IMPERFECT: Komedi Cantik yang Sarat Hikmah


Tadinya saya hanya berniat menonton film komedi demi menghibur diri di akhir pekan. Ternyata, saya mendapatkan satu rasa yang campur aduk. Bukan sekadar tertawa, tapi juga sesuatu yang membasahi nurani dan menyediakan banyak spasi untuk merenung.

Film Imperfect yang dibesut Ernest Prakasa menjadi satu film yang komplit, cerdas, dan mengharukan. Film ini amat tepat membahas perempuan yang merasa insecure, selalu merasa di-bully karena tidak cantik. Dengan cara yang cerdas, film ini menjewer dunia sosial kita yang melihat sesuatu hanya dari sisi luar.

***

Semuanya bermula dari curhat. Meira Anastasia bercerita tentang hari-harinya sebagai istri seorang pesohor. Suaminya Ernest Prakasa dikenal sebagai komedian terkenal, public figure, keturunan Tionghoa yang sukses di industri kreatif. Sering sekali Meira bertemu orang yang sinis dan bertanya: “Ini istri Ernest yaa, kok gak cantik?”

Dia pun menulis semua curhatan itu menjadi buku berjudul Imperfect: A Journey to Self-Accaptance. Curhatan itu kemudian laris-manis. Dia mewakili keresahan banyak perempuan yang sering disoroti penampilannya. Dia menyindir dunia sosial kita yang sering melakukan “body shaming” atau olok-olok pada orang lain yang fisiknya berbeda.



Curhatan Meira inilah yang kemudian dikemas menjadi film menarik berjudul Imperfect. Suaminya, Ernest Prakasa, mengemas semua kisah itu dalam satu jalinan cerita komedi yang sederhana, tapi sarat makna.

Ceritanya tentang perempuan bernama Rara (diperankan Jessica Mill) yang terlahir berkulit gelap, hitam, dan keriting. Dia mengikuti gen ayahnya. Ibunya adalah sosok yang tinggi, putih, dan cantik. Bahkan adiknya pun berpenampilan seperti ibunya.

Ketika Rara remaja, ayahnya kecelakaan dan meninggal di jalur Puncak. Rara menjalani hidup sebagai bayang-bayang dari ibu dan adiknya yang putih dan jelita. Setiap saat dia harus dibanding-bandingkan dengan mereka. Dia sering menerima pertanyaan: “Benar saudara kandung? Kok beda yaa?”

Beruntung, Rara punya kekasih yang melihatnya apa adanya. Kekasihnya, Dika (diperankan Reza Rahadian), adalah tipe orang yang tidak terjebak pada penampilan luar. Dia melihat Rara apa adanya, sebagai sosok yang dikasihinya. Dia suka melihat Rara yang gembira, ceria, serta suka makan apa saja. (Duh, saya bayangkan betapa inginnya perempuan punya pacar kayak Dika)

Rara memang sosok perempuan yang cerdas dan selalu mau belajar. Di kantornya, kariernya cukup baik. Sayang, dia batal menjadi manajer karena penampilannya dianggap biasa saja, tidak mencerminkan brand perusahaan kosmetik itu.

BACA: Perempuan Vietnam di Sudut Mangga Besar

Dalam situasi tertekan karena dunia sosial yang berharap dirinya lebih cantik, dia lalu melakukan make over. Dia mulai olahraga, menjaga diet, hingga mulai mengikuti kebiasaan ibu dan adiknya yang suka dandan. Dia menjadi sosok yang cantik dan idola di kantornya.  Dia berhasil menjadi manajer yang sibuk, cantik, dan punya segalanya.

Namun, perlahan dia mulai kehilangan banyak hal.

Kekasihnya, Dika, mulai merasakan hal berbeda. Rara tidak lagi menjadi Rara yang dulu. Rara menjadi egois, angkuh, dan memandang orang lain bertindak seperti sosok yang dulu dibencinya. Malah, dia mulai kehilangan hal-hal sederhana yang amat indah sebagai pengisi hari-harinya.

Pada satu titik, Rara menyadari betapa dirinya telah menjadi sosok berbeda. Dia berusaha merebut kembali hari yang hilang.

*** 

Saya menyukai cara Ernest mengemas kisah sederhana ini menjadi sedemikian memikat. Tanpa sadar, kita menjadi bagian dari dunia sosial yang melihat orang lain hanya dari penampilan luar. Kita berdecak kagum melihat orang cantik, berusaha ramah, dan memberikan apresiasi. Kita terlena dengan tampilan luar.

