Tiga Mitos Kaum Terpelajar



MASYARAKAT awam kerap menganggap bahwa dunianya generasi sekolahan adalah dunia yang serba bernalar, serba rasional, serta penuh dengan kejernihan. Tak banyak yang mengetahui bahwa dunia kaum terpelajar pun penuh dengan mitos-mitos, sesuatu yang diterima begitu saja tanpa sikap kritis.

Kita bisa menyebutnya sebagai kegenitan kaum terpelajar. Tujuannya untuk membangun jarak antara kaum terpelajar dan tidak terpelajar. Jarak itu dibangun melalui sejumlah mitos, mulai dari mitos semakin banyak mengutip maka semakin keren, mitos menggunakan bahasa-bahasa tinggi dan susah, mitos merasa hebat saat menemukan banyak kesalahan argumentasi seseorang.

Yuk, kita diskusikan sama-sama.

***

BAPAK itu memulai presentasinya di hadapan para mahasiswa. Ia adalah doktor yang mengajar di satu kelas perkuliahan perguruan tinggi. Mahasiswa hanya tertarik mengikuti materinya selama setengah jam. Selanjutnya, tak ada lagi yang fokus ke materi. Bapak itu terus berbicara tanpa henti. Saat keluar ruangan, seorang mahasiswa berkata, “Gimana mau tertarik kalau penuh dengan bahasa susah. Saya tak mengerti.”

Saya tak terlalu terkejut dengan penuturan mahasiswa itu. Di dunia perguruan tinggi, saya banyak bertemu dengan orang-orang yang suka menggunakan bahasa tinggi. Yang dimaksud dengan bahasa tinggi di sini adalah penggunaan kata-kata yang diserap dari bahasa lain. Beberapa istilah-istilah bertaburan di teks-teks perkuliahan yang dipelajari di perguran tinggi, yang tak bisa dipahami semua orang.

Di kalangan warga kampus, mungkin sejumlah istilah sudah sama-sama dipahami. Tapi saat istilah itu dikeluarkan di masyarakat awam, tak semua orang bisa memahaminya. Iyalah, tak semua orang tahu apa itu paradigma, aksioma, idealisme, riset, hingga holistik. Jangankan masyarakat, kaum terpelajar di kampus belum tentu paham makna istilah itu.

Yang saya amati, beberapa orang suka menyebut istilah-istilah tinggi bukan untuk menyampaikan maksud. Banyak di antaranya yang hendak mengesankan dirinya pintar, serta mendapatkan respek dari orang banyak. Maklum saja, posisi sebagai kaum terpelajar dianggapnya lebih tinggi sehingga pantas mendapatkan penghormatan dari masyarakat biasa. Gimana caranya supaya diketahui kalau dirinya terpelajar? Lewat sejumlah istilah tinggi yang susah dipahami.

Coba saja hidupkan pesawat televisi. Amati dialog-dialog di situ. Pastilah anda akan menemukan begitu banyak istilah dan bahasa tinggi yang hanya dipahami oleh segelintir orang. Nampaknya, virus penggunaan bahasa tinggi bukan hanya melanda para akademisi dan pengamat di media, tapi juga merambah hingga para politisi, kaum profesional, hingga para pekerja media. Kalau nyambung, maka tetunya tak ada masalah. Yang sering terjadi adalah seringkali istilah yang digunakan justru tidak nyambung, serta membuat jarak dengan masyarakat awam.

Berbahasa tinggi hanyalah satu mitos kaum terpelajar. Sejatinya, terdapat banyak mitos-mitos lain yang juga menghinggapi kalangan yang menganggap dirinya generasi sekolahan. Beberapa kitos itu tumbuh subur di beberapa perguruan tinggi di tanah air kita. Selain istilah tinggi, mitos lain adalah:

Pertama, mitos penggunaan kosa kata bahasa Inggris. Entah kenapa, ada anggapan kalau berargumentasi dengan sesekali menyematkan kosa kata bahasa Inggris akan lebih keren dan meningkatkan gengsi seseorang. Saya mengenal beberapa orang yang kemampuan bahasa Inggris-nya biasa saja, tapi saat berargumetasi, ia kerap menggunakan beberapa kosa kata bahasa Inggris. Padahal, ia bisa saja menggunakan bahasa Indonesia. Tapi itu tadi, dianggapnya tidak keren.

