Refleksi Seusai Menonton BEBAS




Saat orang nonton Joker, saya malah nonton Bebas. Tak perlu antri dan berebut tiket. Perasaan saya seperti naik KRL menuju Bogor di pagi hari, saat semua orang bergegas dan menuju Jakarta.

Kisahnya bolak-balik antara masa sekarang dan masa tahun 1990-an ketika tokohnya menjalani masa sekolah. Suasana tahun 1990-an dapat banget. Mulai musik, pakaian, sampai properti yang digunakan. Saya sangat menikmati musik2 genre 1990-an yang memenuhi film ini.

Saya malah lebih suka Bebas dibandingkan film Sunny. Padahal, Bebas mengadaptasi Sunny. Barusan ada adaptasi Korea sebagus ini. Jauh lebih baik dari Miss Granny yag diadaptasi jadi film Sweet 20.

Saya membayangkan penonton film ini akan segera bernostalgia tentang masa-masa remaja, masa-masa tak ada gadget yang mengganggu interaksi, masa-masa memelihara mimpi setinggi langit, masa-masanya geng-geng pertemanan muncul, lalu bibit konflik bermunculan.

Saya pun bernostalgia. Saya ingat masa SMA di kampung yang tidak penuh warna-warni kayak mereka di film ini. Saya ingat masa SMA adalah masa yang cukup gelap. Pertama kali mencoba alkohol, lari dari rumah, serta hampir saja putus sekolah.

Saya membayangkan betapa banyaknya kejutan antara masa SMA dan masa sekarang. Orang hebat di masa SMA dulu, kehidupannya kini biasa saja sebagaimana kita yang tak pernah dapat spotlight. Sering, ada teman SMA yang malah tidak dianggap, malah tiba-tiba jadi lebih bersinar.

Belum lama ini, saya ketemu teman SD. Di masa lalu, dia dianggap tidak punya harapan dan masa depan. Dia jarang ke sekolah. Tiap hari hanya bernyanyi di dekker. Ketika barusan ketemu di Jakarta, dia berubah. Dia sudah jadi pengusaha sukses dengan harta miliaran.

Pelajarannya adalah sering kali ada keterputusan antara cara pandang dulu dan sekarang. Apa yang kita anggap hebat di masa lalu, belum tentu hebat di masa sekarang. Sebab semua orang terus bergerak, mengalami suka dan duka, mengalami jatuh bangun hingga akhirnya tiba pada satu titik di mana dirinya ingin bangkit.

Saya sedang membaca buku Barking Up the Wrong Trees yang ditulis Eric Baker. Saya temukan hal baru. Menurutnya, ajaran-ajaran di masa kecil dahulu tak selalu bisa membawa kita pada tangga kehebatan. Misalnya orang yang rajin belajar dan disiplin, hingga juara kelas, tidak selalu jadi orang hebat di masa depan.

Pemulis buku memantau riset tentang para juara kelas. Dia menemukan fakta, pendidikan hanya mengarahkan seseorang menjadi sosok yang patuh dan taat aturan, hanya membuat seseorang bisa bertahan dalam sistem.

Pendidikan bisa mengantarkan seseorang jadi karyawan hebat. Tapi untuk jadi seorang penuh inspirasi dan luar biasa, seseorang butuh sesuatu yang beda. Untuk mencapai level sebagaimana pebisnis hebat dan para penemu, seseorang mesti punya kemampuan melihat sesuatu yang melampaui orang lain. Itu hanya didapatkan dengan keberanian melawan arus sejak usia belia.

Saya sedikit banyak setuju dengan pandangan ini. Banyak orang biasa malah terbilang nakal di masa kecil ternyata kini melampaui semua rekannya dulu.

Untuk jadi luar biasa, Anda mesti berani melawan arus, melihat dari sisi lain, serta berpikir terbalik demi menemukan potensi terbaikmu. Untuk jadi pemimpin hebat, Anda mesti merasakan jatuh bangun dalam kehidupan.

Orang hebat akan sering mendapat hantaman hingga jatuh, tapi dia akan selalu bisa bangkit dan menemukan caranya untuk tetap eksis. Kata Eric, orang sinting itu jenius. Sebab cara berpikirnya tidak cocok dengan cara berpikir dalam sistem sehingga dirinya selalu dipandang tidak punya harapan.

Orang yang dianggap bodoh dan sinting itu seperti ikan laut yang disimpan di kolam sempit. Saat dia disimpan di laut, di arena yang maha luas dan tanpa batas, dia akan gesit dan lebih lincah dari rekannya di kolam sempit. Dia akan berenang lebih cepat.



0 komentar:

Posting Komentar