Lelaki Bugis di Posisi CEO




Di tahun 1999, Timor Timur tengah bergolak. Lelaki itu, Asmawi Syam, baru saja menerima surat keputusan (SK) sebagai pemimpin BRI yang membawahi empat provinsi yakni Bali, NTB, NTT, dan Timor Timur.

Saat semua karyawan BRI Denpasar hendak membuat pesta penyambutan, dia menolak untuk datang. Dia ingin langsung datang ke Timor Timur. Wilayah itu laksana medan perang. Milisi pro kemerdekaan dan pro integrasi saling baku tembak. Korban banyak berjatuhan.

Seorang karyawan BRI di Timor Timur dilaporkan ditebas parang. Dia dirampok ketika mengawal uang tunai dari kantor cabang BRI ke kantor unit. Suasananya sungguh mencekam. Tapi Asmawi Syam tak patah arang. Dia tetap ingin datang ke Timor Timur. Dia ingin memastikan kantor tetap dalam keadaan aman di tengah proses transisi.

Dia tak peduli ketika tak ada satu pun staf yang bersedia menemaninya. Dia ngotot datang. Akhirnya, salah seorang bersedia ikut. Setiba di Timor Timur, tak ada satu pun hotel yang buka. Mereka menginap di rumah warga yang kosong karena mengungsi.

Kehadirannya menaikkan moral semua karyawan yang dalam situasi sulit. Dia ingin memastikan BRI tetap berjalan sebab bank itu menjadi harapan bagi ABRI dan Polri untuk membayar gaji.

Warga lokal yang menjadi karyawan BRI dalam situasi dilematis. Mereka didatangi dua kubu yang meminta bergabung. Jika mengiyakan satu kubu, maka mereka akan segera diteror. Sedangkan warga pendatang tidak sabar untuk segera meninggalkan Timor Timur.

Asmawi mengambil secarik kertas. Dia meminta semua yang ingin pindah segera menuliskan namanya di situ. Kertas itu menjadi SK bagi mereka. “Apakah ini bisa berlaku?” tanya seorang karyawan. Asmawi langsung mengiyakan.

Dia lalu menelepon Dirut BRI untuk meminta mandat. Dirut yang saat itu dijabat Djokosantoso Moeljono, langsung memberikan mandat. “Asmawi, dalam keadaan darurat seperti itu, kamu bisa bertindak atas nama dirut,” katanya.

BACA: Jusuf Kalla yang Mendayung di Antara Dua Presiden

Kata Djokosantoso, itulah yang disebut fire fighting decision, yakni keputusan yang diambil saat darurat. Seorang pemimpin harus mampu mengambil keputusan strategis dalam situasi genting. Itulah yang dilakukan Asmawi.

Dalam situasi sulit, Asmawi tetap menjaga BRI. Dia memastikan eksodus semua karyawan berjalan lancar ke kota-kota terdekat.  Dia mengawal pemindahan aset BRI, termasuk uang senilai 526 juta rupiah yang diselamatkan dari brankas.

Atas semua dedikasinya, Asmawi mendapatkan penghargaan khusus dari BRI sebagai pemimpin yang bisa mengambil keputusan strategis.

*** 

Kisah di atas hanyalah sekeping dari begitu banyak kisah inspirasi Asmawi Syam sebagai seorang bankir. Kisah itu bisa dibaca pada buku Leadership in Practice yang ditulis bersama Profesor Rhenald Kasali.

Saya tertarik karena Asmawi adalah alumnus Fakultas Ekonomi Unhas yang sukses meniti karier hingga menjadi seorang Chief Executive Oficer. Mantan Ketua Senat Mahasiswa Ekonomi Unhas ini menjadi Dirut BRI yang fenomenal. Di masanya, banyak inovasi BRI, di antaranya adalah peluncuran satelit BRI, membiayai alutsista d PT Pindad, mengucurkan dana untuk transformasi PT KAI, membiayai PT Dirgantara Indobesia (DI), inovasi kapal BRI untuk melayani nasabah di pulau, serta membawa BRI memasuki era digital

Namun, buku ini fokus menyoroti sisi manajemen serta filosofi kepemimpinan. Kita tak hanya disuguhkan hidangan berupa kisah-kisah inspirasi di balik meja seorang CEO, tetapi juga menemukan perspektif Asmawi dalam menyikapi banyak hal.

Jusuf Kalla diapit Asmawi dan Rhenald

Konsep buku ini adalah dialog. Asmawi bercerita pengalamannya, kemudian diperkaya dengan landasan teori oleh Rhenald Kasali. Bagi saya, kisah-kisah Asmawi lebih menarik sebab lebih orisinal ketimbang teori-teori yang bisa jadi kita temukan di buku lain. Saya selalu men-skip catatan dari Rhenald.

Di bagian awal, saya menyukai cerita bagaimana Asmawi memahami karyawannya yang sering protes. Dia melihat ada tipe karyawan yang merupakan kuda jinak, dalam artian selalu ikut aturan dan patuh. Tapi ada juga tipe kuda liar yang selalu ingin memberontak.

Yang menarik, dia justru sering memanggil tipe kuda liar itu kemudian diajak berbicara. Biasanya, dia akan mendengar berbagai protes serta ketidakpuasan. Saat Asmawi memberi masukan, sering kali karyawan itu malah menjawab itu sudah dilakukan, tapi menemui kendala.

