jelas mereka telah membuat satu vaksin yang diyakini akan menyelamatkan hidup kita?

Dilihat dari sisi ini, orang yang tidak beragama sekalipun bisa jadi jauh lebih baik dari kita yang beragama. Kita punya dalil dan teori untuk menyelamatkan manusia, tetapi kita tidak punya daya dan kuasa untuk membuat kemajuan dalam riset mengenai vaksin. Biarpun kita lebih banyak berdoa dan negeri ini banyak hajinya, namun yang membuat vaksin dan menyelamatkan populasi manusia adalah mereka. Apa boleh buat.

Lantas, sejak kapan kita menuduh kekerasan dilakukan orang orang tidak beragama?  Saya berasumsi, tuduhan itu mulai muncul sejak tahun 1965. Demi memperkuat propaganda anti-komunis, maka dibuatkan wacana kalau mereka adalah orang tidak beragama. Apalagi, situasi politik saat itu, orang komunis seorang berselisih dengan mereka yang mengatas-namakan Islam dalam ranah politik.

Padahal, banyak peneliti telah membuktikan, kalau mereka yang dituduh komunis itu adalah anak bangsa yang punya kontribusi pada kemerdekaan. Malah banyak di antara mereka yang tetap beragama dan rajin ibadah. Sayang, kita lebih mudah menuduh dan menimpakan kesalahan pada orang lain, ketimbang menalar dengan jernih apa yang terjadi.

Kambing Hitam dan Adu Domba

Saya juga mencatat, kita tak cuma menuduh manusia lain yang dianggap tidak beragama, tetapi kita juga dengan mudahnya menuduh hewan sebagai pelakunya. Dua hewan paling sering kita sebut adalah kambing hitam dan domba. Memang, ini hanya kiasan, tetapi ini menunjukkan betapa malasnya kita untuk menalar siapa pelakunya dan bagaimana menemukan akar dari permasalahan yang sedang terjadi.

Dalam bahasa Inggris, istilah kambing hitam disebut scapegoat. Dari manakah asalnya? 

Dari berbagai referensi, penjelasan tentang istilah kambing hitam iniditemukan dalam buku The 48 Law of Power yang ditulis oleh Robert Greene. 

Kisahnya, ada gubernur yang melakukan korupsi bersama dua asistennya. Hakim menjatuhkan hukuman mati kepada mereka. Eksekusi akan dilakukan di alun-alun kota. Namun saat eksekusi akan dilakukan, banyak protes bermunculan. Banyak yang tidak setuju jika gubernur dan asistennya itu dibunuh sebab mereka sedang sakit.

Dicarilah sousinya. Hakim lalu mempersilakan pada tetua adat untuk menentukan hukuman. Saat tetua adat berdehem untuk menentukan putusan, tiba-tiba di depan panggung terdengar suara “Mbeek….mbekkk…” Seekor kambing berwarna hitam melintas. 

Tetua adat memerintah warga untuk menangkap kambing malang itu dan dibawa naik ke panggung. Kambing itu diletakkan di tengah-tengah, antara hakim dan tetua adat. Kambing hitam itu terus mengembek. 

Scapegoat

Sambil mengelus jenggot kambing itu, tetua adat berkata: “Kesalahan gubernur pemimpin tertinggi kita dan kesalahan kita semua yang menghadiri sidang ini, sudah saya pindahkan ke kambing hitam ini. Sekarang usir dia ke hutan belantara sebagai hukuman baginya.” 

Sejak itu, rakyat negeri tersebut masing-masing memelihara kambing hitam, agar ketika ditemukan bersalah di hadapan hukum, bisa menjumpai tetua adat dan membawa kambing itu untuk dikambinghitamkam atas kesalahannya. Entah, apakah versi ini benar ataukah tidak.

Bagaimana dengan adu domba? Saya menduga istilah ini muncul sejak Belanda memperkenalkan istilah divide et impera. Istilah ini mengacu pada kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan.

Istilah ini diterjemahkan sebagai adu domba untuk memudahkan pemahaman orang-orang, yang secara kultural punya tradisi adu domba. Asumsinya adalah ada pengatur skenario yang punya akses pada kuasa dan modal, kemudian menjadikan orang lain sebagai domba untuk diadu. 

Ini Fenomena Apa?

Saya melihat sikap kita yang dengan mudahnya mengalahkan orang tak beragama, kambing hitam dan domba sebagai upaya untuk menghindari dari substansi persoalan. Kita tidak ingin membicarakan apa yang terjadi dengan sebenar-benarnya karena mengkhawatirkan akan terjadinya gejolak sosial. 

Kita lebih suka menyalahkan sesuatu yang tidak mungkin protes sebab jawaban itu sesaat akan membuat kita lega. Kita tidak ingin menalar fakta demi fakta dan menyukai jawaban instan. Dengan menyalahkan pihak lain, kita bisa berlindung dan menghindar dari gejolak sosial yang lebih besar.

Padahal, untuk mengatasi satu masalah, kita harus menerima dan mengakui apa yang terjadi lalu merumuskan strategi untuk mengatasinya. Menyelesaikan satu permasalahan sosial tidak semudah mengerjakan satu proyek jembatan, namun ikhtiar dan upaya harus terus dilakukan.

BACA: Kisah Diplomat Amerika yang Kampanye Anti-Teroris di Indonesia

Hari ini, kita menyaksikan ada bom bunuh diri. Kita bersedih atas adanya tragedi yang melukai tubuh kebangsaan kita. Namun kita mesti menatap masa kini dengan jernih, demi menyelamatkan masa depan. 

Tantangan besar kita adalah bagaimana membumikan indahnya agama dalam keseharian kita. Bukan sekadar bagaimana mendirikan rumah ibadah di mana-mana, tetapi bagaimana bisa menjadikan nilai itu merasuk dalam sains, teknologi, kemajuan, serta peradaban yang lebih baik untuk masa depan. Kita ingin membangun negeri yang kokoh di mana sungai-sungainya adalah agama, etika, dan kemanusiaan.

Kita perlu memperkuat formasi ekonomi kita sehingga tidak hanya berputar pada segelintir orang tetapi bisa menyentuh semua lapisan masyarakat sehingga semua pihak merasa punya andil dan peran penting di masyarakat kita, dan tidak ada yang merasa terabaikan.

Kerja-kerja ini tak mudah, namun jika tak dikerjakan, kita akan mengulang lagu lama di masa depan. Kalau bukan menyalahkan orang tak beragama, pasti menyalahkan kambing dan domba.



4 komentar:

miden mengatakan...

👍🏻👍🏻 selalu enak dibaca bang

Don Syem mengatakan...

Mencerahkan bang Yus

idelando mengatakan...

Sedap dibaca...

Unknown mengatakan...

semuanya menjadi mudah dan lebih terang dengan penjelasan bang yus, om andalang

Posting Komentar