Menolak Saut, Membela HMI

Ilustrasi


Bermula dari ucapan spontan Saut Situmorang, massa Himpunan Mahassiwa Islam (HMI) berdemonstrasi di mana-mana. Di berbagai jejaring sosial, alumni HMI ikut bergerilya untuk mengobarkan semangat perlawanan. Ucapan itu mengoyak banyak hal, khususnya para pejabat yang dahulu adalah aktivis HMI. Di berbagai media sosial, komentar dan diskusi bermunculan. Momen ini menyatukan mereka yang dahulu tercerai-berai.

Tapi di balik pernyataan Saut, terdapat begitu banyak lapis realitas yang tersembunyi. Sebagaimana halnya pola pergerakan HMI selama ini, posisi senior ataupun alumni justri menjadi titik penting untuk disoroti. Penting juga untuk melihat betapa pentingnya organisasi ini sebab memiliki kader yang tersebar merata dan memiliki kapasitas mumpuni di Indonesia.

Inilah sisi lain di balik wacana HMI versus Saut.

***

LELAKI kurus itu datang jauh dari Samarinda. Namanya Agus Amri, seorang pengacara hebat di sana. Ia mengepit sejumlah dokumen penuntutan kepada Saut Situmorang, anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terlanjur menyengat anggota HMI. Lelaki itu membawa amarah, namun merencanakan langkah taktis. Ia menghimpun argumentasi dan bukti-bukti. Ia merasa sedang menegakkan kebenaran. Ia ingin menegakkan marwah organsiasi yang membesarkannya.

Lelaki itu terprovokasi oleh perdebatan di media sosial. Banyak orang yang menyuarakan kecaman. Akan tetapi, tak ada yang mau menempuh langkah-langkah hukum. Di benaknya, meskipun demonstrasi dan kecaan tumbuh di mana-mana, ketika tak ada yang membawanya ke ranah hukum, maka persoalan ini akan segera berlalu dengan cepat. Ingatan publik kita teramat pendek untuk sekadar mencatat kalimat kasar dan hujatan yang dilakukan seorang pejabat publik.

Selama beberapa hari, nama Saut Situmorang memang hangat dibicarakan. Dalam satu diskusi di televisi swasta, ia menyindir organisasi mahasiswa Islam terbesar di tanah air itu. Ia seolah mengaitkan tindakan korupsi dengan atar belakang organisasi. Banyak pihak yang lalu tersengat. Demonstrasi merebak.

Dari Jakarta, pesan-pesan beredar melalui SMS. Perintahnya sama yakni segera melakukan demonstrasi serta memberikan laporan kepada lembaga kepolisian. Di mana-mana kader HMI bergerak. Mereka menyatakan sikap atas penistaan yang dilakukan Saut.

Awalnya, saya tak begitu antusias untuk menanggapi polemik itu. Ternyata diskusi tentang topik itu berkembang pesat. Banyak tokoh penting memberikan tanggapan. Semuanya menyatakan ketidaksetujuan, dan menganggap Saut telah kebablasan.  Saya sendiri punya beberapa alasan mengapa tak tertarik untuk masuk dalam polemik itu.

Pertama, jika didengarkan kalimat Saut dengan teliti, ia tidak sedang mengecam HMI. Ia mengecam koruptor sebagai orang yang rata-rata cerdas. Kalaupun menyebut nama HMI dan LK 1, ia hanya mengungkapkan contoh. Malah di sisi lain, kalimat ini menunjukkan dirinya mengapresiasi HMI. Sebab ia menganggap lulusan LK1 HMI itu cerdas.

Kedua, pada dasarnya, Saut hanya menyampaikan persepsinya yang buta sejarah. Dalam setiap spontanitas, orang cenderung melepaskan apa yang selama ini dirasakannya. Tak mungkin kita menghakimi satu persepsi yang nihil sejarah. Persepsi yang keliru itu hanya bisa diselesaikan melalui dialog-dialog. Ajak saja beliau untuk berdiskusi lalu sampaikan berbagai argumentasi dan fakta-fakta, berikan pencerahan, lalu memintanya untuk meluruskan apa yang salah. Jika beliau adalah penegak hukum, tentunya bersedia untuk mengakui apa yang salah lalu meminta maaf ketika menemukan informasi yang benar. Tanpa pengakuan, mustahil ada permaafan.

