Bermula dari Editor Kelas Kampung

buku terbaru yang saya editori


DI atas meja di ruang baca, saya memandang buku berjudul Dari Tamalanrea untuk Indonesia. Buku ini berisikan kumpulan tulisan dari beberapa orang yang kesemuanya pernah menjadi organisatoris di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di halaman muka, saya tak bosan membaca nama saya yang menjadi editor buku ini.

Entah kenapa, saya selalu merasa bahagia saat menyaksikan nama sendiri di sampul buku. Kebahagiaan ini tak bisa ditukar dengan apapun. Berbicara tentang bahagia, semua orang punya definisi dan pemaknaan yang berbeda-beda. Ada yang bahagia saat punya mobil, saat punya rumah, atau saat menikah lagi (ups..). Saya menemukan bahagia lain, yakni saat menemukan nama sendiri di sampul buku.

Saat bertemu orang lain, yang menanyakan buku itu, rasa bahagia akan bertambah. Kebahagiaan itu semakin berlipat-lipat saat ada orang yang membaca tulisan kita, lalu memberikan komentar, apakah itu apresiasi atau kritikan. Bahkan kritikan pun bisa menghadirkan rasa bangga. Mengapa? Sebab biarpun orang itu mengkritik, dia telah meluangkan waktu untuk membaca tulisan kita lalu mengomentarinya. Itu sudah kemajuan besar sebab dia telah “tersesat” dan mau-mau saja mengikuti aliran logika yang kita bangun, meskipun di ujungnya, dia tak bisa bersepakat.

Mungkin kamu akan mengatakan saya seorang narsis. Sejak dulu saya beranggapan narsis terbaik dan halal untuk dilakukan adalah memamerkan buku karya sendiri. Narsis lain yang juga sah dan penuh pahala saat dilakukan adalah memamerkan bahan bacaan, lalu menjelaskan sedikit-sedikit isi bacaan itu yang sukses memancing ketertarikan orang lain untuk membacanya. Narsis-narsis ini adalah narsis yang jauh lebih positif, ketimbang memamerkan makanan, pencapaian harta, saat-saat di hotel dan pusat perbelanjaan mewah, pertemuan dengan politisi, hingga memajang foto bersama seorang artis dangdut.

Bagi seorang penulis ataupun editor, rasa bahagia itu muncul sebab menyadari bahwa di balik satu buku, terdapat banyak kerja-kerja yang tak nampak. Seorang penulis akan berjibaku dengan ide-ide yang berseliweran. Ia mesti merapikan, lalu menata ide itu satu per satu sehingga terbentuk jalinan kata dan kalimat yang padu dan memikat. Ia mesti membaca data demi data demi menyusun konstruksi argumentasi, yang kemudian diamparkan dalam satu narasi yang menarik dan tidak embosankan. Ia mesti menaklukan halaman kosong di laptopnya, untuk diisi dengan ide demi ide yang mengalir bak anak sungai.

Jika ditanya, mana yang paling berat dilakoni, menjadi editor ataukah penulis? Saya akan menjawab editor. Kerja penulis adalah kerja individual. Dia bisa menyepi di satu tempat dan bersikap asosial, tak peduli sekitar, demi menyelesaikan karyanya. Seorang penulis bisa memilih berkarib sunyi agar inspirasinya mengalir melalui jemari dan membentuk barisan kata di laptopnya.

Sementara seorang editor harus bekerja dengan para penulis. Dia harus berpikir melampaui penulis. Dia tidak saja bekerja dengan teks, tapi menyelaraskan dirinya dengan dunia sosial yang kelak akan membaca buku itu. Dia berada di tengah-tengah dari banyak kepentingan. Dia membantu penulis, tapi dia juga harus paham siapa yang akan membaca tulisan. Dia pun harus bertanggngjawab atas kualitas, ejaan, hingga perwajahan buku. Dia menjembatani kepentingan pemilik perusahaan penerbitan yang menginginkan profit, dan kepentingan penulis yang ingin bukunya sebaik mungkin.

Seroang editor juga harus memotivasi penulis, lalu memeriksa semua detail tulisan di dalamnya. Seringkali editor akan merasa kesal dengan apa yang disodorkan penulis. Jika dia tempremen, maka emosinya bisa meledak-ledak lalu membuang kerja seorang penulis ke tong sampah dan mengeluarkan kata kasar.

Jika editor itu bekerja di penerbit besar, sah saja ia mencampakkan karya penulis. Namun jika editor itu bekerja dengan para pemula di penerbitan kecil yang tujuannya hanya untuk mendokumentasikan kerja sosial dan kemanusiaan, maka emosinya harus stabil. Dia harus meyakinkan dan memotivasi seorang calon penulis agar tetap percaya diri dan bersedia menyerahkan karyanya agar kelak dikritisi dan dibenahi demi kualitas.

Kerja editor adalah kerja paling menantang. Saya pertama menjadi editor buku sekitar sepuluh tahun silam. Pada masa itu, saya masih tinggal di kampung halaman, tepatnya di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Bersama beberapa kawan, kami hendak membuat buku yang isinya adalah kumpulan tulisan berserak dari paa penulis di kampung halaman kami, atau minimal mereka yang menggemari tema sejarah dan kebudayaan.

