penampilan Fildan Rahayu |
SUASANA riuh semerbak memenuhi ruangan
Studi 5 Indosiar. Di atas panggung, tampil Fildan, kontestan acara D-Academy 4 dari Baubau, bersama sejumlah anak muda penari dari kelompok Stop Dance.
Mungkin karena berasal dari kota yang sama, Baubau, mereka memiliki chemistry
yang sama. Vokal dan gerak terpadu menimbulkan harmoni yang indah dipandang.
Beberapa hari lalu, Fildan menyanyikan
lagu India berjudul Gerua. Gerakan tari dan vokalnya kerap disandingkan oleh
para juri dengan Shahrukh Khan. Keesokan harinya, ia berduet dengan German
Dmitreiv, violis berkebangsaan Rusia. Ia memainkan gitar dengan nada-nada
tinggi yang menyayat perasaan. Ia begitu piawai memikat perhatian semua orang
yang rela memelototi layar kaca untuk menyaksikannya.
Tak berhenti di situ, Fildan menyanyikan
lagu Tana Wolio, lagu tradisional
milik orang Buton. Bersama rekan-rekannya, dia juga menari Malulo jenis tarian
muda-mudi yang sangat populer di Kendari, Sulawesi Tenggara. Semua gerak-geriknya menjadi
bahan perbincangan di berbagai lokasi di Sulawesi Tenggara dan wilayah lainnya.
Di mata saya, ajang musik D-Academy tidak
sama dengan ajang musik lainnya yang mengklaim lebih berkelas semisal
Indonesian Idol. Di ajang Indonesian Idol, para kontestan adalah para penyanyi
dan lulusan sekolah vokal bergengsi. Pesertanya ditempa sebagai generasi
sekolahan yang memahami teknik vokal, baik teori maupun praktik.
Tapi ajang D-Academy berbeda. Pesertanya
berasal dari banyak titik di Indonesia. Para pesertanya hadir dengan membawa
simbol daerah dan simbol kampung masing-masing. Mereka tak pernah belajar di
sekolah vokal. Lagian, mana ada sekolah vokal untuk penyanyi dangdut. Di tambah
lagi, dangdut masih dianggap sebagai musik kelas bawah, musiknya rakyat jelata,
musik yang iramanya simpel tapi bisa bikin masyarakat terpesona hingga
menggerakkan kaki dan tangan di banyak acara joged.
Malam itu, panggung D-Academy seolah
menjadi milik Fildan seorang. Pendukungnya memenuhi panggung itu sembari
membawa poster dukungan, serta yel-yel yang membahana. Dari tulisan di poster
itu, bisa terlihat bahwa pendukung Fildan berasal dari banyak lokasi di kawasan
timur Indonesia. Wajah-wajah yang tampil di layar kaca dipenuhi oleh wajah khas
warga timur, dengan segala teriakan khas dan histeria yang dibawa untuk Fildan.
Di luar panggung di stasiun televisi
Indosiar, Fildan tetap menjadi fenomena. Di Kota Baubau, warga menggelar nonton
bareng di banyak titik. Di banyak lokasi itu, makanan dan minuman disediakan
gratis. Fildan menjadi pemantik diskusi yang dibahas di mana-mana. Banyak
nelayan yang menunda melaut demi menyaksikan Fildan tampil.
Tak hanya Baubau, banyak warga di beberapa
kota di lingkup Sulawesi tenggara menggelar nonton bareng. Bisa saya pastikan,
jumlah yang menyaksikan nonton bareng Fildan itu jauh melebihi peserta nonton
bareng final Piala Dunia 2014, yang mempertemukan Jerman dan Argentina. Fildan
menjadi ikon yang lintas generasi. Dia disukai oleh banyak orang, yang rela
menghabiskan uang ke Jakarta demi menyaksikan langsung penampilannya.
Tak berlebihan jika menyebut Fildan sebagai
ikon kawasan timur, ikon masyrakat bawah yang menyenangi musik dangdut, serta
ikon dari warga biasa yang melakukan mobilitas kelas melalui musik dangdut.