Ketiga, nama besar satu organisasi tidak harus dipertahankan dengan sikap penuh kemarahan lalu menebar kecaman. Kebesaran nama organisasi itu harusnya ditempuh dengan cara melakukan hal-hal besar yang akan semakin menjaga marwah organisasi. Kalaupun ada kecaman dan hujatan, tetap saja itu tidak akan mengurangi marwah organisasi yang sudah terlanjur besar. Kecaman itu hanya akan menjadi bumerang. Ini dnegan asumsi kalau organisasi itu melakukan banyak hal besar.

Nama besar organisasi akan hadir saat hadir di berbagai momen penting yang memang membutuhkan tangan dingin organisasi itu. Kita nyaris tak mendengar ada terjangan lembaga ini pada gejala intoleransi. Di mana pula organisasi ini saat Ahmadiyah dan kelompok Syi’ah diusir dari kediamannya. Entah, apa kita pernah mendengar lembaga ini pasang badan saat demonstrasi menentang penggusuran di Jakarta, atau ibu-ibu yang disemen kakinya di depan istana. Mengapa pula kita tak mendengar lembaga ini di baris terdepan saat reklamasi Teluk Benoa?

***

EKSPEKTASI publik memang terlampau besar pada organisasi ini. Padahal, niat awal organisasi ini bukanlah menjadi lembaga revolusioner yang setiap saat mengacungkan kepal ke angkasa saat berdemonstrasi. Seringkali ada salah kaprah terhadap organisasi ini yang menganggapnya hanya merespon hal-hal yang sedang hangat di publik.

Ruh paling utama dari organisasi ini adalah pengkaderan. Yang disiapkan di sini adalah sumberdaya manusia yang kuat dan mumpuni. Lembaga ini membuka ruang pengkaderan pada siapapun, tanpa memandang kapasitas, pengetahuan, atau kemampuan memahami ajaran agama. Saya malah sering melihat umat agama lain yang ikut pengkaderan di lembaga ini. Kelebihannya adalah pada ruang-ruang inklusif yang dibangun dan didialogkan secara kritis. Setiap hal diuji berdasarkan penalaran ilmiah, ditelusuri akar epistemologisnya, hingga menjadi inspirasi bagi kerangka aksi.

Makanya, organisasi ini sedemikian populer di mata para mahasiswa. Saya tak menemukan satu organisasi yang sedemikian cepat merekrut kaum muda dan mengasah mereka menjadi pribadi yang toleran dan inklusif, sebagaimana HMI. Yang dipelajari di setiap pengkaderan HMI adalah perangkat berpikir, filosofi, serta pentingnya ideologi dalam membuat perubahan sosial. Dalam berbagai pengkaderan HMI, yang ditekankan adalah pentingnya menalar sesuatu secara mendalam, sebelum akhirnya berjibaku dengan realitas. Tanpa nalar, aksi akan dangkal. Sebaliknya, tanpa aksi, nalar akan kehilangan ketajamannya.

Mustahil untuk tidak menulis nama lembaga ini saat membahas tentang gejolak politik dan kekuatan perubahan bagi kaum muda. Lembaga ini serupa mata air yang berada di setiap rasa haus akan lembaga yang menyiapkan kadernya bagi perubahan.Mereka tersebar di hampir semua penjuru tanah air.

Kekuatan pengkaderan lembaga ini menyebabkan mudahnya kader HMI memasuki semua organisasi kemahasiswaan, lalu menjadi leader di situ. Saya berani memprediksi, dari 10 pemimpin mahasiswa, terdapat 9 di antaranya yang merupakan kader HMI. Barangkali, HMI adalah yang terdepan dalam hal menyiapkan kader secara merata di sleuruh Indonesia. HMI bisa ditemukan di semua kabupaten dan kota, hingga level kecamatan. Selagi di satu kota ada kampus, bisa ditebak, pasti ada HMI di situ.