Saat membaca banyak buku yang ditulis akademisi dalam bahasa Indonesia, saya menemukan begitu banyak kosa kata bahasa Inggris dalam teks. Demikian pula, saat membaca jurnal berbahasa Indonesia, saya juga menemukan hal yang sama. Saat melihat kata itu dengan detail, saya merasa bahwa seharusnya kata itu bisa diterjemahkan ke bahasa Indonesia.


Lihat saja dua paragraf tulisan yang saya ambil dari satu buku teks perguruan tinggi di atas. Dua paragraf itu menggunakan banyak kosa kata bahasa Inggris yang disisipkan dalam tulisan. Misalnya: “media management”, “media-friendly”, “public awareness”, “image-management”, dan “political marketing”. Padahal, kata-kata itu sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia yakni kata: “manajemen media”, “ramah media”, kesadaran publik”, “manajemen gambar”, hingga “pemasaran politik.”

Saya tak mengerti sejak kapan tren penggunaan bahasa Inggris ini masuk dalam beberapa buku teks yang diterbitkan di tanah air. Dugaan saya, beberapa istilah sengaja ditampilkan dalam bahasa aslinya agar tidak terjadi pergeseran makna dari teks aslinya yang berbahasa asing. Tapi persoalannya, penggunaan bahasa Inggris itu menjadi kebablasan saat hal-hal sederhana yang hendak disampaikan ditulis pula dalam bahasa Inggris.

Kembali pada pertanyaan awal, mengapa kita suka menggunakan istilah-istilah bahasa Inggris? Sebab penggunaan kata itu akan dianggap keren, berkelas, serta punta cita rasa kaum terpelajar. Bisa saja menggantinya dengan kosa kata bahasa Indonesia. Namun kata itu akan kehilangan greget. Seolah-olah tidak ilmiah.

Kedua, mitos banyaknya kutipan. Beberapa kali saya membaca tesis dan disertasi yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Kesan saya adalah terlampau banyak kutipan-kutipan serta nama-nama ilmuwan dari berbagai belahan bumi. Saya bisa memahami kalau kutipan dan nama itu bertujuan untuk membentangkan peta permasalahan, mendiskusikan satu soalan secara luas dan mengetahui pendapat dan teori dari banyak orang yang pernah memikirkan hal yang sama, lalu menemukan celah-celah yang menunjukkan kebaruan dari perspektif yang ditawarkan.

Tapi dalam banyak kasus, sering kali kutipan dan nama ahli itu sengaja diperbanyak, lalu pendapat pribadi sang penulis tak banyak muncul di teks yang sedang dibaca. Yang kita temukan adalah parade kutipan, tanpa melihat bagaimana seseorang mendemonstrasikan gagasannya sendiri. Bagi saya sih, yang terpenting adalah pendapat orisinil seseorang, sesederhana apapun itu. Setelah itu bagaimana dia mendialogkan ide-idenya dengan kenyataan di sekitar, termasuk melihatnya dari perspektif teori.

Ketiga, mitos ujian sebagai arena pembantaian. Di banyak perguruan tinggi yang saya amati, ujian adalah ajang yang paling mendebarkan bagi kaum terpelajar baru. Di situ, para guru besar akan menampilkan kebesarannya sebagai penilai yang menentukan layak tidaknya seseorang menjadi kaum terpelajar. Bagi seorang mahasiswa, ujian seringkali menjadi ajang dibantai dari banyak lini. Dalam setiap ujian, para penguji akan mencari kesalahan sebanyak-banyaknya lalu mendebat mahasiswa itu hingga kehilangan kata.

Seringkali ada anggapan kalau semakin banyak menemukan kesalahan, maka semakin bagus. Ujian tidak dikemas menjadi ajang pembelajaran yang seharusnya membuka perspektif seorang anak didik tentang hal-hal yang perlu dirambah dan dikuatkan dalam penulisannya.

Dua tahun silam, seorang senior saya dari Pulau Buton meninggal dunia, beberapa hari setelah ujian proposal. Kata seorang kawan, ia tertekan karena proposal itu dibantai dan dikatai sampah oleh pembimbingnya. Dalam beberapa kesempatan, saya juga mendengar berita tentang mahasiswa yang bunuh diri hanya karena gagal ujian. Beberapa hari lalu, seorang kawan mendapat kecelakaan saat berkendara ke rumah. Usut punya usut, ternyata ia berkendara dalam keadaan stres sebab ujiannya tidak mengesankan. Ia merasa kesalahannya dikuliti hingga akar-akarnya.