***
DI hadapan saya terdapat buku baru
berjudul Musik Indonesia 1997-2001:
Kebisingan dan Keberagaman Aliran Lagu, yang ditulis Jeremy Wallach, terbit
di bulan Maret 2017. Saya tertarik membeli buku ini seusai membaca catatan di
halaman belakang yang menyebutkan buku ini merupakan riset etnografis yang
membumi dengan ketajaman analisis dari teori budaya kontemporer.
Beberapa kajian dalam buku ini
mengingatkan saya pada buku Andrew N Weintraub berjudul Dangdut: Musik, Identitas dan Budaya Indonesia, yang terbit tahun
2012 lalu. Satu lagi referensi bagus tentang dangdut ditulis oleh William
Frederick tahun 1982 berjudul Rhoma Irama
and the Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesia Popular Culture.
buku karya Jeremy Wallach |
Ketiga studi itu laksana tali-temali yang
saling terkait. Ketiganya membahas dinamika antara dangdut dan masyarakat
menengah ke bawah Indonesia yang menjadi penggemar berat musik itu. Kesamaan
ketiganya adalah sama-sama menjelaskan hubungan antara musik itu dengan ruang
batin masyarakat Indonesia yang dimediasi dengan baik oleh lagu-lagu berirama
dangdut.
Yang baru dari buku Jeremy Wallach adalah pelukisan
etnografis yang mendalam. Dia menelusuri panggung musik, toko kaset, konser,
studio, dan banyak lokasi demi menemukan pemahaman tentang musik Indonesia.
Biarpun tidak spesifik membahas dangdut, kita bisa memahami bagaimana
interpretasi masyarakat atas musik, bagaimana identitas direpresentasikan,
serta bagaimana globalisasi mempengaruhi musik Indonesia. Etnografi membantunya
untuk memahami pengalaman dekat (atau lazim disebut antropolog Clifford Geertz
sebagai emic point of view)
masyarakat kita terkait musik. Di situ, ada banyak cerita, narasi, dan
peristiwa yang juga menarik di balik setiap musik.
Marilah kita melihat Fildan dengan cara
pandang etnografis. Biarpun tulisan ini terlampau singkat untuk disebut etnografi, minimal kita bisa melihat bagaimana keseharian, kehidupan di kampung halaman, hingga situasi dan kondisi yang mempengaruhi dunia musik di Sultra. Minimal kita bisa belajar bahwa menjadi pemusik di situ, bukanlah pekerjaan yang menjanjikan. Pada titik ini, kita bisa memahami bahwa Fildan telah melakukan mobilitas kelas yang cukup cepat dengan berkiprah di ranah ibukota.
Fildan lahir di Morowali, Sulawesi Tengah, lalu menjalani masa remaja di kota Baubau, kota yang dahulu menjadi jantung Kesultanan Buton. Dia hidup di kota pesisir. Dia tinggal Bonebone, kawasan yang posisinya tepat di pesisir laut. Rumah Fildan dan lautan bisa ditempuh dengan lima menit berjalan kaki.
Fildan lahir di Morowali, Sulawesi Tengah, lalu menjalani masa remaja di kota Baubau, kota yang dahulu menjadi jantung Kesultanan Buton. Dia hidup di kota pesisir. Dia tinggal Bonebone, kawasan yang posisinya tepat di pesisir laut. Rumah Fildan dan lautan bisa ditempuh dengan lima menit berjalan kaki.
Sosok Fildan memang unik. Dia tinggal di
Baubau, memiliki ayah ibu berdarah Buton dan Muna. Dia juga pernah tinggal di
Morowali, Sulawesi Tengah. Sebagaimana halnya warga Buton lainnya yang kerap
berpetualang ke kawasan timur, Fildan pun pernah tinggal di Papua demi mencari
sesuap nasi di satu pabrik tripleks.
Sejak dahulu, beberapa alat musik dipentaskan
di Buton. Yang paling populer adalah gambus, yang dipakai untuk mengiringi lagu
dengan irama melayu. Tentu saja, musik paling digandrungi adalah dangdut yang
setia dimainkan di banyak momen. Seringkali, dangdut dipakai untuk mengiringi
joged, menu hiburan populer di mana-mana.
