Lelaki yang Menelusuri Pulau Harapan


Forum Maritim Hebat

LELAKI itu tiba-tiba saja terdiam. Hatinya tersentuh ketika sedang menyaksikan debat calon presiden. Seorang presiden bertubuh kerempeng beberapa kali menyebut kata maritim. Dirinya yang setiap hari beraktivitas di laut tak hanya paham apa makna maritim, tapi juga meresapi kata yang terus-menerus mengalir dalam darahnya. 

Di tepi pantai di Desa Sekotong, Lombok Barat, ia lalu memutuskan untuk berbuat sesuatu. Ia ingin membantu pria yang menyebut kata maritim itu. Tapi apakah gerangan yang bisa dilakukannya?

Lelaki itu bernama Risal. Usianya belum 30 tahun. Ia bekerja sebagai fasilitator untuk masyarakat nelayan. Saban hari, ia akan mengikuti aktivitas nelayan dan bersama-sama memantau illegal fishing atau pencurian ikan. Ia juga sesekali membantu nelayan ketika berurusan dengan pemerintah atau bank. Hari-harinya digarami oleh kecintaan pada laut serta para nelayan di Pulau Lombok.

BACA: Baywatch Seksi di Pulau Lombok

Sebagai alumnus program Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin, ia bisa memilih profesi di darat. Ia bisa menjadi karyawan bank atau sebagai pengusaha, sebagaimana banyak teman-temannya. Tapi ia lebih cinta pada lautan. Demi cintanya itu, ia pernah tinggal di pulau terpencil selama berbulan-bulan bersama masyarakat nelayan.

Ketika berbincang tentang pulau-pulau, mata Risal berbinar-binar. Ia seolah diajak bercerita tentang surga yang sedang didiaminya. Pengetahuannya tentang laut cukup komplit. Ia bisa bercerita tentang para nelayan Buton yang kemudian menjadi bajak laut di Selat Malaka hingga tentang para pembom ikan di Kepulauan Spermonde. Baginya, semuanya adalah pilihan. “Selama ini, tak ada yang peduli pada nelayan. Makanya, banyak nelayan banting stir menjadi bajak laut. Kita tak punya pemimpin yang peduli pada lautan,” katanya.

Makanya, ketika mendengar ada capres yang menyebut-nyebut tentang lautan, hatinya langsung mekar. Ia terharu sebab selama ini lautan tak pernah tesentuh. “Saya terharu ketika capres kurus itu menyebut-nyebut kata maritim. Indonesia sudah lama merdeka. Tapi tak ada satupun presiden yang sangat peduli pada lautan. Saya ingin membantu sebisa-bisanya,” katanya.

Mulanya, Risal bingung, dengan cara apa hendak membantu. Beberapa temannya memberikan sumbangan melalaui rekening. Ia tak punya dana lebih yang bisa dibagikan. Ia hanya memiliki sekeping keikhlasan untuk berbuat. 

Suatu hari, ia mendengar tentang sekelompok relawan yang menyebut dirinya sebagai Forum Maritim Hebat. Kelompok ini menggelar kampanye kratif dengan cara melakukan blusukan maritim. Tanpa banyak menimbang, ia langsung bergabung. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia berkampanye untuk seseorang. Baginya, selagi ada harapan dan niat baik, maka perjuangan mesti dimulai.

Bagaimanakah memulainya?

***

DI Jakarta, sebuah kelompok bernama Forum Maritim Hebat (FMH) dideklarasikan. Berbeda dengan relawan politik lain, kelompok ini berniat untuk mengampanyekan gagasan-gagasan maritim yang pernah disampaikan capres Joko Widodo. Kegiatan yang dipilih adalah blusukan maritim, di mana seluruh anggotanya akan mengunjungi pulau-pulau terpencil sembari membawa gambar Jokowi – Jusuf Kalla. Rencananya, ada seribu spot maritim yang akan dikunjungi di 34 provinsi.

saat blusukan maritim

Koordinator forum ini adalah Zulficar Mochtar mengklaim hendak menyerap aspirasi, agar nantinya diserahkan ke Jokowi – JK. “Rencananya kami akan melakukannya di 1.000 spot maritim yang tertinggal dan terabaikan dan merekam aspirasi masyarakat di sana,” katanya.

Kegiatannya sangat unik. Mereka akan menyebar jaringan semua fasilitator yang berdiam di pulau-ppulau beserta aliansi strategisnya yakni para nelayan. Bersama-sama, mereka akan menggemakan perlunya membuat gerakan kembali ke laut sebagai rumah bersama di bahwa kepemimpinan Jokowi – JK.

Tak ada donatur kakap yang mendanai kelompok ini. Pembiayaannya secara urunan. Masing-masing anggotanya memberikan kontribusi dengan cara mengunjungi pulau, menyerap aspirasi, mendokumentasikannya, lalu menyebarnya melalui jejaring sosial. Biayanya swadaya. Pusat tak mengucurkan apapun selain semangat yang kuat untuk menyebarkan seluas mungkin gagasan-gagasan untuk kembai menjadikan laut sebagai semesta yang menyediakaan kekayaan bersama yang menjadi lokus mencari nafkah bagi banyak orang.

***

DI Pulau Lombok, Risal itu menganyam visi yang sama. Di tengah hembusan angin sepoi-sepoi di tepi pantai, ia berbincang dengan beberapa nelayan muda tentang apa yang harus dilakukan. Bersama para nelayan itu, ia telah membentuk baywatch yang bertugas mengawasi pesisir pantai secara sukarela. Para nelayan muda itu bersedia menjadi baywatch di sela-sela aktivitas menangkap ikan.

