Perempuan Timor Leste yang Mengubur Dendam


Crispina Taena atau Mama Krista

DI Pasar Tono, Distrik Oekusi, Timor Leste, hampir semua orang mengenalnya. Ketika dia datang, pasar kecil itu mendadak ramai. Saat dia menyapa seseorang, suaranya menggaung hingga seantero pasar.  

Perempuan bernama Crispina Taena itu adalah salah satu pedagang sayuran di pasar itu. Semua orang mengenalnya sebagai sosok yang ceria. Dia mengajak para perempuan untuk membentuk kelompok lalu sama-sama menanam sayuran organik di kebun sendiri, lalu menjualnya di pasar itu.

Sesuai berjualan, saya bertemu Mama Krista, demikian ia disapa. Dia pribadi yang hangat dan mudah bergaul dengan siapa saja. Mulanya, semua pembicaraan diiringi gelak tawa dan canda. Saat pembicaraan mengarah ke kerusuhan dan huru-hara di tahun 1999, dia tiba-tiba saja terdiam. Dia langsung dikepung sedih. Suasana mendadak hening.

Di balik suaranya yang menggelegar itu, Mama Krista memendam kisah pilu selama bertahun-tahun. Dia menutup rapat-rapat kisah tentang anak kecilnya bernama Riki.

Baca: MAMA SINTA yang Bangkit dari Kesedihan

Hari itu di tahun 1999, saat warga Timor Leste menilih merdeka, suara tembakan terdengar di mana-mana. Rumah-rumah terbakar. Orang-orang berlarian. Dia dicekam ketakutan. Anaknya Riki, yang saat itu berusia lima tahun, juga ketakutan hingga kondisinya drop. 

Dengan menggendong anaknya yang sakit, Mama Krista keluar rumah dan berlarian. Dia mencari pertolongan ke sana-sini. Dia tidak menyadari kalau anaknya kian kritis hingga akhirnya meninggal dunia dalam usahanya mencari pertolongan.

Dia ingin berteriak dan menangis sekeras-kerasnya. Tapi dia tak bisa melakukannya. Dalam situasi yang begitu mencekam, dia hanya bisa menahan tangis kemudian berlari menyelamatkan diri. Riki pergi di tengah situasi kritis. Dia kehilangan selembar nyawanya saat Mama Krista juga sedang berjuang menyelamatkan miliknya.

Bersama warga lainnya, Mama Krista berlari sekencang-kencangnya. Dia menembus hutan bersama warga lain. Dia menerobos lintas batas demi bergabung dengan tenda-tenda pengungsi di Desa Napan.

Bulan-bulan pertama dilaluinya dengan kesedihan. Kehilangan anak adalah kehilangan segala-galanya. Selama ini aktivitasnya hanya untuk anaknya. 

Baca: PETRUS POT yang Merawat Damai

Dia memulai hari saat melihat senyum anaknya. Dia pun mengakhiri semua kegiatan bersama-sama anaknya. Senyum anaknya adalah kompas kehidupan yang membuatnya kuat melalui semua tantangan seberat apapun. Ketika kompas kehidupan itu pergi, dia merasa hampa. Dia kehilangan segalanya.

Selama sebulan, hidupnya bergantung pada uluran kasih berbagai lembaga internasional termasuk UNHCR dan World Food Program (WFP). Semuanya terasa berat baginya. Pada satu titik ketika air matanya mengering, dia mulai bangkit. 

Tak ada guna tenggelam dalam kesedihan. Dia bisa kehilangan masa lalu, tapi dia tak boleh kehilangan masa kini dan masa depan. Dia tak ingin tenggelam dalam sedih. Dia bergerak. “Kalau saya sedih terus, bagaimana saya bisa hidup? Riki memang sudah pergi. Tapi saya masih hidup. Saya harus rawat kehidupan,” katanya.

Dia mulai berjualan. Warga Desa Napan mengulurkan bantuan baginya. Semua menyadari bahwa ini bukan konflik antar warga. Konflik ini didesain oleh sejumlah orang yang tak rela melihat situasi politik berubah. Saat situasi aman, dia kembali ke Oesilo dan memulai semuanya dari nol.

Mama Krista seorang pejuang tangguh. Berbekal bibit tanaman dari satu lembaga internasional, dia mulai menanam. Dia tahu bahwa hanya dia yang menanam, yang kelak akan memanen. Dia menggerakkan ibu-ibu lainnya untuk menanam lalu memanen, kemudian menjualnya ke pasar terdekat.

Tak cuma menanam. Dia juga menenun. Dia membentuk kelompok yang beranggotakan lima perempuan untuk menenun di rumahnya. Dia menenun berbagai kain-kain khas Timor yang indah. Beberapa pewarna menggunakan pewarna alam. Bahkan benangnya menggunakan kulit kayu.

Dia tak pernah malu dan tak pernah merasa tua untuk belajar. Ketika salah satu lembaga PBB yakni UNDP menggelar pelatihan untuk meningkatkan kemampuan bertani, dia amat gembira. Dia penuh antusias saat mendapat kesempatan untuk belajar pada petani di Desa Napan, Indonesia. Dia belajar pada petani lain, dia pun bagikan pengetahuannya.

Baca: JOSE BENU, Petani yang Selalu Bergerak

Mama Krista mengubur semua dendam. Dia tidak melampiaskan dengan kebencian dan sikap memusuhi satu orang atau satu komunitas. Dia melepaskan dendam itu dengan menjalani aktivitas menanam dan menenun. Dia membakar semua belukar dendam itu dengan embun kasih dan kecintaan pada manusia lainnya.

Mama Krista mengubah bara dendam menjadi embun kasih sayang. Dia mengasihi alam dan mengasihi manusia. Dia melihat masa lalu dengan pikiran terang. Dia membingkai masa kini dengan kebaikan dan cinta. 

Dia menatap masa depan dengan penuh optimis. Penuh bahagia. Penuh ceria. Penuh damai.




5 komentar:

Risno Ong Rasai mengatakan...

Turut berdukacita yg dalam untuk Riki. Sehat selalu Mama Krista, tetap jadi juru damai di bumi ini.
Makasih bang Yos, tulisan ini sangat menginspirasi

Alfiandri Andri mengatakan...

Tragedi kemanusiaan selalu terjadi saat konflik kekuasaan, masyarakat selalu jadi tumbal dari tarik ulur kepentingan politik

Alfiandri Andri mengatakan...

Tragedi kemanusiaan selalu terjadi di wilayah konflik kekuasaan, masyarakat selalu menjadi korban dari tarik ulur nya siasat elit dalam politik kepentingan

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih. senang jika tulisan ini bisa menginspirasi.

Yusran Darmawan mengatakan...

iya. benar bro. salam.

Posting Komentar