Saya harus bekerja dengan anak-anak muda sebaya yang sama-sama tidak tahu harus mulai dari mana. Di depan kawan-kawan itu, saya menampilkan rasa percaya diri yang tinggi. Saya yakinkan mereka bahwa kerja penulisan itu harus dituntaskan. Sekali kami sukses membuat buku, maka pastilah kami akan ketagihan dan akan membuat buku lain lagi. Demikian seterusnya.

Kerja saya juga lebih berat. Saya harus meyakinkan para mitra penulis bahwa mereka bisa menghasilkan tulisan yang baik dan akan dibaca publik. Saya bekerja dengan penulis dari berbagai latar belakang. Ada yang mahasiswa pasca-sarjana, tapi lebih banyak yang hanya sampai SMA. Bahkan, ada seorang imam masjid, yang mengaku pada saya kalau ilmunya adalah ilmu tikar, ilmu yang didapatnya di luar sekolah. Rasanya sesuatu yang ajaib, sebab saya bisa memaksa para pemula dari kampung, dari berbagai latar usia dan pendidikan, untuk mau berkolaborasi. Hingga akhirnya lahir buku pertama berjudul Menyibak Kabut di Keraton Buton.

buku pertama yang saya editori sepuluh tahun silam

Sejak dulu, saya tidak pernah men-judge kemampuan seseorang dari latar pendidikannya. Saya percaya bahwa semua orang pasti punya kisah yang menarik untuk dituturkan. Teknik menulis dan aliran argumentasi bisa dibangun dan dilatihkan. Tapi soal content, semua orang punya segudang kisah dan pengalaman berbeda. Editor hebat adalah editor yang bisa menjadi timba dan tali yang diulur jauh ke dalam sumur kisah setiap orang demi membawanya ke permukaan dan mengatasi dahaga para pembaca. Editor hebat adalah editor yang bisa mengubah naskah biasa menjadi luar biasa.

Biarpun cuma beredar di skala lokal, buku pertama yang saya editori itu menjadi buku terlaris di provinsi kami. Buku itu beredar di mana-mana, dan dibaca banyak orang. Saya dan kawan-kawan penulis merasakan bagaimana diundang untuk diskusi buku. Saya senang saat banyak orang yang mengapresiasi buku dan memberikan komentar.

Lebih bahagia lagi karena banyak yang mengaku hanya membaca catatan editor yang saya buat. Saya rasa mereka hanya ingin basa-basi. Andaikan mereka bertemu penulis lain, pasti akan mengatakan hal yang sama. Apapun itu, saya senang karena buku itu sukses dan mendapat apresiasi dari pembaca kami. Tujuan kami untuk kembali meramaikan diskusi budaya dan sejarah mengenai kampung halaman kami telah tercapai.

***

SAYA masih memandangi buku Dari Tamalanrea untuk Indonesia ini. Saya tidak menyangka bahwa saya telah menghasilkan cukup banyak buku. Pada mulanya saya hanya seorang editor kelas kampung yang mengedit tulisan mengenai kampung halaman. Selanjutnya saya terus berkembang hingga menjadi editor paruh waktu di beberapa penerbit. Pernah saya mengedit buku yang diolah dari koleksi pidato seorang wakil presiden. Beberapa kali saya bekerja dengan pihak kementerian. Saya juga melatih penulisan bagi warga desa di empat lokasi wisata, hingga pernah pula melatih menulis para akademisi bergelar doktor di dua kota besar.

Tak hanya itu, saya pun pernah diundang salah satu lembaga PBB untuk mengedit draft naskah mereka yang akan segera dibukukan dan dikirim ke seluruh Indonesia. Bahkan saya dipercaya seorang profesor di Jakarta untuk mengedit semua tulisannya yang akan dipublikasi. Sekadar bocoran, sebagian besar tulisannya adalah hasil olah pikir saya. Hahaha. 

Semuanya dimulai dari pengalaman sebagai editor di kampung halaman. Semuanya dimulai dari nol. Pengalaman yang akan memperkaya pengetahuan seseorang hingga akhirnya tiba pada satu titik. Saat ini saya masih amatiran di dunia editor. Saya masih editor kelas kampung. Belum beranjak naik. Saya juga masih harus banyak belajar. Tapi bolehlah saya sesekali narsis sebab telah membantu lahirnya banyak karya, yang rata-rata tidak mudah, sebab punya tantangan masing-masing.

Melalui tantangan itu, saya terus tumbuh dan belajar.


Bogor, 16 Juni 2017




4 komentar:

Unknown mengatakan...

Mantap kakanda "Tampan".... Suksesq selalu

Unknown mengatakan...

Mantap kakanda "Tampan".... Suksesq selalu

Hadiamin mengatakan...

Senang baca Tulisan Anda, jadi ingin tau lebih banyak karya Anda, mohon info ... Salam Dan Terima kasih

La Ode Mansyur mengatakan...

Sangat mengispirasi pernah bertemu di kopi kita bersama bro.eddy hamka..

Posting Komentar