Jejaring dan sel-sel organisasi ini yang tersebar merata hanya bisa ditandingi oleh aparatur negara dan militer di republik yang masih berusia muda ini. Makanya, di banyak daerah, hubungan HMI dan pemerintah selalu pasang surut. Ada saat di mana keduanya bertemu dalam satu bingkai, akan tetapi banyak pula saat ketika mereka berseteru. Sepanjang sejarahnya, banyak kader lahir dan lalu mewarnai dinamika sejarah bangsa ini. Lewat dinamika dan tarik-menarik itu, seorang anak muda belajar menemukan warna dan titik pijaknya, untuk selanjtnya memilih hendak berada di barisan mana.

Kekuatan pengkaderan ini menyebabkan HMI paing produktif melahirkan kader yang tersebar di semua lini. Saut Situmorang hanya menyebut pejabat yang lepasan LK 1 HMI lalu menjadi koruptor. Saya yakin dia tahu persis kalau kader HMI itu terdiri atas beragam warna. Mereka memasuki semua lini pergerakan, mulai dari yang kiri sampai yang kanan, mulai dari yang pemerintah sampai tokoh kritis, mulai dari yang intelektual sampai pada yang bebalnya minta ampun. Periksa semua lembaga pemerintah, kampus, elemen gerakan sosial, aktivis NGO, maka di situ pasti ada alumnus pengkaderan HMI. Amati pula bagaimana daya gedor pengkaderan lembaga ini terhadap perubahan sosial.

Makanya, tak bisa dibuat generalisasi terhadap kader HMI saking beragamnya mereka. Mungkin, yang diingat publik adalah Anas Urbaningrum. Tapi percayalah, Anas itu hanyalah satu kepingan dari sedemikian banyak mozaik di tubuh HMI. Lagian, polisi dan jaksa hingga hakim yang memvonis Anas adalah kader HMI. Di lembaga ini, ada Nurcholish Madjid dan Azyumardi Azra yang mewarnai diskursus Islam di tanah air. Di antara banyak alumni itu, figur yang paling saya banggakan dan kagumi adalah almarhum Munir, mantan Ketua HMI Cabang Malang, yang melegenda. Saya selalu merinding saat mengingat keberaniannya.

Dengan demikian, HMI serupa ruang kolektif yang berisikan banyak orang dengan berbagai karakter. HMI itu ibarat pasar yang mempertemukan banyak orang. Di situ terdapat para filosof, tetapi juga terdapat preman pasar yang setiap hari menantang berkelahi. Di situ terdapat lapis intelektual dan budayawan, tapi terdapat juga barisan orang yang membawa badik dan senjata, serta mudah terbakar emosinya. Dua sisi yang serupa uang koin ini ada di tubuh HMI. Pada setiap momen, keduanya hadir bersamaan.

Bukannya tak ada teguran atau sanksi pada kelompok ini. Lembaga ini bisa mengelola keberagaman menjadi kekuatan. Kalaupun ada ribut-ribut antar kader, maka itu serupa panggung teater di mana mereka hendak mempelihatkan kehebatan. Selesai ribut, kembali damai. Tak pernah ada dendam. Semuanya menjadi sejarah bagi anak-anak muda yang sedang mencari titik pijaknya untuk masa depan. Mereka bisa konflik, tapi dengan cepat bisa berdamai saat menghadapi isu bersama.


Parahnya, media massa lebih suka membahas kelompok petarung ini. Di acara Kongres HMI, media suka meliput kelompok ini. Saat menyaksikan dirinya tampil di televisi serta mengubah wacana nasional, maka semakin belagulah kelompok ini, Aksi demi aksi terus dilakukan. Mereka memberikan ide liputan bagi media, serta tontotan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sementara para filsuf, cendekia, dan ulama di lembaga ini kian termarginalkan oleh pemberitaan. Benar kata Walter Lippman tentang “the picture in our head.” Berita di media telah membingkai pikiran sebagian besar orang-orang yang lalu memersepsi realitas berdasarkan bingkai itu.

Saya juga memahami kalau belakangan terdapat banyak virus di lembaga ini. Mulai dari politik uang, premanisme, hingga hubungan senior-junior yang bersekongkol untuk “permufakatan jahat.” Kesemua realitas ini semakin membawa kita pada satu muara tentang betapa organisasi ini sejak lama telah menjadi kenderaan para politisi.Saya juga tak menutup fakta bahwa reproduksi intelektualitas HMI terletak di level komisariat. Semakin ke bawah semakin jernih. Semakin ke atas semakin politis.

