Perempuan Indonesia di Zona Perang


Ratih Pusparini

Wajahnya terlihat pucat-pasi. Dalam perjalanan dari Lebanon ke Suriah, dia lebih banyak diam. Perjalanan itu hanya akan berlangsung selama tiga jam. Tapi, itu bukan perjalanan biasa. Tahun 2012, Suriah tengah dilanda peperangan. Suara tembakan terdengar di mana-mana. Bom juga bisa berjatuhan kapan saja.

Perempuan itu Mayor Ratih Pusparini adalah tentara perempuan Indonesia pertama yang diterjunkan ke pasukan perdamaian. Dia mendapatkan misi yang cukup berat yakni harus berada di garis depan Suriah demi mengirim pesan kepada semua warga kalau mereka tidak sendirian dalam menghadapi peperangan.

Ratih masih mengenang persis tanggal ketika dirinya mendapat telepon dari wakil Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Desra Percaya. Dia ditelepon pada tanggal 12 April 2012, jam 4 sore. Pada masa itu, dia sedang tugas di Lebanon.

Desra menelepon dan berkata, “Ratih kamu harus bersiap-siap. Kamu akan jadi militer Indonesia pertama yang berangkat ke Suriah.” Ratih mulai menjalani hari-hari yang penuh ketegangan. Pada masa itu, hanya ada 3 persen perempuan yang menjalankan misi perdamaian PBB.

BACA: Diplomasi Senyum Polwan Indonesia

Perjalanan selama tiga jam itu terasa lama bagi Ratih. Dia khawatir mengingat Suriah yang saat itu sangat tidak aman. Melihat dirinya yang lebih banyak diam, driver yang berasal dari Libanon langsung menyapa: “Mum, you’re okay?” Ratih menjawab singkat: “I’m not okay.”

Pria itu seakan tahu apa yang dirasakan Ratih. Dia langsung berkata: “Please call your parents. Tell them your situation.” Ratih segera menelepon keluarganya dengan menggunakan fasilitas telepon satelit.

Kepada ibunya, dia berbisik dengan tenang: “Mama, kalau tidak ada telepon dari saya, berarti semuanya aman. Tapi kalau orang lain yang menelepon, saya minta semuanya menerima semua kenyataan. Saya sudah ikhlas menjalani apa pun yang terjadi.”

Seusai menelepon, Ratih tersenyum. Dia siap menghadapi apa pun yang ada di depannya. Dia berada pada titik kepasrahan. Dia tidak lagi memikirkan apakah akan hidup ataukah mati di misi yang sedang dijalaninya.

“Kalau Allah menakdirkan saya hidup, maka saya akan selamat. Tapi kalau dia menghendaki saya meninggal, maka di mana pun itu, pasti akan terjadi, katanya.

Ratih langsung tersenyum. Dia tenang menjalani tugasnya.  Lelaki itu melihat perubahan wajah Ratih yang tadinya tampak panik. Dia berkata: “Now you look like an angel.”

Di Suriah, situasinya lebih buruk dari yang Ratih bayangkan. Dia mesti menghadapi risiko yang sangat besar saat berada di garis depan. Ratih masih mengenang rekannya yang tertembak di kaki saat sedang menjalankan misi perdamaian. Tapi dia merasa kehadirannya penting sebab memberi rasa nyaman kepada warga yang saat itu dicekam ketakutan.

Pernah, saat di Suriah, Ratih ditelepon oleh wakil Kemenlu, Desra Percaya. Ketika sedang berbincang, terdengar suara tembakan bersahut-sahutan. Desra langsung berkata, “Ratih, apa itu suara tembakan?” Ratih menjawab: “Ya benar. This is the symphony of my life.”

Suara tembakan terdengar dari segala arah. Ratih tidak bisa memastikan dari mana arah tembakan itu. Penembaknya pun bisa dari kalangan pemerintah atau pun oposisi. Hidup Ratih setiap saat dalam bahaya. Pasukan perdamaian PBB pun sering menjadi sasaran tembak.

BACA: Prasasti Abadi Seorang Polwan

Misi perdamaian PBB hanya berjalan selama empat bulan di Suriah. Baru bertugas tiga bulan, Ratih ditarik ke Lebanon. Misi itu dianggap sangat berbahaya sehingga ditutup oleh PBB. Bagi PBB, keselamatan pasukan perdamaian adalah prioritas utama dalam setiap misi yang dijalankan.