Dunia sosial kita menjadi kejam ketika sering melakukan “body shaming” atau mengolok-olok orang lain. Kita mudah meledek orang lain yang bertubuh lebih besar. Kita sering memandang rendah mereka yang fisiknya biasa saja. Kita suka menghina dan membicarakan.




Padahal betapa tidak nyamannya jika menjadi pihak yang direndahkan itu. Mereka merasakan insecure dan kehilangan percaya diri dalam berinteraksi, menjadi introvert dan penakut, lalu menutup diri dari pergaulan. Potensi besar tersimpan bak mutiara di dasar lautan.

Bagi perempuan, hilangnya rasa percaya diri membuat hari-hari jadi terasa berat. Perempuan bisa tersisih dari pergaulan lalu menganggap dirinya rendah dan hina di hadapan orang lain. Padahal, dia sesungguhnya baik-baik saja. Dia hanya terlanjur berada di dunia sosial yang tidak siap melihat perbedaan.

Film ini menyindir dunia sosial kita dengan cara cerdas, tanpa berniat menggurui. Saya menyukai dialog-dialog yang penuh humor dari para pemain stand up comedy di film ini. Saya sangat terhibur dengan banyolan segar dari banyak perempuan di film ini.

Di akhir film, saya baru sadar kalau film ini meletakkan perempuan sebagai sentrum utama cerita. Semua perempuan menjadi tokoh utama yang punya kisah menarik untuk dikisahkan. Sementara laki-laki hanya sekadar barisan pendukung yang tidak seberapa penting untuk diceritakan.

Lewat sudut pandang perempuan itulah, kisah film ini mengalir apik dan menggemaskan. Para pemainnya tampil natural, dan jauh dari kesan dibuat-buat. Saya suka dialog-dialog yang ringan tapi sarat makna. Dialog favorit saya adalah yang membahas shio.

Ernest hebat ketika menjadikan banyak isu sensitif menjadi ringan dan segar. Dia dengan berani menyisipkan dialog tentang Yesus dan Bunda Maria melalui tuturan seorang perempuan keriting dari timur. Saya juga suka bagian ketika Ernest mengolok-olok Cina. Dalam beberapa filmnya, dia memang menjadikan kecinaannya sebagai subyek yang terus dieksplor.



Bagian paling indah adalah akhir film yang cukup dramatis. Justru dalam ketidaksempurnaan itulah, kita menemukan adanya kesempurnaan. Bahwa perempuan itu indah apa adanya tanpa harus banyak diberi label dan embel-embel. Dalam ketidaksempurnaan itu, melekat banyak yang menjadikannya sempurna.

Saya ingat cerita tentang keramik kintsugi di Jepang. Ada satu keramik indah yang pecah. Banyak ahli keramik yang berusaha menyambung kembali, namun gagal menjadikannya sempurna.

BACA: Perempuan Indonesia di Zona Perang

Hingga akhirnya ada seorang biksu yang menyambung semua retakan itu dengan emas. Dia melihat dalam semua retakan serta ketidaksempurnaan itu justru terdapat keunikan dan keindahan. Dia memberi pesan penting: semua ketidaksempurnaan tak perlu disembunyikan, tapi harus ditampilkan apa adanya.

Lihatlah ketidaksempurnaan itu sebagai hal-hal yang mendewasakan dan mengajarkan satu hikmah penting bahwa kehidupan bukan soal bagaimana menjadi sempurna, tapi soal bagaimana menerima semua ketidaksempurnaan agar kita menjadi pribadi yang menyempurna.

Guys, dengan segala ketidaksempurnaannya, perempuan itu selalu indah. Teramat sangat indah.



4 komentar:

Maria Etha mengatakan...

Jadi makin pengen nonton... Nice review.

Yusran Darmawan mengatakan...

iya. filmnya keren....

Hapudin mengatakan...

Kayaknya yang insecure bukan perempuan saja. Termasuk beberapa laki-laki. Saya misalkan, karena saya bisa terbilang introver. Takut dan malu buat menunjukan kekurangan diri sendiri. Akhirnya saya ketinggalan banyak hal.

Harus nonton film ini supaya bisa memulai menerima diri sendiri apa adanya.

Bang Dzul mengatakan...

Banyak orang yang mmg mati-matian menjadi cantik di media sosial. Trims ulasannya. Kayaknya film Ernest mmg banyak yang menarik serta cerdas namun ttp menggelitik.

Posting Komentar