Jusuf Kalla (tengah) diapit oleh orangtuanya, Athirah dan Hadji Kalla, saat menikah |
DI balik setiap manusia besar selalu ada
kisah manusia-manusia besar. Di balik setiap keberhasilan, selalu saja ada kisah
tentang mereka yang setia menebar benih-benih keberhasilan. Di bumi Anging
Mammiri, terdapat satu kisah yang menyentuh hati tentang seorang anak yang tak
meninggalkan ibunya selama lebih 40 tahun, serta kelembutan seorang ibu yang
serupa embun dan mengantarkan anaknya hingga kursi Wakil Presiden RI.
.
Ibu itu
adalah Athirah, ibunda dari Muhammad Jusuf Kalla.
***
SUATU hari, di akhir tahun 1940-an. Nun
jauh di desa Bukaka, Bone, Sulawesi Selatan, seorang ibu tengah menidurkan
putranya. Ibu itu berbaju khas seorang wanita pedesaan. Ia bersenandung untuk
anaknya dengan syair berbahasa Bugis, “Anakku.
Semoga engkau panjang umur dan menjadi orang yang melampaui apa yang dicapai
orang dalam kebaikan.”
Ibu itu menatap anaknya dengan penuh
kasih. Langit dan bumi menjadi saksi betapa dirinya amat mencintai anaknya. Ia
kemudian berzikir sembari melepas ribuan harapan agar kelak sang anak bisa
menjadi manusia berguna. Hari itu, di pertengahan bulan puasa, sang ibu lalu
membagikan sarung kepada banyak warga Bukaka, sembari berpesan, “Doakan supaya Ucu bisa jadi bupati.”
Bone terletak tak jauh dari pesisir laut
Sulawesi. Lelaki Bone adalah para petarung yang menjadikan laut sebagai arena
untuk mengasah kecakapan. Mereka berlayar hingga ke tempat-tempat yang jauh.
Para pelaut Bugis telah lama masyhur dan memijakkan kaki di banyak tempat,
mulai dari tanah Johor hingga Madagaskar.
Banyak pula di antara mereka yang menjadi
pedagang dan sukses berniaga di mana-mana. Salah satu dari sekian banyak
pedagang sukses itu adalah Hadji Kalla. Lelaki asal kampung Nipa di Bone ini
adalah tipikal pedagang tahan banting yang telah berdagang sejak usia muda.
Mulanya ia pedagang biasa di dekat Pelabuhan Bajoe. Selanjutnya, ia merambah ke
bisnis transportasi, perdagangan lintas benua, hingga akhirnya membuka
perusahaan NV Hadji Kalla. Ia kemudian dijodohkan dengan Athirah, perempuan
lembut yang di kemudian hari selalu bersenandung untuk anaknya.
Sejarah kemudian mencatat bahwa sang anak,
yang dipanggil Ucu itu, telah jauh melampaui harapan orangtuanya agar dirinya
menjadi bupati. Anak itu menjadi pemilik banyak perusahaan besar yang
mempekerjakan ribuan orang.
Anak itu melangkahkan sebagai seorang wakil
presiden, pada sebuah jabatan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Anak itu
telah menjadi pejuang kemanusiaan dan perdamaian, memberikan banyak kontribusi
bagi tanah air dan nusa bangsa.
Semuanya
berkat seorang ibu.
Tak banyak yang tahu kalau sukses Hadji
Kalla dan putranya Jusuf bersumber dari mata air seorang perempuan bernama
Athirah. Perannya tak kecil. Athirah bukanlah seorang perempuan yang terpenjara
di rumah dan hanya menanti suami sepanjang hari.
Athirah adalah seorang pekerja
keras yang punya visi hebat dalam bisnis. Ia sukses mengelola bisnis kain
sutera dengan pelanggan yang tersebar ke mana-mana. Ia pulalah yang kemudian
membimbing Jusuf Kalla memasuki dunia bisnis.
Perempuan itu lahir tahun 1924 di kampung
Bukaka, Bone. Ayahnya Muhammad adalah Kepala Kampung dan mantan penasehat
Kerajaan Bone. Ibunya Hj Kerra adalah seorang pedagang kecil-kecilan sekaligus
ibu rumah tangga. Meskipun Athirah dijodohkan dengan Hadji Kalla pada usia 13
tahun, ia mencintai suaminya sepenuh hati. Biarpun pendidikan formalnya hanya
di level sekolah dasar, ia ikut terjun dalam bisnis penjualan kain sutra.
Secara rapi ia mencatat semua pembukuan
usaha dalam dua huruf yakni huruf latin dan huruf lontara, yang digunakan oleh
orang Bugis. Ia rutin menghitung hasil penjualannya setiap hari menjelang tidur
dan kemudian dimasukkan ke dalam brankas (peti uang) dan dikelolanya sendiri
tanpa campur tangan dari pihak lain termasuk Hadji Kalla dan anak-anaknya.
Catatan pembukuan dilakukannya setelah salat subuh.
Visi Athirah sangat kuat. Jusuf menuturkan
bahwa pada pada tahun 1965, bisnis sedang lesu. Beberapa tahun sebelumnya, Athirah
telah memiliki firasat akan iklim bisnis yang akan terpuruk. Athirah lalu
membeli banyak emas batangan, yang kemudian ditanam di bawah tempat tidurnya.
Hanya Hadji Kalla, Athirah, dan Jusuf sendiri yang tahu posisi emas tersebut.
Ketika krisis ekonomi menghantam dan nilai rupiah terjun bebas, ibunya lalu
memerintahkan Jusuf untuk mengambil emas itu sedkit demi sedikit untuk membayar
semua gaji karyawannya.