Tapi, satu hal yang tak boleh diabaikan. Bahwa pengkaderan lembaga ini telah lama menjadi jantung bagi pergerakan mahasiswa dan melimpahnya kader yang memasuki berbagai lini pergerakan sosial dan intelektualitas. Ada masa bagi seorang kader untuk tumbuh, menyerap makna, lalu memilih satu peran di dinamika kehidupan. Kekuatan perubahan dan intelektualitas itu tetap ada, meskipun sepi dari publikasi.

***

DI layar televisi, saya menyaksikan demonstrasi kader HMI di gedung KPK. Saya terkejut menyaksikan aksi vandalisme. Saya tak bisa menerima lembaga anti rasuah itu harus dikecam sedemikian rupa. Saut memang harus ditentang, tapi lembaga KPK harus dikuatkan agar bisa menerungku banyak penjahat negeri ini.

Ditemani beberapa batang rokok dalam suasana penuh asap, saya masih bersama Agus Amri, salah satu pengacara hebat yang pernah saya temui. Dalam diri Agus Amri, terdapat hasrat kuat untuk terus membawa pedang Dewi Themis dan memenggal banyak ketidakadilan. Menurutnya, Saut memang harus dikritisi sebab bisa menjadi preseden di masa mendatang. Sebagai pejabat publik, ia tidak boleh semena-mena menimpakan satu generalisasi pada satu organisasi secara berlebihan. Harusnya, ia berhati-hati dan tidak keluar dari ranah yang menjadi lokus pembicaraannya.

Sebagai pejabat publik, ia mesti berhati-hati mengeluarkan setiap pertanyaan. Di tambah lagi posisinya sebagai anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sangat dipercaya publik, setiap pernyataannya bisa mempengaruhi opini. Dengan mengaitkan opini mengenai korupsi pada satu lembaga bisa memberikan stigma dan opini yang kuat pada lembaga itu.

“Jika Saut dibiarkan begitu saja, di masa depan, seorang pejabat akan begitu mudahnya menuding lembaga lain. Kamu tahu sendiri betapa kejamnya pelabelan ataupun stereotype,” kata Agus.

Saya sepakat. Dalam banyak kasus, generalisasi atau penyimpulan atas setiap peristiwa sering terjadi. Riset saya tentang mereka yang dituduh PKI menunjukkan bahwa nestapa dan derita yang dialami korban itu bermula dari generalisasi yang secara kejam diletakkan pejabat militer di masa itu. Pelajarannya, semua pejabat publik harus berhati-hati dalam memberikan setiap pernyataan.

Tapi saya juga punya pendapat sendiri. Bahwa demonstrasi menentang Saut mesti dilakukan. Tapi agenda pemberantasan korupsi harus terus didukung. Jangan sampai terdapat wacana seolah HMI menentang KPK. Padahal, yang ditentang adalah penyalahgunaan kekuasaan. Yang dibenci adalah pelabelan terhadap satu organisasi secara membabi-buta. Dan yang harus dikuatkan adalah daya gedor lembaga anti korupsi sehingga bisa menjerat siapapun yang mencuri uang negara. Di titik ini, HMI harus serupa Oediphus, kisah dalam mitologi Yunani, yang mendorong penegakan hukum, meskipun kelak hukum itu akan menikam dirinya.

Di televisi, saya melihat anak muda sedang menyampaikan sikap. Saya tak ingin terjebak dengan segala frame media. Sebab saya tahu bahwa di balik semua aksi-aksi itu, terdapat banyak pesan yang hendak disampaikan ke publik.


Bogor, 10 Mei 2016

BACA JUGA:






5 komentar:

Unknown mengatakan...

Ijin share bang Yusran

wijatnikaika mengatakan...

Top banget

Unknown mengatakan...

Reflektif, analitis dan konstruktif. Mantap

zaenudin mengatakan...

masya allah.. ada ada aja sekarang kasusnya.

Unknown mengatakan...

HMI itu pabrik manusia yg terbesar dan SDH tua setua republik ini..kalau ada kebocoran oli disana sini...itu krn sekrupnya longgar. ayo kita kencangkan kembali

Posting Komentar