Fildan lahir dan besar dalam kondisi penuh
keterbatasan. Namun, di ajang musik D-Academy, Fildan tak sedang menjual kisah
hidup yang menggiriskan, sebagaimana banyak siaran televisi. Ia menampilkan
skill musik terbaik yang dimilikinya. Orang-orang menyukainya bukan karena kisah
kehidupannya, melainkan penampilan memikat dan rasa bermusik yang selevel dewa
dangdut.
Padahal, kisah hidup Fildan tidaklah
seindah kisah sinetron, yang tiba-tiba saja tokohnya lahir di keluarga kaya
lalu menjalani kehidupan dengan mulus bak berkendara di jalan tol. Kisah hidup
Fildan adalah kisah perjalanan dengan roller coaster yang meliuk, mendaki tinggi-tinggi,
lalu menukik dan menantang bahaya.
Dia berasal dari keluarga yang bisa
terbilang amat sederhana. Ayahnya La Suri, berprofesi sebagai tukang kayu, yang
sesekali menyanyi di hajatan pernikahan. Di satu kanal Youtube, saya melihat
Fildan berduet dengan ayahnya di kolong rumah panggung. Hari-harinya di sekolah
menengah tak bisa lepas dari dunia kesenian. Ia menjadi gitaris sekolah di
ajang lomba vokal grup. Ia mendirikan band bersama rekannya. Berkat bakat
seninya itu, ia tidak dikeluarkan dari sekolah saat ketahuan tidak membayar
uang sekolah selama sekian waktu. Musik menjadi penyelamatnya.
Saya membayangkan bagaimana masa-masa
sekolah Fildan. Dalam sistem pendidikan yang hanya menekankan inteligensi,
kemampuan Fildan bermusik adalah anomali yang tidak akan pernah menjadi
parameter penilaian. Dengan bakat musik seperti itu, dirinya tak akan punya
tempat di lembaga pendidikan formal yang lebih menekankan kecerdasan
intelektual. Dia hanya menonjol di ajang seni. Di ajang lain, sekolah tak punya
ruang untuk menapresiasinya.
Ia diceritakan sebagai murid yang malas,
sering tidak membawa buku, dan sepatunya sobek. Bukan berarti dia siswa yang
nakal, melainkan sepatu itu hanyalah satu-satunya yang dimiliki. Seorang
jurnalis mencatat bahwa dirinya tidak punya tali pinggang untuk sekadar
mengencangkan celananya. Kondisi keluarga yang memprihatinkan itu membuatnya
tidak leluasa mengembangkan kemampuan inteligensinya.
buku karya Jeremy Wallach |
Saat sekolahnya menggelar perpisahan, Fildan tampil bermain gitar. Lagi-lagi, dia tidak punya pakaian yang pantas. Guru-guru berinisiatif meminjamkannya pakaian yang pantas agar kelak dirinya bisa tampil sebagaimana layaknya siswa lain. Dalam kondisi serba terbatas, banyak orang yang menjadi penolongnya sehingga bisa terus bersekolah dan lulus.
Dia lalu membentuk band musik. Namun, sebagai
warga Baubau, saya tahu persis bahwa tak ada ruang memadai bagi pemusik sekelas
Fildan. Seorang remaja yang menekuni musik sering dianggap aneh sebab tidak
bisa dijadikan sandaran bagi masa depan. Tak banyak ajang lomba menyanyi yang
bisa melejitkan dirinya. Palingan hanya lomba musik antar sekolah di panggung
17-an. Praktis, di luar itu, Fildan hanya bernyanyi dekker (tempat anak muda
nongkrong berupa pembatas jalan terbuat dari tembok), balai-balai bambu yang
menjadi ruang kumpul anak muda, hingga berbagai pos kamling.
Sesekali ia tampil di acara khitanan,
nikahan, dan acara-acara pemerintah daerah. Sebagaimana kisah para penyanyi
dangdut lainnya, bukan rahasia lagi dirinya sering tidak menerima bayaran dari
setiap tampil. Mungkin atas dasar itu, ia lalu memutuskan untuk merantau ke
Papua, dan berprofesi sebagai buruh di satu pabrik tripleks.
Tujuh tahun berikutnya, ia kembali ke
Baubau, lalu memutuskan untuk ikut ajang musik D-Academy. Bintang terang seakan
mengikuti langkahnya. Lagu Tum Hi Ho yang dinyanyikannya memikat para juri. Saat
di-upload di Youtube, vidio itu
disaksikan oleh jutaan pasang mata. Dia pun menjadi pembicaraan di India, yang
menjadi asal lagu itu. Jalan hidupnya kian benderang di ajang musik itu.