Ketika ekonomi membaik, emas itu kemudian
menjadi awal dari usaha NV Hadji Kalla yang lalu mengibarkan bendera di banyak
ranah bisnis. Tanpa visi Athirah, tak akan pernah ada kisah tentang salah satu
kelompok usaha pribumi paling kuat di Sulawesi Selatan.
Pada ayahnya, Jusuf belajar tentang
ketangguhan dalam bisnis serta kemampuan melihat sisi baik dari setiap masalah.
Sedang pada ibunya Athirah, ia belajar bagaimana menjadi seorang manusia yang
memberi manfaat bagi sesamanya. Ibunya menitipkan banyak filosofi kehidupan,
yang kemudian menjadi pegangan hidupnya.
Kata Jusuf, ibunya pernah berkata, “Kalau kau sudah naik mobil, lihat orang
naik motor, dan kalau kau naik motor lihat orang naik sepeda. Kamu akan merasa
lebih baik dan mensyukuri hidup. Jangan berpikir bahwa ketika kamu naik motor tiba-tiba
iri saat melihat orang naik Mercy, maka pastilah kamu akan susah tidur.”
***
Banyak yang bertanya, mengapa Jusuf Kalla
justru tetap setia berkarier dan berbisnis di Makassar? Mengapa ia tak berpikir
untuk berekspansi ke Jakarta lalu membangun usaha besar di sana?
Pertanyaan ini amat menarik. Saya pun
berusaha untuk menemukan jawabannya. Pada awal Orde Baru, banyak pengusaha yang
berbondong-bondong ke Jakarta dan memulai bisnis ketika ekonomi sedang membaik.
Tapi Jusuf justru memilih tetap bertahan di Makassar. Ia juga tak tergoda untuk
bekerja di instansi lain setamat kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas
Hasanuddin.
novel Athirah |
Saya menemukan jawabannya pada novel Athirah, yang ditulis Alberthiene Endah,
terbitan Noura. Ternyata, Jusuf bertahan di Makassar demi untuk menemani sang
ibu yang saat itu merasa sendirian. Satu fakta mencuat bahwa di balik kisah
kesuksesan keluarga itu, terdapat satu kisah mengharukan tentang prahara
keluarga yang dialami Athirah. Tak banyak yang tahu bahwa sejak muda, Jusuf telah
melihat langsung kesedihan ibunya Athirah yang hanya bisa dipendam sejak
ayahnya berpoligami.
Tahun 1955 adalah tahun paling berat bagi
Jusuf. Ia menyaksikan kesedihan ibunya yang menjalani hari-hari serba berubah
sejak suaminya menikah lagi. Bapaknya mulai jarang pulang ke rumah. Jusuf
menjadi tempat bagi ibunya untuk bercerita banyak hal.
Pada Jusuf, ibunya
menitipkan semua perasaan serta kegalauannya. Dalam usia muda, keadaan telah ‘memaksa’
Jusuf untuk menjadi lelaki dewasa yang mendampingi semua aktivitas ibunya,
sekaligus menjadi ayah bagi empat saudaranya.
Sebagaimana halnya wanita Bugis pada masa
itu, Athirah tidak banyak bercerita tentang perasaannya pada sang suami. Ia
lalu mengalihkan energinya pada usaha yang dikelolanya. Ia menjadi amat kreatif
dan selalu bergerak untuk membesarkan usaha.
Ia aktif berorganisasi di
Muhammadiyah. Ia juga mengajak anak lelakinya Jusuf untuk terjun langsung dan
mengawal banyak usaha.
Hingga akhirnya, Hadji Kalla pun memercayakan Jusuf
untuk menangani semua unit usaha lainnya. Di tahun 1982, Athirah meninggal
dunia dalam pelukan Jusuf. Tiga bulan setelahnya, Hadji Kalla juga meninggal
saat menyadari kesedihan istrinya sejak dirinya berpoligami.
Selama 40 tahun, Jusuf menjadi sahabat
terdekat sekaligus tempat bercerita ibunya yang membesarkan semua anaknya.
Semua kearifan itu diserap dan diterapkannya ketika mengembangkan bisnis NV
Hadji Kalla dan melebarkannya di kawasan Indonesia timur.
Kisah mereka mengingatkan saya pada
tuturan Malcolm Galdwell dalam buku Outlier (2008) bahwa di balik setiap pribadi
besar, selalu ada konteks sosial serta manusia-manusia yang berperan besar.
Bahwa di balik kisah tentang kehebatan satu tokoh, selalu saja ada pengalaman
dan latar keluarga yang kemudian membesarkan seseorang untuk mengambil banyak
peran strategis.
Peran besar Athirah pada Jusuf,
mengingatkan saya pada syair Kahlil Gibran: “Ibu
adalah segalanya, dialah penghibur di dalam kesedihan. Pemberi harapan di dalam
penderitaan, dan pemberi kekuatan di dalam kelemahan. Manusia yang kehilangan
ibunya berarti kehilangan jiwa sejati yang memberi berkat dan menjaganya tanpa
henti...”
9 komentar:
Terima kasih tulisannya. Sangat bermanfaat untuk membantu generasi penerus memahami sejarah para pemimpin negeri ini :)
Terima kasih. Sangatt bermanfaat
Terima kasih. Sangat inspirasi
Mantap. Terima kasih..
terimakasih atas komennya.
sama2
Pertanyaan yang mungkin perlu dicari jawabannya. Mengapa haji kalla poligami?
Saya selaku asli bugis Bone sangat kagum dengan sosok pak Jk., semoga bisa menjadi panutan. Tulisan yang sangat memotivasi buat kita semua Tnks
Posting Komentar