Andaikan mitos “ujian sebagai arena pembantaian” itu dibenahi, maka tak bakal ada asus-kasus seperti yang saya sebutkan di atas. Harusnya, ujian menjadi arena pembelajaran yang paling baik. Idealnya pula, kritik yang disampaikan dalam setiap ujian harus tetap fokus pada gagasan, dan tidak merendahkan si mahasiswa. Kesalahan memahami satu hal dalam dunia persekolahan adalah hal yang wajar. Melalui kesalahan itu, seseorang bisa belajar banyak dan mengembangkan kapasitasnya. Sayangnya, seringkali ujian tak dimaknai sebagai ajang pembelajaran. Yang ada adalah ketakutan karena akan didebat sampai kehilangan kata.

***

APA yang saya catatan di atas hanyalah sedikit dari demikian banyak kesalahan anggapan di dunia kaum terpelajar. Harusnya, intelektualitas menjadi landasan bagi seseorang untuk memahami sesuatu yang kompleks, lalu membahasakannya dengan cara sesederhana mungkin. Tugas seorang kaum terpelajar adalah mencerahkan dunia, memisah terang dari gelap, serta memberikan arah bagi setiap gerak bangsa yang melenceng.

Barangkali, kita bisa mengatakan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang terlampau lama dijajah bangsa barat sehingga segala hal yang identik dengan barat akan dianggap keren, berkelas, dan oke punya. Makanya, kita berusaha memirip-miripkan gaya dan cara bertutur demi mengesankan diri kita go international dan berkelas, padahal yang terjadi adalah kita sedang mendemonstrasikan ketidakmampuan kita dalam berbahasa dan memilih diksi yang tepat.

ilustrasi

Saya teringat kisah tentang perbedaan antara pendekar yang baru belajar, dan pendekar yang sudah makan asam-garam. Seorang pendekar yang masih baru belajar atau kerap disebut sabuk putih akan membawa pedang ke mana-mana. Ia akan selalu mengeluarkan pedang dan menebas apapun, demi mendapat pujian ataupun anggapan sebagai pendekar. Sementara pendekar yang benar-benar pendekar tak perlu membawa pedang. Ia akan menjadi warga biasa yang berjalan membawa ranting pohon. Namun di saat dirinya dalam kondisi krisis dan harus bertempur, ia bisa mengubah ranting itu menjadi pedang yang paling sakti.

Mungkin demikianlah seharusnya dunia kaum terpelajar. Semakin sakti seseorang, semakin membumilah dirinya. Ia tak akan membangun jarak dengan masyarakat. Ia akan melebur bersama masyarakat, ia menjadi tempat bertanya, ia memberikan jawaban yang terang dan jelas, ia menjadi penjaga nilai yang menyerap kearifan dari setiap masyarakat, lalu mengembalikannya sebagai embun berharga bagi orang banyak.

Saat mengakhiri tulisan ini, saya baru saja mendengar percakapan seorang terpelajar dan seorang masyarakat awam.

“Brother, apakah bisa kita melakukan sharing resources sehingga bisa tercipta landasan hidup yang lebih equal di antara kita? tanya seorang terpelajar kepada kawannya.
“Maksudmu?” kata kawannya.
“Maksud saya, resources harus dibagi rata biar tidak terjadi instabilitas sosial yang memicu konflik sebagai akibat dari segregasi sosial,”
“Saya tak ngerti,”
“Maksud saya, apakah rokok itu bisa dibagikan?”
“Ah, sialan kau, Ternyata kau hendak minta rokok. Ngapain pula memulainya dengan berbagai istilah-istilah tinggi!”



Bogor, 8 Agustus 2016

BACA JUGA:






3 komentar:

Imam Rahmanto mengatakan...

Hahaha....mitos ketiga, Bang. Saya pernah mengalaminya, tetapi masih bisa diantisipasi kalau yang "terbantai" juga pandai bercocoklogi. Hahahahaha....asalkan bukan soal eksak. ^^,

wijatnikaika mengatakan...

Wah saya agak kesindir sih, karena kadang-kadang memasukkan kata-kata serapan dari bahasa asing kedalam tulidan untuk pembaca Indonesia. Ampunnnnn

Arif mengatakan...

Alhamdulillah, sejauh ini mitos ketiga belum kerasa. Mulai dari seminar proposal sampai hasil, yang saya terima berupa masukan saja. Hanya bisa berharap di ujian meja juga terjadi hal yang sama, sehingga tidak ada yang namanya pembantaian.

Posting Komentar