Asmawi tak lantas baper. Dia mendengarkan semua celoteh karyawan yang disebutnya kuda liar itu. Dia paham kenapa tipe kuda liar itu sering di-nonjob-kan sebab bisa jadi punya ide-ide yang melampaui semua keteraturan. Malah Asmawi mengembalikan jabatannya, kemudian memberi tantangan. Dia memberi kesempatan kepada mereka untuk mewujudkan ide-idenya.

BACA: Ulama Bugis di Kampung Buton

Kesan saya, Asmawi adalah tipe pemimpin yang bisa memaksimalkan talenta semua anak buahnya. Dia juga tipe pemimpin yang berani mengambil risiko. Saya menemukan itu dalam kisah mengenai penempatannya di BRI Singaparna. Pada masa itu, tak ada yang berani menjabat sebagai Kepala BRI di situ sebab sedang banyak masalah yang membelit.

Di antaranya adalah seorang jawara yang selalu membawa pengawal dan menekan bank untuk memberikan kredit. Asmawi malah meladeni jawara itu. Semakin dia dilawan, maka semakin timbul keberaniannya.

Dia hadapi jawara itu dengan tenang. Bahkan saat diancam, dia siap meladeni. Dia bilang, “Kalau Anda nekat, saya juga bisa nekat. Risikonya bukan hanya di saya tetapi juga di Anda.” Jawara itu keder.

Dia tak serta-merta berani. Sejak masa kuliah, dia sudah berprestasi di cabang olahraga karate. Malah, dia pemegang sabuk hitam dan berposisi sebagai Dan IV. Dia pun menjadi pelatih serta berada di kepengurusan induk olahraga karate.

Bisa dikatakan, buku ini adalah intisari pengalaman, serta inspirasi yang didapatkan selama meniti karier sebagai bankir yang sukses hingga posisi puncak. Pengalaman ini menjadi berharga sebab tak semua orang bisa meniti karier hingga level CEO.

Dia menempa dirinya sebagai figur yang selalu memberi nilai tambah pada apapun yang disentuhnya. Dia pun menunjukkan dedikasi luar biasa pada pekerjaannya. Di beberapa bagian, saya temukan kisah bagaimana dirinya rajin memantau meja kerja semua karyawannya. Bahkan dia pernah datang malam-malam ke kantor hanya untuk memastikan apakah security bekerja dengan baik ataukah tidak.

*** 

Satu hal yang saya rasakan hilang di buku ini adalah tidak ada uraian tentang bagaimana budaya menjadi nilai-nilai yang membentuk seorang Asmawi. Saya tak menemukan cerita bagaimana Asmawi tumbuh menjadi seorang bankir. Saya berpandangan bahwa semua orang hebat selalu tumbuh dari rumah yang membekali seseorang dengan nilai-nilai untuk menjadi hebat.

Dalam buku ini, saya hanya temukan sekilas cerita bahwa orang tuanya adalah pengusaha hotel kelas melati. Asmawi memberi contoh bedanya hotel bintang lima dan hotel kelas melati, di mana keluarga sebagai pemilik harus turun tangan untuk membersihkan seprai dan selimut.



Saya penasaran untuk tahu bagaimana orang tua serta lingkungan menjadi lahan gembur yang menumbuhkan potensi Asmawi. Saya yakin proses belajar sesungguhnya dimulai dari tempaan keluarga hingga dukungan yang diberikan lingkungannya.

Dalam beberapa hal saya temukan ada banyak kemiripan dengan kisah Jusuf Kalla. Sebagai editor yang pernah mengedit buku tentang Jusuf Kalla, saya tidak asing dengan cerita keberanian, kejelian menemukan solusi di tengah situasi sulit, hingga loyalitas dan dedikasi pada pekerjaan.

Bagi saya, kemiripan ini bukan sesuatu yang kebetulan. Keduanya tumbuh dan besar dari rahim budaya Bugis yang memberi bekal nilai-nilai yang kemudian menjadi pedoman dalam hidup. Justru pada nilai budaya, kita bisa menemukan karakter seorang individu, serta daya juangnya dalam menempuh berbagai medan kehidupan.

Seusai membaca buku ini, saya membayangkan satu perahu phinisi yang berlayar di tengah hempasan gelombang samudera. Yang menyelamatkan phinisi itu adalah kecakapan seorang nakhoda yang berani menempuh risiko sehingga setiap kalimatnya didengar oleh semua anak buahnya.

Orang Bugis Makassar percaya bahwa nakhoda ulung tidak lahir dari lautan yang tenang. Dia lahir dari lautan yang terus bergejolak dan menempa semua kecakapan dan kemahirannya di laut. Dia tidak lantas pasrah dan menyerah pada nasib, tetapi dia terus berjuang agar kapal bisa kembali menepi.

Jika phinisi itu ibarat perusahaan atau lembaga, maka nakhoda ulung itu adalah Asmawi Syam.




4 komentar:

Nur Terbit mengatakan...

Enak bacanya. Bahasanya lancar. Ada pula pesan moralnya yang kental. Pokoknya lengkap deh kalau Bung Yusran Darmawan penulisnya hehe....sukses selalu boss...

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih bang. salam.

M. Galang Pratama mengatakan...

Nilai nilai budaya saya kira penting sekali membentuk orang orang besar saat ini. Saya setuju, kanda. Bahwa semestinya hal nilai mendasar yang diajarkan di lingkungan keluarga yang mesti jadi poin utama. Salam.

Muh. Rizal Hassani mengatakan...

Inilah pemuda bugis, saya juga terlahir dri keluarga bugis, alumnus FH UH ang.2015. menarik sekali tulisannya pak. Saya senang membacanya.

Posting Komentar