Namun pesan yang hendak disampaikan telah sampai kepada warga. Masyarakat internasional akan selalu berada di sisi warga yang tengah dilanda peperangan. Mereka tidak sendirian dalam menghadapi bencana kemanusiaan dan peperangan yang sedang terjadi.

Misi Perdamaian

Hidup Ratih laksana roller-coaster yang selalu berhadapan dengan gejolak. Perempuan kelahiran Denpasar ini tadinya tidak berniat menjadi tentara. Saat lulus dari Jurusan Sastra Inggris, Universitas Airlangga, Surabaya, tidak membayangkan akan menjadi tentara.

Saat iseng mengikuti seleksi, ternyata dia diterima menjadi prajurit TNI Angkatan Udara. Kariernya terus menanjak karena dirinya seorang pekerja keras yang mudah bergaul dengan siapa saja.

Tahun 2008, dia tercatat dalam sejarah sebagai perempuan Indonesia pertama yang diberangkatkan dalam Pasukan Garuda, pasukan perdamaian Indonesia untuk misi PBB di Republik Demokratik Kongo. Dia berperan sebagai military observer.

Ratih Pusparini bersama perempuan yang menjadi anggota pasukan perdamaian 

Sebagai perempuan, dia memiliki akses untuk memasuki wilayah yang tidak bisa dimasuki militer laki-laki. Sebagai militer, dia tetap menggunakan pendekatan keibuan ketika berhadapan dengan perempuan dan anak-anak.

“Kami berhasil memasuki satu desa dan mendapatkan informasi mengenai kekerasan seksual di sana. Regu sebelumnya gagal mendapatkan informasi itu karena tidak ada perempuan di sana,” katanya.

Ketika Ratih datang, ibu-ibu dan anak kecil akan mendekat dan bercerita tentang situasi yang mereka hadapi. “Kami adalah mata dan telinganya misi. Begitu ada berita tentang perkosaan dan kriminal, kami selalu datang ke lokasi bersama interpreter. Beda kalau laki-laki, ceritanya lebih banyak maskulin,” katanya.

Demi menunjang misi, Ratih selalu mendatangi orang sakit di seputaran batalyon. Ternyata hal ini sangat berkesan bagi mereka. Pendekatan kemanusiaan ini menjadi jauh lebih berkesan dari yang lain. “Program Ibu Ani Yudhoyono yakni mobil pintar terus berjalan sampai sekarang. Program itu sangat efektif untuk anak-anak di daerah konflik,” katanya.

Di mana pun berada, pasukan Indonesia selalu berusaha membangun kedekatan dengan masyarakat setempat melalui community engagement. Dalam program ini, militer dan sipil sama-sama merencanakan program atau kegiatan yang memiliki misi kemanusiaan.

Di Kongo, Ratih sangat terharu ketika seorang anak mendatanginya, kemudian berkata, “Mam, I wanna be like you! Because of you, we can go to school…" Saat itu, Ratih dan timnya berhasil mengamankan akses jalan sehingga anak-anak bisa pergi ke sekolah.

Tahun 2012, Ratih kembali diberangkatkan ke misi perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL), kemudian Suriah.  Setelah itu dia ditugaskan ke Indonesia. Pada April 2018 hingga sekarang, dia bertugas Jakarta dengan posisi sebagai Staf Kantor Kerja Sama Luar Negeri Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia.

Ratih menjadi sosok yang menginspirasi banyak kalangan. Dia menerima banyak penghargaan atas kiprahnya di dunia militer dan perdamaian. Tahun 2013, dia meraih Indonesian Women of Change Award yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar AS.

Selain itu, Ratih yang kini berpangkat Letnan Kolonel itu itu juga mendapatkan tanda kehormatan berupa The United Nations (UN) Medal, UN Medal Syria dan UN Peacekeeping Medal in Lebanon. Dia juga sering mendapat undangan sebagai pembicara yang berbagi inspirasi kepada anak-anak muda. Dia ingin mengubah mindset orang-orang bahwa perempuan bisa melakukan banyak hal luar biasa.

Mengutip data dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), berdasarkan analisa dari UN Women, sebanyak 1.187 perjanjian perdamaian tahun 1990-2017, terdapat 2% mediator perempuan; 5% negotiator perempuan dan 5% saksi dan penandatanganan perjanjian perdamaian perempuan.

