Setiap kali ada seorang guru yang berpulang, terasa ada banyak yang hilang di rongga hati. Semalam saya mendengar berita kepergian Prof Achmad Fedyani Saifuddin, guru besar antropologi UI. Saya cukup lama terdiam dan mengenang banyak hal tentang dirinya. Di mata saya, Pak Afid lebih dari sekadar seorang guru.
Saya terkenang masa-masa belajar di kelas Pak Afid. Lebih separuh mata kuliah yang saya pelajari di Program pascasarjana Antropologi UI diasuh oleh Pak Afid. Separuhnya lagi diasuh almarhum Iwan Tjitradjaja. Pak Afid mengajarkan semua teori-teori dalam ilmu sosial. Sedangkan Iwan mengajarkan metodologi melakukan riset lapangan. Keduanya serupa dua sisi koin yang saling melengkapi.
Di mata saya, Pak Afid adalah sosok yang pengetahuannya dalam, tapi sangat rendah hati. Dalam posisi sebagai guru besar, gaya mengajarnya seperti sedang berdialog dengan rekan sebaya. Dia tidak membangun jarak. Dia mendengar apa pun komentar dari mahasiswanya, bahkan yang ngawur sekali pun.
Dengan cara mendengarkan mahasiswanya, dia membangun kedekatan, tanpa mengenal batasan umur. Kelas yang diasuh Pak Afid adalah kelas yang selalu ditunggu-tunggu. Pernah, satu angkatan mahasiswa pascasarjana sosiologi mengikuti kelas antropologi kekuasaan yang diasuhnya.
Semasa saya kuliah, Pak Afid berada di puncak produktivitasnya. Hampir setiap Minggu, dia menulis di Kompas. Dia juga rajin bikin buku. Produktivitasnya menulis tema-tema antropologi hanya bisa ditandingi dosen-dosen senior yang lebih dulu berpulang. Di antaranya James Danandjaja dan Parsudi Suparlan.
Dulu, saya mengoleksi tulisan Pak Afid. Pada saat itu, saya masih punya akses ke perusahaan milik Gramedia sehingga bisa mengumpulkan tulisannya di Kompas. Bersama beberapa kawan, kami juga mengumpulkan ceramah-ceramahnya di kelas. Jika kelak ada yang ingin membukukan tulisannya, saya akan segera mencarinya.
Pak Afid menawarkan diri untuk membimbing saya dalam penulisan tesis. Tentu saja, itu adalah kehormatan besar buat saya. Tak hanya itu, dia juga beberapa kali meminta saya menggantikannya untuk mengajar di kelas mahasiswa S1. Saya masih ingat dia pernah menanyakan apa saya sudah punya calon istri ataukah belum. Saya sempat geer karena saya tahu dia punya anak perempuan yang sangat jelita.
Ketika lulus, dia memberi saya rekomendasi untuk mengikuti program di Singapura. Sayang, saat itu saya memilih pulang kampung, padahal letter of accaptance (LOA) sudah di tangan. Sebagaimana Iwan Tjitradjaja, dia juga memberi saya rekomendasi untuk lanjut studi ke luar negeri. Malah, saya masih ingat kata-katanya, kalau sudah lulus, segera kembali ke kampus UI.
Kini, sosok yang tuturnya lembut itu telah berpulang. Saya masih mengenang betapa tekunnya dia mengajari saya konsep-konsep yang rumit dalam bahasa sederhana. Dia yang selalu memudahkan semua jalan untuk saya itu telah pergi. Saya benar-benar menyesal karena sudah lama tidak datang sowan dan sekadar mencium tangannya.
Padahal, ketika saya butuh bantuan, dia selalu ada. Terakhir, dia membuat endorsement untuk buku saya yang diterbitkan Mizan.
Saya teringat legenda Yunani kuno tentang para pahlawan yang diabadikan oleh Zeus sebagai bintang di langit sana. Dengan segala perhatian, kasih sayang, serta kebaikannya pada mahasiswa, saya berharap Pak Afid juga akan menjadi bintang di langit yang mengawasi semua murid-muridnya, memberikan ilham ketika keliru memahami konsep, serta membentangkan sinar terang agar muridnya tidak tersesat.
Selamat jalan guruku.
Bogor, 25 Februari 2018
Foto: Endorsement yang dibuat Pak Afid pada salah satu buku saya
0 komentar:
Posting Komentar