PRABOWO yang Dicekam Sepi




DI media arus utama beredar informasi Prabowo Subianto akan bertemu dengan Megawati Sukarnoputri. Jika pertemuan ini terjadi sebelum pilpres, maka pertemuan itu akan heboh. Para analis akan mengeluarkan berbagai spekulasi. Para netizen akan menjadi pengamat dadakan dan melihatnya dari banyak sisi.

Tapi pertemuan itu terasa sepi. Para netizen malas berbincang tentang pertemuan itu. Seiring waktu, nama Prabowo lenyap perlahan-lahan. Dia bukan lagi Prabowo yang menjadi simbol perlawanan atas kekuasaan. Dia bukan lagi tumpuan harapan akan Indonesia yang jauh lebih hebat.

Tak ada lagi orang-orang berdebat sampai urat kata menonjol. Tak ada lagi orang yang mengaku sebagai die hard Prabowo dan rela berdebat hingga tetes kata penghabisan. Bahkan seorang senior yang setiap hari bisa lima kali sehari membagikan info-info mengenai kehebatan Prabowo dan kejelekan Jokowi, kini lebih banyak diam. Dia pindah mengurusi politik lokal. 

Fenomena menarik untuk dicatat adalah setelah Prabowo tenggelam, kini nama Anies Baswedan mencuat. Setiap pergerakannya akan dipuji setinggi langit.

Baca: Perempuan TIMOR LESTE yang Mengubur Dendam

Sejujurnya, saya agak malas membahas Anies. Saya pikir pilpres masih lima tahun lagi. Biarkan dia bekerja dulu. Malah, Anies belum tentu bisa terpilih di periode kedua Gubernur DKI. Politik kita ibarat air yang selalu bergerak dan mencari celah baru. Politisi kita lebih cepat move on. Beda dengan netizen yang masih memendam luka.

Pertanyaannya, ada apa dengan Prabowo? Mengapa dia tenggelam begitu mudah dan hilang dari percakapan publik?

Sejak pilpres berakhir, hingga sidang MK, dan puncaknya adalah ucapan selamat kepada Jokowi, bintang Prabowo perlahan meredup.

Banyak orang menganggap dirinya tidak konsisten. Dia tidak melawan Jokowi hingga tetes darah penghabisan. Surat wasiat yang tadinya disiapkan ternyata hilang dengan sendirinya. Anggaplah dia menerima tekanan, tapi mengakui kekuatan lawan sama dengan menyerahkan leher untuk disembelih.

Seorang kawan di tim Prabowo-Sandi bercerita bahwa sebulan ini semua spin doctor dan buzzer Prabowo sudah berakhir masa kerjanya. Mereka tidak lagi membuat berbagai konten berisi serangan ataupun bertahan. Kontrak mereka berakhir sebab tak ada lagi yang mengucurkan dana untuk membela Prabowo. 

Pantas saja kita sudah jarang menemukan meme, karikatur, dan editan foto yang memojokkan pemerintah. Kita tak lagi temukan  artikel-artikel yang ditulis Nasrudin Joha, Ziang Wei Jin, dan berbagai penulis anonim lainnya. Kita pun kehilangan cuitan Fadli Zon dan Fahri Hamzah.

Markas besar yang mengelola informasi itu sudah tutup. Tak ada lagi aliran informasi yang kemudian disebar para buzzer. Tidak ada lagi aliran informasi yang bisa diviralkan dengan cepat oleh para buzzer dan relawan medsos.

Dunia politik kita ibarat dunia yang penuh pertempuran wacana. Setiap politisi memerlukan seorang jenderal lapangan yang bisa mengendalikan semua arus informasi, sekaligus menggempur lawan dengan berbagai informasi tersebut. 

Para “jenderal” ini membangun benteng informasi yang mengolah semua data lalu meng-counter semua isu. Jika diperlukan, mereka sesekali melempar wacana tentang politisi atau partai lain. Dalam ranah akademis, mereka kerap disebut Spin Doctor.

Baca: MAMA SINTA yang Bangkit dari Kesedihan

Dahulu, Spin Doctor hanya menjelajah semua media massa, memiliki jejaring dan klik untuk mengatur wacana. Kini, arenanya menjadi lebih lebar dan lebih menantang. 

Mereka beroperasi di media sosial yang amat luas dan tak bertepi, mengatur ritme kapan mengalihkan informasi, menata saat tepat untuk menyetel pencitraan seseorang, sembari mengumpulkan data dan fakta kalau-kalau ada serangan dari pihak lain. Belakangan ini, semua Spin Doctor memiliki sehimpunan arsenal persenjataan yang setiap saat bisa menggempur media sosial dan media massa.

Ketika para spin doctor itu mundur, maka yang tersisa adalah jejak-jejak pertempuran. Kita sesekali masih akan menyaksikan beberapa meme ataupun karikatur lama yang diposting ulang. Tak ada lagi serangan informasi yang viral dan saling debat di media sosial.

Bagi para politisi dan pekerja politik, the game is totally over. Pertarungan ini sudah selesai. Para Spin Doctor sudah mundur. Pencinta Prabowo sudah mengalihkan dukungan ke Anies Baswedan. 

Prabowo ibarat Lion King yang kesepian. Aumannya tak lagi menggetarkan semua hewan di hutan. Kita menanti-nanti kisah dan peristiwa apa yang dialaminya hingga tiba pada keputusan untuk meninggalkan pencintanya.

Rasanya tak mungkin dia begitu mudah berpaling karena godaan kekuasaan. Bisa jadi dia melihat sesuatu yang lebih strategis untuk menyelamatkan partai dan gerbongnya. Dia memilih menjadi martir. Atau bisa jadi, dia memang sudah dalam posisi benar-benar tak berdaya sehingga pasrah mengikuti apa pun skenario pemenang duel..

Kita pun menjadi saksi dari proses politik yang berjalan. Kedepannya ada beberapa tantangan yang muncul. 

Pertama, siapa yang akan merawat para pencinta Prabowo yang kini ibarat layang-layang putus. Apakah Anies? Ataukah sosok lain? 

Kedua, gerakan 212 akan kian melemah seiring hengkangnya para pemodal. Kita tak akan lagi menyaksikan aksi-aksi demonstran yang dengan bebasnya mengecam pemerintah.

Ketiga, konfigurasi politik pun pasti akan terpecah. Saat partai merapat ke Jokowi, maka peran-peran opisisi menjadi terpinggirkan.

Keempat, relawan-relawan Jokowi dan partai politik pengusung akan saling cakar-cakaran demi memperebutkan gula yang kini digenggam Jokowi. Banyak yang akan minta jatah. Jika tak dapat, pasti akan keluar lingkaran dan bergabung dengan barisan tidak puas lainnya.

Kelima, politik menjadi makin transaksional. Semua partai politik akan saling berebut pengaruh di lingkaran Jokowi yang kian di atas angin. Semuanya berharap mendapat banyak posisi dan sumberdaya demi amunisi untuk pertarungan selanjutnya.

Politik kita ibarat lakon sandiwara. Hari ini satu lakon ditutup, besok lakon lain akan dibuka. Di semua tahapan itu, nikmati saja. Jangan baper. Jangan sensi. Cepat move on.



1 komentar:

Profesor Ndeso mengatakan...

..Prabowo merapat ke Megawati buat menulis ulang perjanjian batu tulis untuk 2024..tp sayang 2024 sudah bukan zaman batu lagi..

Posting Komentar