Hingga 31 Maret 2019, terdapat 3.472 personel militer perempuan dan 1.423 personel polisi perempuan dari total 89.681 personel penjaga perdamaian, atau 5,46%. Jumlah ini tentunya harus dapat ditambah, dan Indonesia memiliki niatan yang kuat untuk hal ini. Indonesia memiliki obsesi untuk terus mengirimkan perempuan dalam pasukan perdamaian.

*** 

Hari itu, sebuah diskusi sedang dihelat di Markas Besar PBB di New York. Letnan Kolonel Ratih Pusparini menjadi pembicara bersama Mayor Jenderal Kristin Lund, petinggi militer Norwegia. Pembicara lain adalah Letnan Kolonel Yuli Cahyanti dari Polri, serta Wakil Tetap Duta Besar RI untuk PBB, Dian Triansyah Djani.

Di sela-sela sidang Special Committee for Peacekeeping Operations, Ratih berbicara sebagai tentara yang pernah bertugas sebagai peace keeper di berbagai penugasan. Dia menyampaikan masukan agar perempuan lebih banyak dilibatkan dalam berbagai misi perdamaian.

Mayjen Kristin Lund, petinggi militer Norwegia, berpose dengan Letkol Ratih Pusparini dalam satu diskusi di Markas PBB, New York

Dia berkata: “Personil perempuan biasanya lebih bisa membaur dengan masyarakat lokal dibandingkan personil laki-laki, hal ini yang memberikan nilai lebih bagi kesuksesan misi di daerah operasi. Perempuan juga perlu diberikan peran lebih selain feminine duties yakni logistik, medis, dan administratif.”

Sementara Yuli Cahyanti menyampaikan hal senada bahwa personil perempuan pada umumnya lebih dekat dengan korban konflik dan pengungsi internal khususnya perempuan dan anak-anak. Selain itu, perempuan lebih diterima oleh masyarakat lokal dan mampu memberikan rasa aman, khususnya bagi perempuan dan anak-anak di kamp pengungsi.

“Budaya Indonesia dapat diterima dengan baik di masyarakat lokal yang bermotokan senyum, sapa dan salam,” ujar Yuli.

Mayjen Kristin Lund menjelaskan perlunya kaderisasi untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam MPP PBB dan keharusan personel perempuan untuk memperkaya pengalaman guna meraih level tertinggi di PBB dan di misi, salah satunya dengan mengakses "UN Experience."

Di ruangan itu, semua orang mengapresiasi pandangan delegasi Indonesia tentang perempuan yang seharusnya lebih banyak dilibatkan dalam Peace Keeping Operation.

Sejalan dengan amanah konstitusi, Indonesia telah terlibat dalam misi pemeliharaan PBB sejak 1957.  Saat ini, Indonesia berada pada ranking ke-9 negara kontributor personil militer dan polisi pada misi UNIFIL (Lebanon), UNAMID (Darfur, Sudan), MINUSCA (Republik Afrika Tengah), MINUSMA (Mali), MONUSCO (Kongo), MINUTSAH (Haiti), MINURSO (Sahara Barat), UNISFA (Abyei), UNMISS (Sudan Selatan).

Dari 2.872 personil TNI dan POLRI yang terlibat, 60 di antaranya adalah perempuan dari TNI maupun POLRI.

Acara itu berjalan sangat sukses dan mendapat perhatian tinggi dari negara anggota PBB dan publikasi luas oleh Divisi Berita PBB. Hastag  #Womenpeacekeepers menjadi trending topic ketiga di twitter.

Pada malam harinya diadakan pula Resepsi Diplomatik "To Honor the Role of Women Peacekeepers" dan menyambut sesi sidang C-34, dan dihadiri oleh delegasi C-34, Sekretariat PBB, kalangan penasehat militer, masyarakat madani, think-thank, akamedisi dan media.

Pesan Ratih terus bergema. “PBB harus membuat langkah-langkah afirmatif untuk menambah jumlah perempuan dalam misi PBB. Perlu ada perubahan kebijakan pro perempuan, dan reformasi budaya dan mindset.”

Ratih percaya, ketika perempuan diberi kesempatan yang lebih luas untuk berperan aktif dalam perdamaian dunia, maka dunia akan menjadi lebih damai.

“Perempuan punya banyak sisi keibuan dan kasih sayang. Ketika tetes-tetes kasih sayang itu membasuh hati, maka semua amarah akan mendingin. Dunia menjadi lebih baik,” katanya.



2 komentar:

Abregas mengatakan...

Proud of you ibu Komandan��

Unknown mengatakan...

Proud to become your little friend Ndan Ratih

Posting Komentar