BACA: Orang Bugis, Bule Seksi, dan Senja Temaram di Gili Trawangan

Mereka lalu membahas pulau-pulau di sekitar Lombok. Yang mengagumkan, para nelayan itu menghafal dengan detail semua pulau-pulau. Maklumlah, nelayan itu telah mengitari pulau-pulau itu sejak masih belia. Pengetahuan mereka tentang pulau-pulau sekitar adalah pengetahuan yang diwariskan dari nenek moyang yang terus dipelihara dari zaman ke zaman.

Risal meyakini bahwa pengetahuan itu sangat penting sebagai pijakan awal untuk menelusuri banyak hal substansial di masa kini. Tak mungkinlah menggelar satu program atau kegiatan bagi nelayan, tanpa memahami apa yang ada di benak para nelayan.

Pertama adalah identifikasi wilayah. Lebih 80 persen penduduk bekerja di sektor pertanian dan kelautan. Sebanyak 92 persen penduduk hidup di desa-desa, baik yang berada di tengah hutan, maupun desa di sekitar pantai. Tentu saja, kegiatan blusukan maritim akan sangat strategis demi memperkenalkan program.

Kedua adalah mengenali budaya. Sebagian besar penduduk adalah etnis Sasak dan etnik Bali. Kebanyakan warga masih memelihara tali kekerabatan yang cukup erat. Mereka saling mengenal, serta memiliki solidaritas yang tinggi. Jika kampanye bertujuan untuk memersuasi mereka, maka pendekatannya harus berbasis kultur.
Ketiga adalah identifikasi isu-isu strategis. Untuk soal ini, Rizal dan para nelayan sama-sama sepakat kalau masalah terbesar yang mendera sebagian besar warga adalah kemiskinan. Entah kenapa, meskipun daerah ini dikenal sebagai salah satu lumbung pangan, masih amat banyak penduduk yang miskin. Sepertinya, panen padi yang melimpah lebih banyak dijual ke luar daerah, ketimbang dikonsumsi oleh warga lokal.

Di banyak pulau, para nelayan justru tak menikmati hasil laut. Mengapa? Sebab kebanyakan hasil laut justru dijual dan diekspor ke manca-negara. Para nelayan tidak mendapatkan apa-apa dari keseluruhan proses bisnis itu. Mereka hanya menjadi penyaksi yang tak berdaya.

***

HARI itu, Risal dan nelayan muda mendatangi pasar kecil di dekat Sekotong. Ia mmbawa replika Jokowi dan JK. Penduduk lalu datang berkerumun. Mereka memperhatikan replika itu sembari bertanya ada apakah gerangan. Risal lalu membiarkan mereka bertanya-tanya. Setelah itu, ia mulai bercerita dengan bahasa yang mudah dipahami warga.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu. Gambar ini adalah calon presiden. Dia sama dengan kita semua. Dia berasal dari masyarakat yang sama dengan kita. Dia tidak bicara tinggi-tinggi sebagaimana cara bicara orang kota. Dia bicara sama dengan kita semua. Dia bisa memahami kita semua. Marilah kita beri kepercayaan kepadanya,” katanya.
“Tapi dia kan masih menjabat?” tanya seorang warga.
“Iya. Dia masih menjabat. Tapi rakyat ingin dia memegang ada tanggung jawab yang lebih besar,” jawabnya.
“Apa bedanya dengan calon lain?”
“Bedanya adalah dia berjanji untuk menjaga laut dan seisinya. Dia mau memperhatikan nasib kita semua sebagai nelayan kecil. Dia akan mengembalikan laut sebagai sumber kehidupan bagi bangsa ini. Dia cinta laut, sebagaimana kita. Iya khan?,”
“Iya. Kita sama-sama cinta laut,” kata beberapa warga.


Usai dialog, Risal lalu pindah ke pulau lain. Selama lebih seminggu, ia terus berkampanye demi mempromosikan seorang kandidat capres yang sama sekali belum pernah ditemuinya. Ia ikhlas melakukannya demi sebuah harapan. Ia rela berkampanye di pulau-pulau demi sebuah harapan dan idealisme tentang seorang pemimpin yang berjanji untuk membangkitkan sektor maritim.

Terhadap mimpi-mimpi besar itu, Risal merasa terpanggil. Biarpun kelak capres itu kalah, ia ingin dicatat oleh sejarah bahwa dirinya telah berbuat sesuatu. Dirinya telah bekerja menanam banyak impian yang kemudian berbuah manis bagi banyak orang. Dengan tanpa mengharap pamrih, Risal telah mengajarkan pada banyak orang tentang makna sukarelawan yang sesungguhnya.

Meskipun pada akhirnya, Jokowi kalah di Nusa Tenggara Barat (NTB), aksi Risal telah sukses menaikkan nama Jokowi di wilayah itu. Dalam jangka panjang, ia juga sukses membangkitkan satu hal penting di masyarakat Lombok yakni kepedulian pada laut dan seisinya, kecintaan pada dunia maritim, serta kesediaan untuk menjaga laut dan seisinya.

Untuk yang terakhir ini, Risal merasa telah memenangkan satu misi penting.



CATATAN:

Tulisan ini terpilih sebagai pemenang kedua lomba menulis kisah relawan Jokowi-JK, yang diadakan Seknas Jokowi. Beritanya bisa dibaca DI SINI.


1 komentar:

Bang Dzul mengatakan...

Penasaran, apakah akhirnya Risal bisa bertemu Jokowi?

Posting Komentar