Kisah Fildan tidak serupa kisah Cinderella
yang secara kilat bertransformasi dari pembantu menjadi putri jelita. Terdapat
banyak cerita bagaimana anak muda ini menempa diri, dan tampil di banyak acara
lokal, hanya untuk sekadar eksis. Dalam buku Outlier, Malcolm Galdwell menyebut
kaidah 10.000 jam yang dilalui soerang pemusik hingga mencapai taraf berkelas.
Galdwell mencontohkan bagaimana The Beatles tampil di satu kafe secara konstan
dan mengembangkan teknik bernyanyinya dengan cara mengamati antusiasme
penonton.
Kisah hidup Fildan yang miskin telah
mengasah lengkingan suaranya hingga menyentuh hati banyak orang. Suara merdunya
lahir dari kesempatan tampil di banyak acara, dilatih saat dirinya bolos
sekolah di satu lapak bambu, diasah saat dirinya tengah kelaparan di rumahnya.
Suara cengkok dangdutnya itu didapatkan dengan mengamati banyak penyanyi dari
televisi kecil di rumahnya. Di situ ia menyiapkan dirinya hingga memasuki ajang
kompetisi menyanyi.
***
SAYA sedang menyaksikan Fildan bernanyi di
Indosiar. Sejujurnya, saya tak terlalu suka mengamati kontes bermusik. Namun
dikarenakan banyak teman, abang, senior, dan warga sekampung saya yang
menyaksikan acara kontes itu di Indosiar, saya memutuskan untuk setia
mengikutinya.
Banyak wajah yang familiar di televisi
itu. Saya menikmai histeria orang-orang yang mengubah Indosiar menjadi tontonan
yang menampilkan warga sekampung. Saya suka melihat militansi warga sekampung
yang mendukung Fildan dengan mengirimkan SMS sebanyak-banyaknya.
Belakangan ini, banyak anak muda Buton
yang mulai tampil di ajang hiburan nasional. Sebelum Fildan, orang-orang
mengenal Arie Kriting dan Rahim La Ode yang menjadi ikon dari ajang Stand Up
Comedy. Mereka menjadi representasi semua warga timur yang wara-wiri di stasiun televisi orang jakarta.
Saya selalu puas menyaksikan penampilan
Fildan. Anak muda ini perlahan menjadi bintang. Penampilannya ditunggu
penggemar dangdut seluruh Indonesia. Kejutan-kejutannya dinanti di banyak
lokasi. Sentuhan gitar, permainan suling, kemampuan bermain piano, hingga
kemampuan menari breakdance adalah senjata yang menembus hati banyak orang. Tak
hanya di Baubau, banyak orang memenuhi kapangan di ajang Halo Sultra di
Kendari, hanya karena mendengar isu dirinya akan tampil.
Minggu depan, dia akan tampil di ajang tiga besar D-Academy. Saya memprediksi dirinya akan menjadi juara. Kalaupun tak jadi juara, bisa menembus tiga besar sudah merupakan prestasi hebat. Nampaknya, namanya akan semakin sering
terdengar di blantika musik tanah air.
Semoga saja dia tidak bernasib seperti finalis ajang kompetisi ini yang tenggelam seusai tampil. Semoga saja dia tetap menghibur banyak orang, tak hanya di kampungnya, tapi juga di seluruh Indonesia. Semoga saja suara, petikan gitar, suara seruling, hingga lantunan melodinya akan menjadi persembahan terbaik yang abadi bagi semua masyarakat Indonesia.
Semoga saja dia tidak bernasib seperti finalis ajang kompetisi ini yang tenggelam seusai tampil. Semoga saja dia tetap menghibur banyak orang, tak hanya di kampungnya, tapi juga di seluruh Indonesia. Semoga saja suara, petikan gitar, suara seruling, hingga lantunan melodinya akan menjadi persembahan terbaik yang abadi bagi semua masyarakat Indonesia.
Semoga.
Bogor, 28 April 2017
BACA JUGA:
8 komentar:
judikanya dangdut
Posting Komentar